Tuesday, October 09, 2007

QUOTATION FOR THE PATHOK NEGORO MOSQUE

Mlangi in Ramadhan: A city that never sleeps

Features - September 14, 2007

Bambang Muryanto, Contributor, Yogyakarta

On Monday afternoon, just days ahead of the Islamic fasting month, the call to prayer echoed throughout Mlangi, one of the oldest villages in Sleman, Yogyakarta.

Men wearing sarongs and caps hurried to the biggest mosque in the village, Jami' Mlangi, to attend the prayer gathering.

Across the village, people were also letting off firecrackers -- which sounded like gunshots -- to welcome the fasting month.

In Ramadhan, Mlangi is a village that never sleeps. The mosque loudspeakers broadcast fiery sermons and congregation information from right after the morning prayer at around 4.20 a.m.

Also, Koran study and recital groups meet in mosques and private homes from morning until night.

"Ramadhan means surviving on less sleep," said Nasiruddin, a student of Mlangi Assalafiyah Islamic boarding school.

Located some seven kilometers from downtown Yogyakarta, the people of Mlangi have embraced Islam and made it their way of life. Most members of the community are farmers or run their own businesses. The men usually wear sarongs and caps and the women headscarves.

Covering an area of some 24 hectares and surrounded by green rice fields, Mlangi has nine Islamic boarding schools, each of which has hundreds of students from all sorts of backgrounds.

The schools have built reputations for outstanding student achievement in different areas. The students of Al-Falakiyyah, for example, are said to be able to recite the Koran from heart.

The history of the boarding school is inseparable from the life story of cleric Nur Iman, whose real name was Kanjeng Bandara Pangeran Hangabehi (KBPH) Sandiyo.

Nur Iman was the son of Susuhunan Amangkurat IV of the Surakarta Kingdom and a stepbrother of Prince Mangkubumi, who was later crowned Sultan Hamengkubuwono I (HB I).

A royal family member who was born and grew up in Gedangan Islamic boarding school in Pasuruhan, East Java, Nur Iman eventually chose to study more about Islam and become a preacher.

"In 1756, Sultan HB gave a perdikan (or tax-free region) to KBPH Sandiyo," said the 71-year-old Sri Pujo, who is a "seventh generation" descendant of Nur Iman.

A few years later Nur Iman established an Islamic boarding school in the tax-free area, becoming a teacher there. Because of the school's reputation for excellence, the village became known as Mulangi (which literally means teaching).

In 1770, Sultan HB II instructed that four mosques be built in the four directions of north, west, south and east. The Jami' Mlangi Mosque is the mosque that was built in the west.

The building has undergone major renovation work but its gate, pulpit and minaret are all original.

Bambang Setia Budi -- a Phd student at Toyohashi University of Technology, Japan -- wrote in his paper A Study on the History and Development of the Javanese Mosque that the mosque did not function just as a place for preaching and praying but also as a political and religious pillar to support the authorities.

"During the Diponegoro War (1825-1830), for example, many of the Mlangi ulema, who had been Nur Iman's pupils, joined the fight against the Dutch," Sri Pujo said.

When the war ended with the capture of Prince Diponegoro, many of the ulema never returned to Yogyakarta. They dispersed to regions including Kebumen, Gombong and Purworedjo in Central Java, and thus helped spread Islam, Sri Pudjo said.

At the same time, the offspring of Nur Iman who stayed in Mlangi also established their own boarding schools. The oldest, An-Nawawi, was named after Nur Iman's son.

The boarding school, however, is no longer there because it was neglected after Nawawi left for Malaysia.

Aside from the students who come to study in the village's nine boarding schools, many Muslims travel to Mlangi, particularly on Thursday evenings, to visit the grave of Nur Iman.

"Visitor numbers peak on the evenings leading up to Ramadhan," said Sri Pudjo, who inherited Nur Iman's kris.

Sri Pudjo said many people also stayed in Mlangi during the fasting month, arriving on the fifth day of Ramadhan and leaving on the 25th.

He said villagers, visitors and students would come together at Jami' Mlangi mosque to perform prayers and recite the Koran as they waited to eat the pre-dawn meal known as sahur, before resuming their fast.

----------

Source: The Jakarta Post - The Journal of Indonesia Today Oct 9, 2007

Saturday, June 23, 2007

SCHOEMAKER DAN PENANDA KOTA BANDUNG

oleh Bambang Setia Budi


Sungguh memprihatinkan ketika mengikuti berita di Harian Kompas (25/7) bahwa makam Prof. Ir. Charles Proper Schoemaker akan dibongkar karena pajak makamnya sejak tahun 1994 sebesar Rp 180.000,- belum dibayar. Namun syukurlah hari berikutnya di harian yang sama diberitakan pembongkaran makam Schoemaker di Taman Pemakaman Umum Pandu, Bandung dibatalkan setelah ada yang mau peduli dengan masalah ini dengan melunasi tunggakan retribusi.

Boleh jadi belum banyak orang tahu bahwa arsitek bernama lengkap Prof Ir Kemal Charles Proper Wolff Schoemaker (1882-1949) memiliki banyak peran dalam pembangunan gedung bersejarah di Kota Bandung, kota di mana ia dimakamkan. Ia seorang dari beberapa arsitek Belanda ternama yang banyak berkarya di Indonesia selain Thomas Karsten, dan Henry MacLaine Pont. Dia juga guru presiden pertama RI Soekarno dan para insinyur pribumi angkatan pertama semasa kuliah di Technische Hogeschool (kini menjadi Institut Teknologi Bandung/ITB).

Selain bangunan, tidak sedikit tulisan hasil penelitiannya mengenai kebudayaan Indonesia khususnya tentang arsitektur tradisional termasuk candi. Bersama MacLaine Pont, arsitek yang merancang Kampus ITB, arsitek kelahiran Banyubiru, Ambarawa, ini membentuk kesatuan pandangan arsitektur yang sangat memperhatikan potensi dan budaya setempat yang tampak pada karyanya.

Berikut ini sebagian karyanya yang bertebaran di penjuru Kota Bandung, mulai dari gedung pertemuan, hotel, bangunan kantor/komersial, masjid dan gereja, rumah tinggal, penjara, hingga laboratorium penelitian. Hampir semua karya itu menjadi penanda fisik penting di Bandung.


***

GEDUNG Merdeka di Jalan Asia-Afrika merupakan salah satu artefak yang sangat menyejarah di Kota Kembang karena di gedung tersebut pernah diselenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.

Pada abad ke-19 gedung itu mulanya digunakan sebagai gedung Societeit Concordia yang merupakan perkumpulan orang-orang terkemuka. Namun, pada tahun 1930 bangunan itu dirombak total dari idiom klasik ke Arsitektur Modern oleh Schoemaker. Karena menjadi bangunan yang teramat penting, sejak tahun 1955 hingga saat kini tidak ada sedikit pun dilakukan perubahan berarti.

Karya lain adalah hotel paling eksotik yang dibangun pada masa kolonial yakni Hotel Preanger. Hotel ini jelas mengingatkan pada langgam seni dekoratif Frank Lloyd Wright pada awal 1920-an, khususnya karya Imperial Hotel di Tokyo (1915-1925).

Motif geometrik secara dekoratif mengisi pada bidang dan pertemuan elemen bangunan. Karya ini memberi identitas tersendiri yang menegaskan sebutan Art Decorative. Pengaruh ini sebenarnya muncul dalam banyak bangunan kolonial di Bandung. Boleh jadi, gejala ini juga merupakan imbas dari maraknya langgam serupa di kota-kota Eropa sekitar tahun 1920-an.







Eksotis – Hotel Preanger merupakan salah satu hotel paling eksotis yang dibangun di Bandung pada masa kolonial. Bangunan ini mengingatkan langgam-langgam Art Decorative yang marak di kota-kota Eropa tahun 1920-an. (Fotografer: Amin Budiarjo)



***

Jika ia pernah merancang bangunan komersial di Surabaya seperti Kolonial Bank (Jalan Jembatan Merah) dan Java Store (Jalan Tunjungan), Schoemaker pernah juga merancang bangunan bernama Jaarbeurs de Bandung yang bergaya modern dan kini dipakai sebagai Markas besar Kodam III Siliwangi. Kompleks Jaarbeurs awalnya direncanakan untuk keperluan pameran hasil industri organisasi pengusaha industri bernama Vereniging Nederland Indische Jaarbeurs de Bandung.

Kompleks Jaarbeurs yang mulai dibangun tahun 1920 ini dikelilingi empat jalan, yakni Jalan Banda, Jalan Menado, Jalan Blitar, dan Jalan Sunda. Meskipun beberapa telah mengalami perubahan, namun unit bangunan utama paling depan dekat gapura masih utuh, kecuali elemen dekoratif klasik tiga buah patung yang ditutup badannya di bagian pintu masuk. Desain dan tata letak berbagai ventilasi untuk memasukkan cahaya dan udara alami tertata sangat baik.

Perpaduan langgam Eropa dengan gaya setempat terlihat mantap dalam rancangan bangunan religius seperti Masjid Cipaganti di Jalan Cipaganti dan Gereja Bethel di Jalan Wastukencana. Masjid Cipaganti yang dibangun pada tahun 1933 memperlihatkan unsur seni bangunan Jawa, yaitu berupa penggunaan atap tajug tumpang dua, empat saka guru di tengah ruang shalat dan detail ornamen seperti bunga maupun sulur-suluran. Sedangkan unsur Eropa terlihat pada pemakaian kuda-kuda segi tiga penyangga atap dan secara khusus penataan massa bangunan pada lahan ”tusuk sate” antara Jalan Cipaganti dengan Jalan Sastra. Penataan massa bangunan seperti ini menjadikan bangunan tampak paling menarik jika dilihat dari Jalan Sastra karena terbingkai deretan pepohonan rindang. Penataan seperti itu merupakan cara ”Eropa” yang menjadi sesuatu yang baru pada bangunan masjid di Jawa.








Masjid Cipaganti – Peletakan massa bangunan Masjid Cipaganti dalam posisi ”tusuk sate” merupakan cara ”Eropa”. Bangunan ini memperlihatkan dengan jelas upaya memadukan unsur seni bangunan Jawa dan Eropa. (Fotografer: Yessika Abdasah).




Begitu pula Gereja Bethel yang menghadap Sythof Park Pieter atau sekarang disebut Taman Merdeka. Pada bagian atap, Schoemaker mengambil bentuk atap tajug Jawa, namun bentuk bangunannya mengambil sentral Palladian dengan menara sudut. Langgam Eropa makin jelas jika dilihat pada pintu utama yang mengingatkan bentuk gereja Romanesk meskipun samar-samar mengambil pula inspirasi Gothik.

Arsitek ini juga pernah mendesain bangunan yang biasa dikenal sebagai Penjara Sukamiskin. Bangunan penjara ini masih berdiri dengan kokoh yang dapat kita lihat dari arah perjalanan Cicaheum ke Ujung Berung di sebelah kanan jalan. Sungguh suatu bangunan yang juga tidak kalah menarik di pinggiran Kota Bandung.

***

JIKA kita lanjutkan penelusuran makin ke arah Bandung Utara, kita akan menemui beberapa rumah tinggal yang sangat unik karya Schoemaker. Dua di antaranya adalah Villa Merah, ITB di Jalan Tamansari, dan Villa Isola di Jalan Setiabudi yang kini menjadi gedung rektorat IKIP/UPI Bandung.

Bangunan rumah tinggal pertama Schoemaker terkenal dengan sebutan Villa Merah karena menggunakan bata berwarna merah. Material ini dipaparkan terbuka sehingga warna merah mendominasi hampir seluruh permukaan bangunan kecuali atap yang menjulang dan menjadikan vila itu sangat unik karena tanpa-padanan. Bangunan dua lantai ini juga sangat menonjol dalam upaya memadukan seni bangunan Eropa dengan Indonesia yang beriklim tropis panas dan lembab.








Villa Isola – Vila ini adalah sebuah bangunan modern di pinggiran Kota Bandung yang dianggap sangat berhasil dalam menyatukan bangunan dengan lingkungannya. (Fotografer: Amin Budiarjo)




Adapun Villa Isola disebut-sebut sebagai bangunan megah bergaya Arsitektur Modern yang dianggap sangat berhasil dalam menyatukan bangunan dengan lingkungannya. Bangunan yang awalnya adalah rumah tinggal milik orang Belanda bernama DW Barrety ini berada di pinggiran kota. Penataan lansekap dan bangunan mengikuti sumbu utara-selatan sebagaimana penataan lansekap Kampus ITB dengan taman memanjang menuju arah Gunung Tangkuban Perahu. Penataan ini memperlihatkan kesatuan dengan bentuk geometri bangunan yang meliuk-liuk plastis, dan dengan ornamen garis-garis moulding yang memanfaatkan efek gelap-terang sinar Matahari.

Karena terletak di dataran yang cukup tinggi dan bersumbu utara-selatan, kita bisa menikmati pemandangan ke utara yakni Gunung Tangkuban Perahu dan ke selatan ke arah Kota Bandung. Pemandangan ke berbagai arah ini dapat dinikmati dari berbagai sudut seperti ruang tidur, keluarga, makan, dan terutama teras atau balkon. Bangunan yang dibangun pada tahun 1933 ini dapat menjadi contoh perpaduan serasi antara seni bangunan barat dan timur.

Sebagai catatan akhir, jika menelusuri Jalan Setiabudi menuju Lembang kita akan menemui bangunan untuk pengembangan ilmu dan penelitian tentang bintang dan benda luar angkasa yaitu Laboratorium Bosscha yang sampai kini merupakan satu-satunya di Indonesia. Itulah sederetan bangunan karya Schoemaker yang sangat lekat dengan landmark Kota Bandung. Karya-karya itu, selain selalu memiliki kualitas desain arsitektural yang baik, juga memberi manfaat begitu besar karena terus digunakan meski sebagian di antaranya telah berubah fungsi. Dan, yang tak kalah penting, hampir semua artefak bangunan itu masih bisa disaksikan hingga kini.

****

Published @Kompas 2 Agustus 2002