Saturday, September 16, 2006

ZAHA HADID'S MOSQUE



Mungkin ada yang ingin lihat rancangan masjid karyanya Zaha Hadid, termasuk saya (dulu sih ;-)). Masjid ini dirancang untuk kompetisi/sayembara masjid pada tahun 2000 dan rencananya dibangun di Strasbourg, Perancis dan diberi nama La Grande Mosquée de Strasbourg (The Great Mosque of Strasbourg). Ada beberapa penjelasan tentang karya desain ini di Monografnya Zaha (1983-2004) atau di El Croquis edisi 103 (2001) (http://www.elcroquis.es). Yang jelas rancangan ini sih enggak dibangun, ceu nah....



Gagasan bentuk secara garis besar konon diturunkan dari pola-pola suara (sound patterns), reverberations, dan permainan sinar/cahaya (the play of daylight). Lihat dan perhatikan "The ribbon-like lines" pada bentuk atapnya.



Sementara gagasan garis-garis yang seperti mengalir dan meliuk-liuk (streamline
) pada struktur dan ruang-ruang dalam bangunan ini katanya muncul dari metafora kaligrafi Islam. Kaligrafi itu pula yang secara khusus dipakai sebagai tampilan lapisan lapisan kulit/selubung (enclosure) pada ruang utama sholat (the prayer hall). Lain waktu insyaAllah saya lengkapi ulasannya. (Cuma ngebayangin, kalau jadi dibangun apa malah bisa khusyuk saat sholat di dalamnya ya ;-)).

Foto/gambar
©Zaha Hadid Architects

G.F. PIJPER - ISLAMIC ARCHITECTURE

From archnet discussion forum - Islamic Architecture

Prof. G.F. Pijper, Leiden University, Holland
Hello everyone,
Can anyone tell me something more about Prof. G.F.
Pijper from Leiden University, who died recently?
Thank you very much.
-- Elena Paskaleva, December 10, 2003

Responses
Prof. G.F. Pijper, Leiden University, Holland
Pijper published some of the earliest studies of
Islamic architecture in Indonesia in English. For
anyone interested in Islamic SE Asia, he's essential
reading.
-- Hussein Keshani, April 20, 2004

Prof. G.F. Pijper, Leiden University, Holland
dear Elena Paskaleva,
He was one of significant dutch scholar who studied
Islam in Indonesia. Someone who wants to study
Islam and Islamic Architecture in Indonesia
should read his works and publications. Some his
publications were:
- Pijper, G.H. (1977),
Studien over de Geschiedenis van
de Islam in Indonesia 1990-1950. "De Moskeen van Java"
was one of the chapter inside that book.
- Pijper, G.H.
Fragmenta Islamica, studien over het
Islamisme in Netherlandsch-Indie. "Woman and Mosque"
was one of the interesting chapter inside that book.
- Pijper, G.H.
The Minaret in Java, in F.D.K. Bosch et
al (eds), India Antiqua. A volume of oriental studies
presented by his friends and pupils to Jean Philippe
Vogel (O), leiden; Brill, Kern Institute, pp. 274-283.

regards,
-- Bambang Setia Budi, June 25, 2004

Monday, September 11, 2006

HIKMAH MASJID RAYA BANDUNG: SAYEMBARA

Teringat akan sayembara desain untuk Masjid Raya Sumbar pada postingan sebelumnya, ini ada sebuah artikel lama yang saya tekankan pada proses yang mestinya juga dilakukan dengan sayembara. Memang tidak semua proses rancang bangun mesti melalui sayembara, namun saya sangat menganjurkannya pada bangunan-bangunan terpenting dan pada tempat-tempat yang sangat strategis seperti dalam kasus bangunan pada artikel berikut ini. Semoga bermanfaat dan mohon maaf jika ada pihak-pihak yang kurang berkenan. Tidak lain agar semoga semuanya menjadi semakin baik.

salam,
Bsb
---------------

Beberapa Catatan pada Masjid Raya Bandung

oleh Bambang S
etia Budi

Dari segi fungsinya sebagai sebuah bangunan ibadah, jelas menjadi sesuatu yang patut disyukuri atas diresmikannya pembangunan Masjid Agung Bandung yang baru (kini dirubah namanya menjadi Masjid Raya Bandung), seperti yang diberitakan diberbagai media baik lokal maupun nasional di negeri ini.

Namun dibalik itu, tampaknya juga menyisakan beberapa hal yang patut menjadi catatan penting bagi semua pihak khususnya para pengambil keputusan baik pemerintah, arsitek
secara lembaga maupun individu, profesional maupun akademisi, dan semua yang peduli dengan masalah ini. Paling tidak terdapat dua catatan penting yakni pertama, dari segi desain fisik arsitekturnya, dan kedua dari proses-proses pengambilan keputusannya.

Tulisan singkat ini hendak menggaris bawahi dua catatan paling penting di antara berbagai catatan terhadap perencanaan dan pembangunan Masjid Raya Bandung itu. Karya ini bagaimanapun merupakan salah satu di antara produk/karya arsitektur di negeri ini yang sempat menimbulkan berbagai kritik dan polemik dalam perancangan dan perencanaannya hingga terwujudnya bangunan suci umat Islam tersebut.

Dua catatan penting ini juga diharapkan menjadi sebuah studi kasus di lapangan untuk masukan UU Republik Indonesia nomor 28 tahun 2002 tentang bangunan gedung khususnya yang terkait proses penyelenggaraan bangunan gedung yang sangat penting di tempat yang sangat strategis seperti ini. Tampaknya kondisi di negeri ini dituntut adanya peraturan khusus menyangkut proses pengambilan keputusan untuk penyelenggaraan bangunan-bangunan istimewa seperti dalam kasus ini.

Lebih jauh, berbagai kritik dan catatan itu, bagaimanapun janganlah dianggap sebagai sesuatu yang hendak menentang para pengambil keputusan khususnya dalam hal ini pemerintah, atau juga para pakar dan arsitek senior dan bukan pula kepada umat yang notabene mayoritas di negeri ini. Tetapi kritik-kritik yang dapat dipertanggung-jawabkan dari sisi profesional maupun akademis itu mesti dijadikan sebagai catatan penting yang perlu difikirkan kembali jika hendak mengambil keputusan-keputusan serupa di masa yang akan datang.

Bird eye view – Gambar maket masjid dari sudut pandang mata burung Masjid Raya Bandung yang baru. Di sini terlihat perbedaan yang mencolok dengan bangunan sebelumnya, terutama pada penataan alun-alun, bentuk dan penampilan ekspresi bangunannya. (Dok. Masjid2000)


***

Sebagai catatan pertama dari desain fisik Masjid Raya Bandung yang paling menonjol, kontroversial dan sekaligus memprihatinkan adalah diambil-alihnya alun-alun sebagai ruang terbuka masjid.

Sebenarnya pergeseran/perubahan pada alun-alun Bandung sudah beberapa kali terjadi sejak dibangun pertama kali oleh Bupati Wiranata Kusumah (1846-1874) atas perintah G
ubernur Jenderal Hindia Belanda van Hoevell. Meski tidak secara persis sama fungsinya sebagai tempat halun-halun dalam konsep kota-kota lama di Jawa sejak masa Majapahit hingga Kasultanan Islam, alun-alun di Kota Bandung pada pertama kali dibangun itu jelas hendak memperkuat ciri penting bagi pola struktur tata ruang kota di Pulau Jawa.

Di sini lebih difungsikan sebagai ruang terbuka kota, hingga kemudian berubah menjadi taman umum kota sejak tahun 1967. Namun, fungsinya masih jelas yakni digunakan sebagai ruang publik. Hal ini sangat berbeda dengan hasil rancangan Masjid Raya
Bandung yang baru sekarang ini.

Dengan adanya elemen selasar yang menjulur dari bangunan masjid dan mengelilingi alun-alun itu, tampaknya orang awam pun bisa mengerti bahwa alun-alun itu kemudian menjadi bagian dari bangunan masjid yang baru. Dengan alasan penataan kawasan alun-alun yang semrawut atau menjadi tempat aktifitas amoral yang bertentangan dengan keberadaan masjid, maka pilihan desain seperti itulah yang dianggap cocok untuk menyelesaikan problem-problem itu.

Semestinya, masih dimungkinkan adanya pilihan lain dari implementasi bahasa `penataan kawa
san alun-alun` itu. Yang jelas pilihan yang diambil saat ini, adalah jelas-jelas telah merubah total sebuah konsep tata ruang kota yang telah dibuat oleh pendahulu kota kembang itu sendiri. Yang perlu dicatat dengan tinta merah adalah ia berarti telah mengambil wilayah `publik` dengan merubah derajatnya menjadi `semi publik` atau paling tidak mengurangi derajat `publik` itu untuk tujuan-tujuan yang lebih khusus. Lebih jauh, tinta itu juga berarti satu peristiwa penghilangkan jejak sejarah penting dengan merubah salah satu ciri terpenting dari pola struktur tata ruang kota.

Catatan yang juga sangat menonjol lainnya adalah diletakkannya dua menara masjid dan bangunan baru tambahan yang persis di jalan depan masjid. Padahal jalan ini memiliki makna penting yakni sebagai pembatas yang jelas antara masjid dengan alun-alun. Jalan itu berfungsi mempertegas bahwa dua elemen kota ini berbeda, yang satu sama lain saling mengisi dengan serasi dan harmonis dalam satu kawasan. Ini artinya ia berperan sangat penting dalam memperjelas struktur pola kawasan tersebut.

Meski konon jalan itu akan dibuat kembali dalam bentuk jalan di bawah tanah, tetapi ini tampaknya bukanlah sebuah konsep yang jelas dan kokoh namun lebih terkesan sekadar sebagai jawaban atas kritikan-kritikan yang muncul dari masyarakat. Lagi pula ini jelas tidak akan dapat mengembalikan peran dan makna jalan itu sebagaimana sebelumnya.

Memang demikianlah kenyataan sebuah kota itu, ia merupakan akumulasi produk dari pengambilan keputusan oleh banyak pihak dalam berbagai kurun waktu. Di berbagai lokasi penting tentu para pengambil keputusanlah yang sangat diharapkan perannya dengan baik. Ya itulah kota, di manapun ia berada jika tidak terencana dan terkelola dengan baik, ia bisa jadi centang-perenang bak benang kusut yang sulit dirunut.

Kita tidak tahu apakah para pengambil keputusan di masa yang akan datang bakal merubahnya lagi seperti semula atau justru membuatnya semakin parah. Yang penting dicatat bahwa umur sebuah kota tidak bisa diukur dengan skala umur satu atau dua generasi, apalagi masa jabatan tertentu saat memiliki peran sebagai pengambil keputusan.



Menara 99 m – Terlihat kedua menaranya lebih tinggi dari bangunan BRI tower di seberangnya. Karena mendapat teguran dari Dinas Perhubungan maka ketinggiannya saat ini menjadi 81 m. (Dok. Masjid2000)

***

Catatan kedua dari perencanaan dan pembangunan Masjid Raya Bandung ini adalah yang berkaitan dengan proses-proses pengambilan keputusan oleh yang berwenang khususnya pemerintah daerah.

Kurangnya keterbukaan dari sejak mulai digulirkannya proses perencanaan hingga peletakan batu
pertama itu cukup disayangkan oleh berbagai pihak. Karena hal tersebut menjadi cukup ironis jika dibandingkan dengan keberadaan bangunan yang demikian penting dan di tempat yang sangat strategis tersebut.

Memberi intervensi pada jantung kota, dan khususnya kasus perencanaan dan pembangunan Masjid Agung Bandung- meminjam istilah Prof. Sandi Siregar yang juga ketua IAI pusat pada waktu diskusi tentang Masjid Agung Bandung di Kantor IAI JABAR tanggal 27 April 2001- adalah sebagai `sebuah peristiwa arsitektur yang sangat besar`.

Maka mendesain bangunan publik di tempat yang sangat strategis seperti itu bisa jadi sangat menantang bagi para perencana bangunan, tapi juga bisa berbalik menjadi sebuah `resiko` yang berbahaya bagi arsitek dan para pengambil keputusan. Dengan demikian, alih-alih menjadi karya arsitektur yang baik yang menjadi cita-cita para arsitek yang bertanggung jawab, malah menjadi monumen kegagalan yang ditanggung sepanjang hayat seorang arsitek.

Ekspresi Universal (?) - Pengambilan pilihan bentuk-bentuk relung-relung (arches) dan atap kubah mencoba menghadirkan bentuk-bentuk yang sudah terlanjur dikenal masyarakat sebagai ungkapan-ungkapan arsitektur masjid (Foto: dari Mas Djuhara).



Untuk mendapatkan hasil yang terbaik dan munculnya legitimasi yang kuat bagi seorang perancang dalam mendesain bangunan dengan karakteristik seperti itu, adalah tiada cara lain kecuali dengan melalui sebuah sayembara.

Salah satu sisi baik yang patut dicontoh dari masa Presiden Soekarno dalam hal ini adalah upaya membangun bangunan, fisik dan elemen-elemen kota lainnya yang sering menggunakan cara/teknik sayembara. Sekadar contoh tengoklah proses beberapa karya patung, Tugu Monas hingga Masjid Istiqlal di Ibu Kota. Semua melalui sayembara seperti itu, karena ia lebih menjamin obyektifitas dan memungkinkan diperolehnya hasil yang terbaik yang bisa dipertanggungjawabkan dari berbagai aspek.

Ia juga dapat menumbuh-suburkan kreatifitas bagi seluruh desainer anak negeri untuk ikut berpartisipasi membangun kota dan negerinya sendiri. Bahkan proses seperti ini juga diharapkan bisa menghilangkan atau paling tidak mengurangi kemungkinan praktek-praktek Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang sudah demikian akut sejak masa Orde Baru itu. Ini artinya sebuah reformasi dalam proses-proses pengambilan keputusan yang menyangkut keputusan desain dan penyelenggaraan bangunan gedung di negeri ini.

Proses sayembara akan menjadi awal yang sangat baik bagi proses pengambilan keputusan desain dan penyelenggaraan bangunan-bangunan penting di negeri ini. Sayembara desain adalah juga solusi terbaik dari proses perencanaan dan pembangunan semua bangunan penting di tempat yang sangat strategis seperti itu. Akan terhindar pula kemungkinan praktek-praktek KKN dalam proses-proses pengambilan keputusan itu, yang sering menyebabkan desain arsitektur menjadi sebuah karya yang kurang atau sulit dipertanggungjawabkan baik ditinjau dari sisi akademik maupun secara keprofesian.

Pengakuan atau legitimasi seorang arsitek muncul dari proses sayembara tersebut. Di sini akan terlihat siapa yang paling baik gagasannya ditinjau dari segala sisi baik aspek kota, sejarah, sosial, budaya, ekonomi, maupun arsitektur itu sendiri. Dan (!) kemudian berikan pula kewenangan pemenangnya untuk berkreasi menyelesaikan rancangannya dengan penuh tanggung jawab. Ini kalau kita ingin membangun arsitektur, kota dan negeri kita dengan lebih baik.

****

Published@ Buletin WARTA Ikatan Arsitek Indonesia/IAI Jawa Barat, No. 120/04-05-06/03. No. ISSN 0853-8921, July 2003

Catatan: Kalau saya menyebut karya patung, bukan berarti saya setuju dengannya, apalagi ditebar ke seluruh penjuru kota seperti itu. Di sini saya lebih menekankan pada prosesnya, bukan pada obyeknya.

Sunday, September 10, 2006

JALAN PANJANG RUMAH TUHAN

Sesekali diwaktu senggang coba googling dengan kata kunci arsitektur masjid, ternyata ketemu artikel saya sendiri di Gatra yang berjudul "Jalan Panjang Rumah Tuhan" versi pdf-nya. Ada dua alamat dan semuanya gratis lagi. Biasanya kalau ingin membaca versi pdf diminta beli gobang. Ya sudah, saya link-kan di sini ya, silahkan download jika ingin membaca atau memerlukan. Gratis kok.

silahkan klik di sini:

http://web.gatra.com/2005-10-31/download/909bdc790b3a24ce133a6e445c72aeb0/1151056kol.pdf#search=%22%20%22bambang%20setia%20budi%22%22

Eamng udah kagak bisa dibuka lagi, mungkin link-nya juga udah ilang. Lagian udah nyebar di internet jadi sekali di internet jadilah milik publik. Ini saya posting aja juga di sini.


JALAN PANJANG RUMAH TUHAN

Oleh: BAMBANG SETIA BUDI
Sumber: Gatra

TIPE bentuk masjid di Indonesia berasal dari masjid Jawa. Demikian menurut penelitian ilmuwan Belanda, G.F. Pijper. Ia merinci, ada enam karakter umum tipe masjid Jawa. Yakni berdenah bujur sangkar. Lantainya berada pada fundamen yang massif atau tidak memiliki kolong lantai sebagaimana rumah-rumah vernakular Indonesia atau tempat ibadah berukuran kecil, seperti langgar (Jawa), tajug (Sunda), dan bale (Banten).

Atapnya berbentuk tumpang, terdiri dari dua hingga lima tumpukan, mengerucut ke satu titik di puncaknya. Masjid punya ruang tambahan pada sebelah barat atau barat laut untuk mihrab. Ada beranda di depan atau samping masjid, biasanya disebut surambi atau siambi (Jawa) atau tepas masjid (Sunda). Juga punya ruang terbuka yang mengitari masjid yang dikelilingi pagar pembatas dengan satu pintu masuknya di bagian depan.

Beberapa ilmuwan lainnya juga mendeskripsikan karakteristik masjid Jawa ini. Gambaran secara umum terlihat hampir sama, hanya terdapat perbedaan dari cara mengungkapkan. Yang jelas, ciri bentuk masjid Jawa seperti itu sejatinya sangat unik. Serta menunjukkan perbedaan mencolok dibandingkan dengan bentuk arsitektur masjid di berbagai belahan dunia.

Pendapat Pijper tentang tipe bentuk masjid di Indonesia itu digarisbawahi oleh hampir semua ilmuwan. Bahkan banyak yang menyebutkan, pengaruh bentuk arsitektur masjid Jawa ini bukan hanya pada tipe masjid di Indonesia, namun hingga masjid-masjid di seluruh Asia Tenggara, antara lain Malaysia, Thailand (Patani), dan Filipina (Mindanao). Pendapat itu, antara lain, dikemukakan oleh akademisi Australia Hugh O'neill dalam buku The Mosque History Architectural Development and Regional Diversity (1994).

Sampai pada titik ini, banyak kalangan tampak berpandangan sama. Namun, ketika dihadapkan pada pertanyaan dari mana sebenarnya asal-usul bentuk masjid Jawa yang unik dan khas ini, akan mencuat perbedaan pendapat dan perdebatan yang tak terelakkan. Berikut saya paparkan rangkuman silang pendapat tentang asal-usul masjid Jawa dari para scholar.

Pendapat yang paling awal datang dari seorang ilmuwan Belanda bernama K. Hidding di tahun 1933 dalam tulisannya berjudul: "Het bergemotief in eenige godsdienstige verschinjnselen op Java". Hidding mengaitkan antara bentuk atap masjid Jawa yang tinggi menjulang dan bentuk gunung yang disucikan.

Asumsi Hidding ini juga mendapat dukungan sejarawan terkenal Belanda H.J. de Graff dalam tulisannya: "De Oorsprong der Javaanse Moskee", di tahun 1947-1948. Graff menegaskan, bentuk atap masjid seperti itu memang diturunkan dari bentuk gunung, karena ia merupakan suatu bentuk yang suci dan sakral dalam tradisi Hindu-Jawa.

Sedangkan peneliti J.P. Rouffer mencoba mengargumentasikan pandangan religius bahwa masjid Jawa muncul dari sebuah bangunan Buddha yang disebut dalam Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca. Spekulasi Rouffer ini mungkin memang dilengkapi berbagai argumen religi, namun tampak sama sekali tidak mempertimbangkan segi fisik bangunan sehingga dasar hipotesisnya lemah.

Baik Hidding maupun Rouffer tidak mempertimbangkan aspek fisik, khususnya teknik dan konstruksi bangunan. Mereka hanya menginterpretasikan bentuk umum dikaitkan dengan pandangan religi. Padahal, semua pandangan dan interpretasi metafisik saja tidaklah cukup untuk menjelaskan keterkaitan segi-segi fisik atau arsitektural sebuah bangunan. Selain kurang rasional, pandangan seperti ini juga sering absurd, sehingga tidak mudah diterima begitu saja oleh banyak kalangan, khususnya sejarawan arsitek.

Di tahun 1935, seorang arkeolog Belanda bernama W.F. Stutterheim dalam bukunya berjudul Leerboek der Indische cultuuregeschiedenis, Vol. 3, ''De Islam en zijn komst in den archipel'', menyebutkan, masjid Jawa itu diturunkan dari bentuk bangunan besar komunitas, yang ia sebut sebagai hanenklopbaan seperti kalau di Bali disebut wantilan (tempat sabung ayam). Sayangnya, teori ini tidak didukung dengan argumen lebih lanjut.

Pandangan yang disertai argumen cukup meyakinkan mungkin dari Pijper dalam makalahnya berjudul The Minaret in Java (1947). Setelah menyebut karakteristik masjid Jawa, ia juga menyimpulkan bahwa bentuk itu tidak mungkin berasal dari struktur luar yang dibawa ke negeri ini melalui para pendakwah dari luar negeri.

Pijper yakin, ada suatu bentuk lokal dan asli yang diadaptasikan sesuai kebutuhannya hingga menjadi bentuk bangunan ibadah. Argumennya, denah bujur sangkar sudah sangat lazim digunakan pada struktur-struktur seni bangunan Hindu-Jawa seperti candi, dan tidaklah sulit mendapatkan contoh struktur lantai dinaikkan dengan fundamen massif seperti itu.

Atap yang bertumpuk dan mengerucut pada satu titik seperti itu jelas mengidentifikasikan orisinalitas dari bangunan pra-Islam, misalnya bentuk meru. Bahkan Pijper berpandangan, atap tumpuk lima Masjid Agung Banten maupun pada lukisan tua Masjid Jepara di abad ke-17 adalah kelangsungan dari meru.

Sejarawan H.J. de Graff menolak pandangan ini. Ia menentang khususnya teori Stutterheim yang menyebutkan, bangunan masjid Jawa berasal dari wantilan atau fighting-cock-court di Bali. Alasannya, bangunan itu adalah profan. Tidak mungkin umat Islam mau beribadah dalam bangunan profan seperti itu. Lagi pula, bangunan wantilan itu tidak bertingkat.

Terlebih lagi bangunan semacam itu hanya ada di Bali, tidak mungkin bisa memberi pengaruh ke seluruh Indonesia. Graff menyarankan untuk mengaitkan masjid Jawa dengan bangunan kayu yang ada di India, khususnya masjid di Malabar. Pertimbangnnya, batu nisan yang pernah ditemukan di Gresik juga berasal dari India (Gujarat). Selain itu, Masjid Kashmir dari kayu juga perlu dipertimbangkan.

Anjuran untuk merujuk ke bangunan India yang ditawarkan Graff ditampik arkeolog Indonesia, Sutjipto Wirjosuparto. Meskipun atapnya sama (tumpang), menurut Wirjosuparto, denah masjid di Malabar itu persegi panjang dan tidak dikelilingi oleh air. Ia menegaskan, asal-usul masjid Jawa itu dari bangunan pendopo di Jawa. Argumennya, denahnya bujur sangkar, jika ditambah dinding luar keliling sudah mirip ruangan masjid.

Kalau ditambah ruang mihrab di sisi arah kiblat, sudah persis sama dengan masjid. Sementara untuk alasan atap tumpang, ia merujuk pada atap bangunan joglo. Pandangan Wirjosuparto ini masih perlu penjelasan lebih lanjut, sebab nama pendopo sendiri berasal dari bahasa Sanskrit, ''mandhapa'', erat kaitannya dengan satu bagian pada candi Hindu India.

Juga sulit menjelaskan bahwa filosofi bangunan pendopo bagaimanapun adalah bangunan tambahan. Sementara kalau menjadi masjid, ia menjadi bangunan terpenting. Selain itu, hipotesis joglo juga meragukan. Memang benar atapnya tumpang, tetapi bukan berbentuk piramidal yang menuju pada satu titik di puncaknya.

Yang terakhir adalah hipotesis ilmuwan Prancis, Claude Guillot (1985), dalam artikelnya berjudul La Symbolique de la Mosquee Javanaise. Ia menyimpulkan, arsitektur masjid Jawa dipengaruhi secara kuat oleh arsitektur batu di India dan arsitektur kayu di Cina.

Adapun untuk atap tumpuknya diturunkan dari atap "cungkup" kuburan Islam di Jawa. Pertanyaannya, lebih dulu yang mana: masjid atau cungkup? Apalagi atap cungkup jarang yang tumpuk, kecuali pada atap cungkup makam Sunan Giri di Gresik, Jawa Timur.

Kalau demikian, dari manakah asal-usul masjid Jawa itu? Jalan masih panjang untuk sampai pada teori yang paling meyakinkan tentang asal-usulnya. Masih memerlukan bukti-bukti yang lebih kongkret lagi, baik bukti arkeologis, sejarah, maupun argumentasi arsitektur.

Mungkin yang paling prospektif untuk ditelusuri adalah pandangan yang menyebutkan bahwa masjid Jawa, rumah Tuhan yang beratap tumpang itu, berasal dari bangunan lokal yang diadaptasikan.

*Peneliti arsitektur masjid Nusantara, dosen arsitektur ITB, baru saja menyelesaikan program doktor di Toyohashi University of Technology, Jepang

Thursday, September 07, 2006

SAYEMBARA MASJID RAYA SUMBAR


Gambar Masjid di Taloek, Padang tahun 1910.

Postingan ini adalah tentang lomba rancang masjid yang menawarkan hadiah terbesar hingga saat ini
(bahkan konon hadiah terbesar dari semua sayembara rancang bangunan yang pernah ada) di Indonesia. Lomba ini telah menarik peminat/peserta hingga 323 orang/kelompok. Setelah membaca nama-nama pesertanya, ada teman ada kawan, ada mahasiswa ada dosen, ada yang sudah senior, berpengalaman dan profesional dan ada pula yang tampaknya baru lulus. Justru itu hanya salah satu saja dari nilai positif sayembara yakni semua punya kesempatan yang sama untuk saling mengekspresikan karya terbaiknya.

Secara pribadi ingin mengucapkan: pertama, selamat untuk pemda sumbar atas penyelenggaraan sayembara ini. Banyak sisi positif akan didapat jika dilakukan sayembara untuk bangunan yang sangat penting seperti itu. Kedua, sekadar usul untuk setiap karya yang menang/mendapat penghargaan diberikan penjelasan/ulasan oleh Dewan Juri dan dipublikasikan secara transparan sebagai pembelajaran bagi arsitek/calon arsitek/mahasiswa khususnya dan publik pada umumnya. Ketiga, selamat untuk nanti para pemenang yang menurut informasi di situsnya akan diumumkan Selasa nanti tgl 12 September.

Toyohashi, 7 September 2006

Bsb

---------------------------------

Sayembara Desain Masjid Raya Propinsi Sumatera Barat

Masyarakat Minangkabau yang sebagian besar adalah penduduk wilayah Propinsi Sumatera Barat dalam menjalankan kehidupan sosial budayanya tetap berpegang teguh pada adagium adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah (ABS-ABK). Oleh karena itu sejak dulu sampai sekarang, masjid sebagai representasi kehidupan merupakan salah satu ikon budaya yang penting. Masjid tidak saja dapat dijadikan ukuran dari keberhasilan masyarakat suatu wilayah/ nagari, tetapi sekali gus menjadi sebuah kebanggaan masyarakat di nagari tersebut. Itulah sebabnya sampai sekarang, setiap orang Minangkabau baik yang di kampung maupun yang di rantau selalu bergairah dan berlomba-lomba membangun dan memakmurkan masjid. Dengan demikian, masjid menjadi sentra kegiatan sosial kemasyarakatan. Di dalam adatnya disebutkan, sebagai salah satu syarat bagi sebuah nagari antara lain adalah babalai bamusajik. Adanya balai tempat bermusyawarah ninik mamak dan adanya masjid untuk aktivitas keagamaan dan ilmu pengetahuan.

Dalam perkembangan berikutnya dengan pesatnya perkembangan kota dalam wilayah Sumatera Barat, mempunyai dampak tersendiri pula. Nagari-nagari yang masing-masingnya memiliki masjid kini beralih pula pada setiap kota mendirikan masjid. Walaupun belum menyeluruh, tetapi pemerintah telah berusaha ke arah itu, mendorong masyarakat kota mendirikan mendirikan masjid-masjid yang representatif dengan fasilitas yang memadai untuk melengkapi sebuah kota. Begitu juga dengan Padang sebagai ibukota propinsi Sumatera Barat sudah sepatutnya mempunyai masjid yang representatif dengan fasilitas-fasilitas umat yang memadai. Dalam konteks inilah gubernur Sumatera Barat mendorong dan menghimpun potensi masyarakat untuk mendirikan sebuah Masjid Raya Sumatera Barat.

Pemenang Utama: Rp. 150.000.000,-
Pemenang Harapan I: Rp. 75.000.000,-
Pemenang Harapan II : Rp. 50.000.000,-
Pemenang Harapan III : Rp. 25.000.000,-

Selengkapnya silahkan buka situsnya di http://www.masjidraya-sumbar.com/
Kita tunggu para pemenangnya dari keputusan Dewan Juri.

Saturday, September 02, 2006

TENTANG KUBAH 3: Case HAGIA SOFIA dan THE BLUE MOSQUE


Pertama ini bukan sekadar pingin mejeng ya "smile". Tapi ini mencoba memberi wacana/wawasan yang masih terkait soal Kubah, sengaja saya bandingkan dan postingkan 2 foto dan sedikit ulasan di sini sebagai contoh kasus. Dari gambaran sederhana ini mudah-mudahan kita bisa lebih tahu dan tidak keliru atau kaprah soal kubah pada masjid.







Foto 1 -
Mejeng di depan The Blue Mosque (1609-1616 AD)

Bangunan di belakang itu adalah bangunan masjid terbesar di Istanbul yang terkenal dengan sebutan The Blue Mosque. Bangunan masjid beratap kubah ini luar biasa besar dalam skala/ukuran dan ketinggian yang akan membuat siapa saja merasa kecil seperti saya pada waktu memasukinya. Bangunan masjid
yang telah menjadi salah satu masterpiece arsitektur dalam peradaban Islam ini dibangun oleh Sultan Ahmed I pada antara tahun 1609-1616 di masa Khilafah Utsmaniyah (Ottoman Empire). Kekhalifahan Turki Utsmani adalah khilafah terakhir dunia Islam dan pembangunan masjid dengan atap kubah sangat menonjol khususnya di wilayah Turki bahkan hingga masa sekarang.








Foto 2 -
Mejeng di depan Hagia Sofia (532-537 AD)


Pada foto kedua ini, bangunan di belakang itu bernama Hagia Sofia yang terletak di sebelah bangunan The Blue Mosque yang hanya dibatasi jalan dan ruang terbuka/taman. Ini adalah bangunan sangat terkenal, sangat monumental dan telah menjadi serta menandai karya besar anak manusia sepanjang peradabannya. Bangunan yang dulu difungsikan sebagai gereja ini dibangun pada masa Bizantin oleh Kaisar Justinian I yang dalam sejarah disebutkan memakan waktu 5 tahun (532-537 AD). Perhatikan, bangunan dengan atap berbentuk kubah ini sudah dibangun hampir 1500 tahun yang lalu! Menariknya atap kubah itu dipakai untuk menutup bangunan dengan denah persegi panjang. Sejak tahun 1453 oleh Khilafah Utsmaniyah, Hagia Sofia ini dijadikan masjid dengan menambah elemen mihrab, mimbar dan hiasan kaligrafi, dan pada tahun 1935 oleh penguasa sekuler Turki di bawah Kemal Attaturk dirubah menjadi museum.

Kalau membandingkan antara The Blue Mosque dengan Hagia Sofia, tentu Hagia Sofia jauh lebih tua dari The Blue Mosque bahkan terpaut beda lebih dari 1000 tahun lamanya. Ada konsep dan sejarah tersendiri mengapa The Blue Mosque oleh arsiteknya SINAN mengambil bentuk bangunan dan atap mirip Hagia Sofia di seberangnya (namun tidak akan saya bahas di sini nanti
out of topic dan terlalu panjang). Silahkan dipikir dan direnungkan, kubah sudah digunakan sebagai atap dengan skala raksasa pada bangunan bukan masjid sejak era Bizantin pada hampir 1500 tahun lalu atau bahkan puluhan tahun lebih dulu sebelum RasululLah Muhammad SAW dilahirkan (571 AD).

TENTANG KUBAH 2 (Tanya)

Dear Pak Bambang,

Pak, saya ini mahasiswa Pasca Sarjana Teknik Arsitektur ..... (dihapus), mau minta komentar tentang judul penelitian saya: "Kubah dalam Arsitektur Islam". Saya adalah dosen negeri pada Jurusan teknik arsitektur pada Universitas ..........(dihapus). Pertanyaan saya adalah apakah literatur yang dapat mendukung judul penelitian saya ini atau tidak? Apakah bapak dapat membantu saya dalam memperlancar penelitian saya ini?

Please reply,
the very best regards,

----

Reply:

Saya kira, sebelum secara spesifik melakukan studi tentang kubah dalam arsitektur Islam itu, ada baiknya Bapak/ibu perlu melakukan kajian-kajian kecil paling tidak seperti:

1. Apa itu Arsitektur Islam (teoritik)
2. Kilas pandang arsitektur Islam/monumen/bangunan umat Islam, dari sejarah dan perkembangannya di berbagai belahan dunia (empirik)
3. Simbol dan identitas dalam arsitektur (teoritik/praxis)
4. Kubah, dari kajian struktur/konstruksi, dan kesejarahannya khususnya asal-usul (origin).

Hal-hal itu sedikit banyak akan memberikan "foundation" untuk melakukan kajian yang lebih tajam. Bagusnya, sebelum kita melakukan riset, perlu membaca dulu kajian–kajian seperti itu. Memang perlu kajian, seminar kecil, atau kuliah-kuliah dan baca-baca resource baik langsung maupun tidak langsung terkait topiknya.

Tentu saja banyak buku/literatur yang mendukung tema-tema spt itu. Kebetulan buku-buku saya ada di Indonesia dan yang di sini sedang saya kirim pulang lewat kapal laut, sehingga belum bisa mengecek lagi bibliografi yang langsung terkait ini (namun seingat saya belum ada yang secara khusus mengkaji/publikasi topik ini, kurang tahu kalau
unpublished work). Sekadar sebagai awal, mungkin daftar dan/atau referensi berikut ada manfaatnya (2 pdf file).

Demikian dulu dari saya,
Wassalamualaikum