Friday, November 10, 2006

INT`L JOURNAL PAPER PART-3

A Study on the History and Development of the Javanese Mosque part 3
Typology of the Plan and Structure of the Javanese Mosque and Its Distribution

Bambang Setia Budi

Doctoral Candidate, Department of Architecture and Civil Engineering, Toyohashi University of Technology, Japan

Abstract
This paper investigates and analyzes a typology of the plan and structure of the Javanese mosque and its distribution. The Study will focus on the plan of the main prayer hall and the
soko guru principle structure (master pillar in the centre of the main prayer hall, supporting the upper hipped roof of the mosque) since these two elements and the roof are the main characteristics of the Javanese Mosque. Until today, these were generally well-preserved elements. The study investigates and analyzes 127 mosques that were constructed in th 15th-19th centuries in Java. Based on this analysis, the paper argues that the main/original mosque type is square plan with four master pillars in the centre of the main prayer hall. It also finds and argues that there are many variations on these two elements in its development, but the main type is evenly spread throughout Java Island.

Keywords: typology; plan of main oprayer hall;
soko guru; Javanese mosque; distribution

----------

This paper was published in the Journal of Asian Architecture and Building Engineering (JAABE), Vol.5, No.2 November 2006.

Saturday, September 16, 2006

ZAHA HADID'S MOSQUE



Mungkin ada yang ingin lihat rancangan masjid karyanya Zaha Hadid, termasuk saya (dulu sih ;-)). Masjid ini dirancang untuk kompetisi/sayembara masjid pada tahun 2000 dan rencananya dibangun di Strasbourg, Perancis dan diberi nama La Grande Mosquée de Strasbourg (The Great Mosque of Strasbourg). Ada beberapa penjelasan tentang karya desain ini di Monografnya Zaha (1983-2004) atau di El Croquis edisi 103 (2001) (http://www.elcroquis.es). Yang jelas rancangan ini sih enggak dibangun, ceu nah....



Gagasan bentuk secara garis besar konon diturunkan dari pola-pola suara (sound patterns), reverberations, dan permainan sinar/cahaya (the play of daylight). Lihat dan perhatikan "The ribbon-like lines" pada bentuk atapnya.



Sementara gagasan garis-garis yang seperti mengalir dan meliuk-liuk (streamline
) pada struktur dan ruang-ruang dalam bangunan ini katanya muncul dari metafora kaligrafi Islam. Kaligrafi itu pula yang secara khusus dipakai sebagai tampilan lapisan lapisan kulit/selubung (enclosure) pada ruang utama sholat (the prayer hall). Lain waktu insyaAllah saya lengkapi ulasannya. (Cuma ngebayangin, kalau jadi dibangun apa malah bisa khusyuk saat sholat di dalamnya ya ;-)).

Foto/gambar
©Zaha Hadid Architects

G.F. PIJPER - ISLAMIC ARCHITECTURE

From archnet discussion forum - Islamic Architecture

Prof. G.F. Pijper, Leiden University, Holland
Hello everyone,
Can anyone tell me something more about Prof. G.F.
Pijper from Leiden University, who died recently?
Thank you very much.
-- Elena Paskaleva, December 10, 2003

Responses
Prof. G.F. Pijper, Leiden University, Holland
Pijper published some of the earliest studies of
Islamic architecture in Indonesia in English. For
anyone interested in Islamic SE Asia, he's essential
reading.
-- Hussein Keshani, April 20, 2004

Prof. G.F. Pijper, Leiden University, Holland
dear Elena Paskaleva,
He was one of significant dutch scholar who studied
Islam in Indonesia. Someone who wants to study
Islam and Islamic Architecture in Indonesia
should read his works and publications. Some his
publications were:
- Pijper, G.H. (1977),
Studien over de Geschiedenis van
de Islam in Indonesia 1990-1950. "De Moskeen van Java"
was one of the chapter inside that book.
- Pijper, G.H.
Fragmenta Islamica, studien over het
Islamisme in Netherlandsch-Indie. "Woman and Mosque"
was one of the interesting chapter inside that book.
- Pijper, G.H.
The Minaret in Java, in F.D.K. Bosch et
al (eds), India Antiqua. A volume of oriental studies
presented by his friends and pupils to Jean Philippe
Vogel (O), leiden; Brill, Kern Institute, pp. 274-283.

regards,
-- Bambang Setia Budi, June 25, 2004

Monday, September 11, 2006

HIKMAH MASJID RAYA BANDUNG: SAYEMBARA

Teringat akan sayembara desain untuk Masjid Raya Sumbar pada postingan sebelumnya, ini ada sebuah artikel lama yang saya tekankan pada proses yang mestinya juga dilakukan dengan sayembara. Memang tidak semua proses rancang bangun mesti melalui sayembara, namun saya sangat menganjurkannya pada bangunan-bangunan terpenting dan pada tempat-tempat yang sangat strategis seperti dalam kasus bangunan pada artikel berikut ini. Semoga bermanfaat dan mohon maaf jika ada pihak-pihak yang kurang berkenan. Tidak lain agar semoga semuanya menjadi semakin baik.

salam,
Bsb
---------------

Beberapa Catatan pada Masjid Raya Bandung

oleh Bambang S
etia Budi

Dari segi fungsinya sebagai sebuah bangunan ibadah, jelas menjadi sesuatu yang patut disyukuri atas diresmikannya pembangunan Masjid Agung Bandung yang baru (kini dirubah namanya menjadi Masjid Raya Bandung), seperti yang diberitakan diberbagai media baik lokal maupun nasional di negeri ini.

Namun dibalik itu, tampaknya juga menyisakan beberapa hal yang patut menjadi catatan penting bagi semua pihak khususnya para pengambil keputusan baik pemerintah, arsitek
secara lembaga maupun individu, profesional maupun akademisi, dan semua yang peduli dengan masalah ini. Paling tidak terdapat dua catatan penting yakni pertama, dari segi desain fisik arsitekturnya, dan kedua dari proses-proses pengambilan keputusannya.

Tulisan singkat ini hendak menggaris bawahi dua catatan paling penting di antara berbagai catatan terhadap perencanaan dan pembangunan Masjid Raya Bandung itu. Karya ini bagaimanapun merupakan salah satu di antara produk/karya arsitektur di negeri ini yang sempat menimbulkan berbagai kritik dan polemik dalam perancangan dan perencanaannya hingga terwujudnya bangunan suci umat Islam tersebut.

Dua catatan penting ini juga diharapkan menjadi sebuah studi kasus di lapangan untuk masukan UU Republik Indonesia nomor 28 tahun 2002 tentang bangunan gedung khususnya yang terkait proses penyelenggaraan bangunan gedung yang sangat penting di tempat yang sangat strategis seperti ini. Tampaknya kondisi di negeri ini dituntut adanya peraturan khusus menyangkut proses pengambilan keputusan untuk penyelenggaraan bangunan-bangunan istimewa seperti dalam kasus ini.

Lebih jauh, berbagai kritik dan catatan itu, bagaimanapun janganlah dianggap sebagai sesuatu yang hendak menentang para pengambil keputusan khususnya dalam hal ini pemerintah, atau juga para pakar dan arsitek senior dan bukan pula kepada umat yang notabene mayoritas di negeri ini. Tetapi kritik-kritik yang dapat dipertanggung-jawabkan dari sisi profesional maupun akademis itu mesti dijadikan sebagai catatan penting yang perlu difikirkan kembali jika hendak mengambil keputusan-keputusan serupa di masa yang akan datang.

Bird eye view – Gambar maket masjid dari sudut pandang mata burung Masjid Raya Bandung yang baru. Di sini terlihat perbedaan yang mencolok dengan bangunan sebelumnya, terutama pada penataan alun-alun, bentuk dan penampilan ekspresi bangunannya. (Dok. Masjid2000)


***

Sebagai catatan pertama dari desain fisik Masjid Raya Bandung yang paling menonjol, kontroversial dan sekaligus memprihatinkan adalah diambil-alihnya alun-alun sebagai ruang terbuka masjid.

Sebenarnya pergeseran/perubahan pada alun-alun Bandung sudah beberapa kali terjadi sejak dibangun pertama kali oleh Bupati Wiranata Kusumah (1846-1874) atas perintah G
ubernur Jenderal Hindia Belanda van Hoevell. Meski tidak secara persis sama fungsinya sebagai tempat halun-halun dalam konsep kota-kota lama di Jawa sejak masa Majapahit hingga Kasultanan Islam, alun-alun di Kota Bandung pada pertama kali dibangun itu jelas hendak memperkuat ciri penting bagi pola struktur tata ruang kota di Pulau Jawa.

Di sini lebih difungsikan sebagai ruang terbuka kota, hingga kemudian berubah menjadi taman umum kota sejak tahun 1967. Namun, fungsinya masih jelas yakni digunakan sebagai ruang publik. Hal ini sangat berbeda dengan hasil rancangan Masjid Raya
Bandung yang baru sekarang ini.

Dengan adanya elemen selasar yang menjulur dari bangunan masjid dan mengelilingi alun-alun itu, tampaknya orang awam pun bisa mengerti bahwa alun-alun itu kemudian menjadi bagian dari bangunan masjid yang baru. Dengan alasan penataan kawasan alun-alun yang semrawut atau menjadi tempat aktifitas amoral yang bertentangan dengan keberadaan masjid, maka pilihan desain seperti itulah yang dianggap cocok untuk menyelesaikan problem-problem itu.

Semestinya, masih dimungkinkan adanya pilihan lain dari implementasi bahasa `penataan kawa
san alun-alun` itu. Yang jelas pilihan yang diambil saat ini, adalah jelas-jelas telah merubah total sebuah konsep tata ruang kota yang telah dibuat oleh pendahulu kota kembang itu sendiri. Yang perlu dicatat dengan tinta merah adalah ia berarti telah mengambil wilayah `publik` dengan merubah derajatnya menjadi `semi publik` atau paling tidak mengurangi derajat `publik` itu untuk tujuan-tujuan yang lebih khusus. Lebih jauh, tinta itu juga berarti satu peristiwa penghilangkan jejak sejarah penting dengan merubah salah satu ciri terpenting dari pola struktur tata ruang kota.

Catatan yang juga sangat menonjol lainnya adalah diletakkannya dua menara masjid dan bangunan baru tambahan yang persis di jalan depan masjid. Padahal jalan ini memiliki makna penting yakni sebagai pembatas yang jelas antara masjid dengan alun-alun. Jalan itu berfungsi mempertegas bahwa dua elemen kota ini berbeda, yang satu sama lain saling mengisi dengan serasi dan harmonis dalam satu kawasan. Ini artinya ia berperan sangat penting dalam memperjelas struktur pola kawasan tersebut.

Meski konon jalan itu akan dibuat kembali dalam bentuk jalan di bawah tanah, tetapi ini tampaknya bukanlah sebuah konsep yang jelas dan kokoh namun lebih terkesan sekadar sebagai jawaban atas kritikan-kritikan yang muncul dari masyarakat. Lagi pula ini jelas tidak akan dapat mengembalikan peran dan makna jalan itu sebagaimana sebelumnya.

Memang demikianlah kenyataan sebuah kota itu, ia merupakan akumulasi produk dari pengambilan keputusan oleh banyak pihak dalam berbagai kurun waktu. Di berbagai lokasi penting tentu para pengambil keputusanlah yang sangat diharapkan perannya dengan baik. Ya itulah kota, di manapun ia berada jika tidak terencana dan terkelola dengan baik, ia bisa jadi centang-perenang bak benang kusut yang sulit dirunut.

Kita tidak tahu apakah para pengambil keputusan di masa yang akan datang bakal merubahnya lagi seperti semula atau justru membuatnya semakin parah. Yang penting dicatat bahwa umur sebuah kota tidak bisa diukur dengan skala umur satu atau dua generasi, apalagi masa jabatan tertentu saat memiliki peran sebagai pengambil keputusan.



Menara 99 m – Terlihat kedua menaranya lebih tinggi dari bangunan BRI tower di seberangnya. Karena mendapat teguran dari Dinas Perhubungan maka ketinggiannya saat ini menjadi 81 m. (Dok. Masjid2000)

***

Catatan kedua dari perencanaan dan pembangunan Masjid Raya Bandung ini adalah yang berkaitan dengan proses-proses pengambilan keputusan oleh yang berwenang khususnya pemerintah daerah.

Kurangnya keterbukaan dari sejak mulai digulirkannya proses perencanaan hingga peletakan batu
pertama itu cukup disayangkan oleh berbagai pihak. Karena hal tersebut menjadi cukup ironis jika dibandingkan dengan keberadaan bangunan yang demikian penting dan di tempat yang sangat strategis tersebut.

Memberi intervensi pada jantung kota, dan khususnya kasus perencanaan dan pembangunan Masjid Agung Bandung- meminjam istilah Prof. Sandi Siregar yang juga ketua IAI pusat pada waktu diskusi tentang Masjid Agung Bandung di Kantor IAI JABAR tanggal 27 April 2001- adalah sebagai `sebuah peristiwa arsitektur yang sangat besar`.

Maka mendesain bangunan publik di tempat yang sangat strategis seperti itu bisa jadi sangat menantang bagi para perencana bangunan, tapi juga bisa berbalik menjadi sebuah `resiko` yang berbahaya bagi arsitek dan para pengambil keputusan. Dengan demikian, alih-alih menjadi karya arsitektur yang baik yang menjadi cita-cita para arsitek yang bertanggung jawab, malah menjadi monumen kegagalan yang ditanggung sepanjang hayat seorang arsitek.

Ekspresi Universal (?) - Pengambilan pilihan bentuk-bentuk relung-relung (arches) dan atap kubah mencoba menghadirkan bentuk-bentuk yang sudah terlanjur dikenal masyarakat sebagai ungkapan-ungkapan arsitektur masjid (Foto: dari Mas Djuhara).



Untuk mendapatkan hasil yang terbaik dan munculnya legitimasi yang kuat bagi seorang perancang dalam mendesain bangunan dengan karakteristik seperti itu, adalah tiada cara lain kecuali dengan melalui sebuah sayembara.

Salah satu sisi baik yang patut dicontoh dari masa Presiden Soekarno dalam hal ini adalah upaya membangun bangunan, fisik dan elemen-elemen kota lainnya yang sering menggunakan cara/teknik sayembara. Sekadar contoh tengoklah proses beberapa karya patung, Tugu Monas hingga Masjid Istiqlal di Ibu Kota. Semua melalui sayembara seperti itu, karena ia lebih menjamin obyektifitas dan memungkinkan diperolehnya hasil yang terbaik yang bisa dipertanggungjawabkan dari berbagai aspek.

Ia juga dapat menumbuh-suburkan kreatifitas bagi seluruh desainer anak negeri untuk ikut berpartisipasi membangun kota dan negerinya sendiri. Bahkan proses seperti ini juga diharapkan bisa menghilangkan atau paling tidak mengurangi kemungkinan praktek-praktek Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang sudah demikian akut sejak masa Orde Baru itu. Ini artinya sebuah reformasi dalam proses-proses pengambilan keputusan yang menyangkut keputusan desain dan penyelenggaraan bangunan gedung di negeri ini.

Proses sayembara akan menjadi awal yang sangat baik bagi proses pengambilan keputusan desain dan penyelenggaraan bangunan-bangunan penting di negeri ini. Sayembara desain adalah juga solusi terbaik dari proses perencanaan dan pembangunan semua bangunan penting di tempat yang sangat strategis seperti itu. Akan terhindar pula kemungkinan praktek-praktek KKN dalam proses-proses pengambilan keputusan itu, yang sering menyebabkan desain arsitektur menjadi sebuah karya yang kurang atau sulit dipertanggungjawabkan baik ditinjau dari sisi akademik maupun secara keprofesian.

Pengakuan atau legitimasi seorang arsitek muncul dari proses sayembara tersebut. Di sini akan terlihat siapa yang paling baik gagasannya ditinjau dari segala sisi baik aspek kota, sejarah, sosial, budaya, ekonomi, maupun arsitektur itu sendiri. Dan (!) kemudian berikan pula kewenangan pemenangnya untuk berkreasi menyelesaikan rancangannya dengan penuh tanggung jawab. Ini kalau kita ingin membangun arsitektur, kota dan negeri kita dengan lebih baik.

****

Published@ Buletin WARTA Ikatan Arsitek Indonesia/IAI Jawa Barat, No. 120/04-05-06/03. No. ISSN 0853-8921, July 2003

Catatan: Kalau saya menyebut karya patung, bukan berarti saya setuju dengannya, apalagi ditebar ke seluruh penjuru kota seperti itu. Di sini saya lebih menekankan pada prosesnya, bukan pada obyeknya.

Sunday, September 10, 2006

JALAN PANJANG RUMAH TUHAN

Sesekali diwaktu senggang coba googling dengan kata kunci arsitektur masjid, ternyata ketemu artikel saya sendiri di Gatra yang berjudul "Jalan Panjang Rumah Tuhan" versi pdf-nya. Ada dua alamat dan semuanya gratis lagi. Biasanya kalau ingin membaca versi pdf diminta beli gobang. Ya sudah, saya link-kan di sini ya, silahkan download jika ingin membaca atau memerlukan. Gratis kok.

silahkan klik di sini:

http://web.gatra.com/2005-10-31/download/909bdc790b3a24ce133a6e445c72aeb0/1151056kol.pdf#search=%22%20%22bambang%20setia%20budi%22%22

Eamng udah kagak bisa dibuka lagi, mungkin link-nya juga udah ilang. Lagian udah nyebar di internet jadi sekali di internet jadilah milik publik. Ini saya posting aja juga di sini.


JALAN PANJANG RUMAH TUHAN

Oleh: BAMBANG SETIA BUDI
Sumber: Gatra

TIPE bentuk masjid di Indonesia berasal dari masjid Jawa. Demikian menurut penelitian ilmuwan Belanda, G.F. Pijper. Ia merinci, ada enam karakter umum tipe masjid Jawa. Yakni berdenah bujur sangkar. Lantainya berada pada fundamen yang massif atau tidak memiliki kolong lantai sebagaimana rumah-rumah vernakular Indonesia atau tempat ibadah berukuran kecil, seperti langgar (Jawa), tajug (Sunda), dan bale (Banten).

Atapnya berbentuk tumpang, terdiri dari dua hingga lima tumpukan, mengerucut ke satu titik di puncaknya. Masjid punya ruang tambahan pada sebelah barat atau barat laut untuk mihrab. Ada beranda di depan atau samping masjid, biasanya disebut surambi atau siambi (Jawa) atau tepas masjid (Sunda). Juga punya ruang terbuka yang mengitari masjid yang dikelilingi pagar pembatas dengan satu pintu masuknya di bagian depan.

Beberapa ilmuwan lainnya juga mendeskripsikan karakteristik masjid Jawa ini. Gambaran secara umum terlihat hampir sama, hanya terdapat perbedaan dari cara mengungkapkan. Yang jelas, ciri bentuk masjid Jawa seperti itu sejatinya sangat unik. Serta menunjukkan perbedaan mencolok dibandingkan dengan bentuk arsitektur masjid di berbagai belahan dunia.

Pendapat Pijper tentang tipe bentuk masjid di Indonesia itu digarisbawahi oleh hampir semua ilmuwan. Bahkan banyak yang menyebutkan, pengaruh bentuk arsitektur masjid Jawa ini bukan hanya pada tipe masjid di Indonesia, namun hingga masjid-masjid di seluruh Asia Tenggara, antara lain Malaysia, Thailand (Patani), dan Filipina (Mindanao). Pendapat itu, antara lain, dikemukakan oleh akademisi Australia Hugh O'neill dalam buku The Mosque History Architectural Development and Regional Diversity (1994).

Sampai pada titik ini, banyak kalangan tampak berpandangan sama. Namun, ketika dihadapkan pada pertanyaan dari mana sebenarnya asal-usul bentuk masjid Jawa yang unik dan khas ini, akan mencuat perbedaan pendapat dan perdebatan yang tak terelakkan. Berikut saya paparkan rangkuman silang pendapat tentang asal-usul masjid Jawa dari para scholar.

Pendapat yang paling awal datang dari seorang ilmuwan Belanda bernama K. Hidding di tahun 1933 dalam tulisannya berjudul: "Het bergemotief in eenige godsdienstige verschinjnselen op Java". Hidding mengaitkan antara bentuk atap masjid Jawa yang tinggi menjulang dan bentuk gunung yang disucikan.

Asumsi Hidding ini juga mendapat dukungan sejarawan terkenal Belanda H.J. de Graff dalam tulisannya: "De Oorsprong der Javaanse Moskee", di tahun 1947-1948. Graff menegaskan, bentuk atap masjid seperti itu memang diturunkan dari bentuk gunung, karena ia merupakan suatu bentuk yang suci dan sakral dalam tradisi Hindu-Jawa.

Sedangkan peneliti J.P. Rouffer mencoba mengargumentasikan pandangan religius bahwa masjid Jawa muncul dari sebuah bangunan Buddha yang disebut dalam Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca. Spekulasi Rouffer ini mungkin memang dilengkapi berbagai argumen religi, namun tampak sama sekali tidak mempertimbangkan segi fisik bangunan sehingga dasar hipotesisnya lemah.

Baik Hidding maupun Rouffer tidak mempertimbangkan aspek fisik, khususnya teknik dan konstruksi bangunan. Mereka hanya menginterpretasikan bentuk umum dikaitkan dengan pandangan religi. Padahal, semua pandangan dan interpretasi metafisik saja tidaklah cukup untuk menjelaskan keterkaitan segi-segi fisik atau arsitektural sebuah bangunan. Selain kurang rasional, pandangan seperti ini juga sering absurd, sehingga tidak mudah diterima begitu saja oleh banyak kalangan, khususnya sejarawan arsitek.

Di tahun 1935, seorang arkeolog Belanda bernama W.F. Stutterheim dalam bukunya berjudul Leerboek der Indische cultuuregeschiedenis, Vol. 3, ''De Islam en zijn komst in den archipel'', menyebutkan, masjid Jawa itu diturunkan dari bentuk bangunan besar komunitas, yang ia sebut sebagai hanenklopbaan seperti kalau di Bali disebut wantilan (tempat sabung ayam). Sayangnya, teori ini tidak didukung dengan argumen lebih lanjut.

Pandangan yang disertai argumen cukup meyakinkan mungkin dari Pijper dalam makalahnya berjudul The Minaret in Java (1947). Setelah menyebut karakteristik masjid Jawa, ia juga menyimpulkan bahwa bentuk itu tidak mungkin berasal dari struktur luar yang dibawa ke negeri ini melalui para pendakwah dari luar negeri.

Pijper yakin, ada suatu bentuk lokal dan asli yang diadaptasikan sesuai kebutuhannya hingga menjadi bentuk bangunan ibadah. Argumennya, denah bujur sangkar sudah sangat lazim digunakan pada struktur-struktur seni bangunan Hindu-Jawa seperti candi, dan tidaklah sulit mendapatkan contoh struktur lantai dinaikkan dengan fundamen massif seperti itu.

Atap yang bertumpuk dan mengerucut pada satu titik seperti itu jelas mengidentifikasikan orisinalitas dari bangunan pra-Islam, misalnya bentuk meru. Bahkan Pijper berpandangan, atap tumpuk lima Masjid Agung Banten maupun pada lukisan tua Masjid Jepara di abad ke-17 adalah kelangsungan dari meru.

Sejarawan H.J. de Graff menolak pandangan ini. Ia menentang khususnya teori Stutterheim yang menyebutkan, bangunan masjid Jawa berasal dari wantilan atau fighting-cock-court di Bali. Alasannya, bangunan itu adalah profan. Tidak mungkin umat Islam mau beribadah dalam bangunan profan seperti itu. Lagi pula, bangunan wantilan itu tidak bertingkat.

Terlebih lagi bangunan semacam itu hanya ada di Bali, tidak mungkin bisa memberi pengaruh ke seluruh Indonesia. Graff menyarankan untuk mengaitkan masjid Jawa dengan bangunan kayu yang ada di India, khususnya masjid di Malabar. Pertimbangnnya, batu nisan yang pernah ditemukan di Gresik juga berasal dari India (Gujarat). Selain itu, Masjid Kashmir dari kayu juga perlu dipertimbangkan.

Anjuran untuk merujuk ke bangunan India yang ditawarkan Graff ditampik arkeolog Indonesia, Sutjipto Wirjosuparto. Meskipun atapnya sama (tumpang), menurut Wirjosuparto, denah masjid di Malabar itu persegi panjang dan tidak dikelilingi oleh air. Ia menegaskan, asal-usul masjid Jawa itu dari bangunan pendopo di Jawa. Argumennya, denahnya bujur sangkar, jika ditambah dinding luar keliling sudah mirip ruangan masjid.

Kalau ditambah ruang mihrab di sisi arah kiblat, sudah persis sama dengan masjid. Sementara untuk alasan atap tumpang, ia merujuk pada atap bangunan joglo. Pandangan Wirjosuparto ini masih perlu penjelasan lebih lanjut, sebab nama pendopo sendiri berasal dari bahasa Sanskrit, ''mandhapa'', erat kaitannya dengan satu bagian pada candi Hindu India.

Juga sulit menjelaskan bahwa filosofi bangunan pendopo bagaimanapun adalah bangunan tambahan. Sementara kalau menjadi masjid, ia menjadi bangunan terpenting. Selain itu, hipotesis joglo juga meragukan. Memang benar atapnya tumpang, tetapi bukan berbentuk piramidal yang menuju pada satu titik di puncaknya.

Yang terakhir adalah hipotesis ilmuwan Prancis, Claude Guillot (1985), dalam artikelnya berjudul La Symbolique de la Mosquee Javanaise. Ia menyimpulkan, arsitektur masjid Jawa dipengaruhi secara kuat oleh arsitektur batu di India dan arsitektur kayu di Cina.

Adapun untuk atap tumpuknya diturunkan dari atap "cungkup" kuburan Islam di Jawa. Pertanyaannya, lebih dulu yang mana: masjid atau cungkup? Apalagi atap cungkup jarang yang tumpuk, kecuali pada atap cungkup makam Sunan Giri di Gresik, Jawa Timur.

Kalau demikian, dari manakah asal-usul masjid Jawa itu? Jalan masih panjang untuk sampai pada teori yang paling meyakinkan tentang asal-usulnya. Masih memerlukan bukti-bukti yang lebih kongkret lagi, baik bukti arkeologis, sejarah, maupun argumentasi arsitektur.

Mungkin yang paling prospektif untuk ditelusuri adalah pandangan yang menyebutkan bahwa masjid Jawa, rumah Tuhan yang beratap tumpang itu, berasal dari bangunan lokal yang diadaptasikan.

*Peneliti arsitektur masjid Nusantara, dosen arsitektur ITB, baru saja menyelesaikan program doktor di Toyohashi University of Technology, Jepang

Thursday, September 07, 2006

SAYEMBARA MASJID RAYA SUMBAR


Gambar Masjid di Taloek, Padang tahun 1910.

Postingan ini adalah tentang lomba rancang masjid yang menawarkan hadiah terbesar hingga saat ini
(bahkan konon hadiah terbesar dari semua sayembara rancang bangunan yang pernah ada) di Indonesia. Lomba ini telah menarik peminat/peserta hingga 323 orang/kelompok. Setelah membaca nama-nama pesertanya, ada teman ada kawan, ada mahasiswa ada dosen, ada yang sudah senior, berpengalaman dan profesional dan ada pula yang tampaknya baru lulus. Justru itu hanya salah satu saja dari nilai positif sayembara yakni semua punya kesempatan yang sama untuk saling mengekspresikan karya terbaiknya.

Secara pribadi ingin mengucapkan: pertama, selamat untuk pemda sumbar atas penyelenggaraan sayembara ini. Banyak sisi positif akan didapat jika dilakukan sayembara untuk bangunan yang sangat penting seperti itu. Kedua, sekadar usul untuk setiap karya yang menang/mendapat penghargaan diberikan penjelasan/ulasan oleh Dewan Juri dan dipublikasikan secara transparan sebagai pembelajaran bagi arsitek/calon arsitek/mahasiswa khususnya dan publik pada umumnya. Ketiga, selamat untuk nanti para pemenang yang menurut informasi di situsnya akan diumumkan Selasa nanti tgl 12 September.

Toyohashi, 7 September 2006

Bsb

---------------------------------

Sayembara Desain Masjid Raya Propinsi Sumatera Barat

Masyarakat Minangkabau yang sebagian besar adalah penduduk wilayah Propinsi Sumatera Barat dalam menjalankan kehidupan sosial budayanya tetap berpegang teguh pada adagium adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah (ABS-ABK). Oleh karena itu sejak dulu sampai sekarang, masjid sebagai representasi kehidupan merupakan salah satu ikon budaya yang penting. Masjid tidak saja dapat dijadikan ukuran dari keberhasilan masyarakat suatu wilayah/ nagari, tetapi sekali gus menjadi sebuah kebanggaan masyarakat di nagari tersebut. Itulah sebabnya sampai sekarang, setiap orang Minangkabau baik yang di kampung maupun yang di rantau selalu bergairah dan berlomba-lomba membangun dan memakmurkan masjid. Dengan demikian, masjid menjadi sentra kegiatan sosial kemasyarakatan. Di dalam adatnya disebutkan, sebagai salah satu syarat bagi sebuah nagari antara lain adalah babalai bamusajik. Adanya balai tempat bermusyawarah ninik mamak dan adanya masjid untuk aktivitas keagamaan dan ilmu pengetahuan.

Dalam perkembangan berikutnya dengan pesatnya perkembangan kota dalam wilayah Sumatera Barat, mempunyai dampak tersendiri pula. Nagari-nagari yang masing-masingnya memiliki masjid kini beralih pula pada setiap kota mendirikan masjid. Walaupun belum menyeluruh, tetapi pemerintah telah berusaha ke arah itu, mendorong masyarakat kota mendirikan mendirikan masjid-masjid yang representatif dengan fasilitas yang memadai untuk melengkapi sebuah kota. Begitu juga dengan Padang sebagai ibukota propinsi Sumatera Barat sudah sepatutnya mempunyai masjid yang representatif dengan fasilitas-fasilitas umat yang memadai. Dalam konteks inilah gubernur Sumatera Barat mendorong dan menghimpun potensi masyarakat untuk mendirikan sebuah Masjid Raya Sumatera Barat.

Pemenang Utama: Rp. 150.000.000,-
Pemenang Harapan I: Rp. 75.000.000,-
Pemenang Harapan II : Rp. 50.000.000,-
Pemenang Harapan III : Rp. 25.000.000,-

Selengkapnya silahkan buka situsnya di http://www.masjidraya-sumbar.com/
Kita tunggu para pemenangnya dari keputusan Dewan Juri.

Saturday, September 02, 2006

TENTANG KUBAH 3: Case HAGIA SOFIA dan THE BLUE MOSQUE


Pertama ini bukan sekadar pingin mejeng ya "smile". Tapi ini mencoba memberi wacana/wawasan yang masih terkait soal Kubah, sengaja saya bandingkan dan postingkan 2 foto dan sedikit ulasan di sini sebagai contoh kasus. Dari gambaran sederhana ini mudah-mudahan kita bisa lebih tahu dan tidak keliru atau kaprah soal kubah pada masjid.







Foto 1 -
Mejeng di depan The Blue Mosque (1609-1616 AD)

Bangunan di belakang itu adalah bangunan masjid terbesar di Istanbul yang terkenal dengan sebutan The Blue Mosque. Bangunan masjid beratap kubah ini luar biasa besar dalam skala/ukuran dan ketinggian yang akan membuat siapa saja merasa kecil seperti saya pada waktu memasukinya. Bangunan masjid
yang telah menjadi salah satu masterpiece arsitektur dalam peradaban Islam ini dibangun oleh Sultan Ahmed I pada antara tahun 1609-1616 di masa Khilafah Utsmaniyah (Ottoman Empire). Kekhalifahan Turki Utsmani adalah khilafah terakhir dunia Islam dan pembangunan masjid dengan atap kubah sangat menonjol khususnya di wilayah Turki bahkan hingga masa sekarang.








Foto 2 -
Mejeng di depan Hagia Sofia (532-537 AD)


Pada foto kedua ini, bangunan di belakang itu bernama Hagia Sofia yang terletak di sebelah bangunan The Blue Mosque yang hanya dibatasi jalan dan ruang terbuka/taman. Ini adalah bangunan sangat terkenal, sangat monumental dan telah menjadi serta menandai karya besar anak manusia sepanjang peradabannya. Bangunan yang dulu difungsikan sebagai gereja ini dibangun pada masa Bizantin oleh Kaisar Justinian I yang dalam sejarah disebutkan memakan waktu 5 tahun (532-537 AD). Perhatikan, bangunan dengan atap berbentuk kubah ini sudah dibangun hampir 1500 tahun yang lalu! Menariknya atap kubah itu dipakai untuk menutup bangunan dengan denah persegi panjang. Sejak tahun 1453 oleh Khilafah Utsmaniyah, Hagia Sofia ini dijadikan masjid dengan menambah elemen mihrab, mimbar dan hiasan kaligrafi, dan pada tahun 1935 oleh penguasa sekuler Turki di bawah Kemal Attaturk dirubah menjadi museum.

Kalau membandingkan antara The Blue Mosque dengan Hagia Sofia, tentu Hagia Sofia jauh lebih tua dari The Blue Mosque bahkan terpaut beda lebih dari 1000 tahun lamanya. Ada konsep dan sejarah tersendiri mengapa The Blue Mosque oleh arsiteknya SINAN mengambil bentuk bangunan dan atap mirip Hagia Sofia di seberangnya (namun tidak akan saya bahas di sini nanti
out of topic dan terlalu panjang). Silahkan dipikir dan direnungkan, kubah sudah digunakan sebagai atap dengan skala raksasa pada bangunan bukan masjid sejak era Bizantin pada hampir 1500 tahun lalu atau bahkan puluhan tahun lebih dulu sebelum RasululLah Muhammad SAW dilahirkan (571 AD).

TENTANG KUBAH 2 (Tanya)

Dear Pak Bambang,

Pak, saya ini mahasiswa Pasca Sarjana Teknik Arsitektur ..... (dihapus), mau minta komentar tentang judul penelitian saya: "Kubah dalam Arsitektur Islam". Saya adalah dosen negeri pada Jurusan teknik arsitektur pada Universitas ..........(dihapus). Pertanyaan saya adalah apakah literatur yang dapat mendukung judul penelitian saya ini atau tidak? Apakah bapak dapat membantu saya dalam memperlancar penelitian saya ini?

Please reply,
the very best regards,

----

Reply:

Saya kira, sebelum secara spesifik melakukan studi tentang kubah dalam arsitektur Islam itu, ada baiknya Bapak/ibu perlu melakukan kajian-kajian kecil paling tidak seperti:

1. Apa itu Arsitektur Islam (teoritik)
2. Kilas pandang arsitektur Islam/monumen/bangunan umat Islam, dari sejarah dan perkembangannya di berbagai belahan dunia (empirik)
3. Simbol dan identitas dalam arsitektur (teoritik/praxis)
4. Kubah, dari kajian struktur/konstruksi, dan kesejarahannya khususnya asal-usul (origin).

Hal-hal itu sedikit banyak akan memberikan "foundation" untuk melakukan kajian yang lebih tajam. Bagusnya, sebelum kita melakukan riset, perlu membaca dulu kajian–kajian seperti itu. Memang perlu kajian, seminar kecil, atau kuliah-kuliah dan baca-baca resource baik langsung maupun tidak langsung terkait topiknya.

Tentu saja banyak buku/literatur yang mendukung tema-tema spt itu. Kebetulan buku-buku saya ada di Indonesia dan yang di sini sedang saya kirim pulang lewat kapal laut, sehingga belum bisa mengecek lagi bibliografi yang langsung terkait ini (namun seingat saya belum ada yang secara khusus mengkaji/publikasi topik ini, kurang tahu kalau
unpublished work). Sekadar sebagai awal, mungkin daftar dan/atau referensi berikut ada manfaatnya (2 pdf file).

Demikian dulu dari saya,
Wassalamualaikum

Wednesday, August 02, 2006

INT'L JOURNAL PAPER - PART 2

A Study on the History and Development of the Javanese Mosque - Part 2: The Historical Setting and Role of the Javanese Mosque under the Sultanates*


Bambang Setia Budi

Doctoral Candidate, Department of Architecture and Civil Engineering, Toyohashi University of Technology, Japan


Abstract

This paper aims at discussing the historical setting and role of the Javanese Mosques under the Sultanates. The discussion will focus on where the mosques were built and what was the main purpose of mosques constructed under each Javanese Sultanate until the end of nineteenth century. Under Sultanates, many mosques were founded by wali (saint), sultan, sultan’s family, or kyai (Islamic/religious teacher) ordered by the sultan. Referring to this kind of mosque, 71 surveyed mosques will be analyzed by historical setting and roles of the mosque as there are some varieties in each sultanate. Based on this analysis, this paper argues that there are four types of mosques: Agung (Grand) Mosque, Langgar Kraton (Palace) Mosque, Community Mosque, and Isolated Mosque. It also argues that the historical setting of mosque always has a close relationship with its roles in each sultanate.

Keywords: Historical setting; Main role, Javanese mosque; Islam; Sultanate

*This paper was published in the Journal of Asian Architecture and Building Engineering (JAABE), Vol.4. No.1, May 2005.

For the completed article, please click this link
http://www.jstage.jst.go.jp/article/jaabe/4/1/1/_pdf

To know more about the Journal, please click this link
http://www.aij.or.jp/eng/jaabe/

PS. untuk mbak Indri, maaf belum menjawab pertanyaannya. InsyaAllah bentar lagi ya "smile".

Friday, June 30, 2006

MASJID SALMAN ITB, TONGGAK ARSITEKTUR MASJID KONTEMPORER DI INDONESIA

oleh Bambang Setia Budi


Bangunan masjid ini layak disebut sebagai satu tonggak arsitektur masjid paling penting bagi pembaruan bangunan masjid-masjid d
i Indonesia. Tonggak itu dapat dilihat pada upaya pembebasan diri dari tradisi dengan ditinggalkannya (hampir) secara total penggunaan idiom-idiom klasik seperti atap tumpang/tajuk pada masjid-tradisional atau kubah yang sering dianggap sebagai idiom universal dari masjid.





Masjid Salman ITB – Menjadi satu tonggak paling penting arsitektur masjid kontemporer di Indonesia karena totalitasnya dalam upaya pembebasan dari tradisi. (Foto: Bambang Setia Budi)



Sebutan mas
jid kontemporer, atau bisa juga modernistik/kiwari merujuk pada rancangan bangunan masjid yang berupaya membebaskan diri dari tradisi, atau paling tidak mere-interpretasi atas bahasa/ungkapan arsitektur yang telah ada/sudah lazim serta berkembang sebelumnya. Wacana desain arsitektur masjid modern oleh para perancang/arsitek masjid saat ini, memang sudah semestinya dilakukan dengan mere-interpretasi ungkapan-ungkapan lama atau bahkan pembebasan tradisi dalam makna pembaruan yang terus menerus.

Masjid Salman yang dirancang pada tahun 1964 oleh Achmad Noe`man ini, tampaknya telah mampu memecahkan kesunyian penciptaan karya arsitektur masjid-masjid di Indonesia selama hampir lebih dari lima setengah abad. Di sinilah letak monumentalitasnya, artinya karakteristik dan perwujudan dari gagasan bentuk dan ekspresi arsitekturalnya, jelas telah merombak pola-pola lama dalam perwujudan bentuk dan ekspresi masjid-masjid di Indonesia yang telah ada sebelumnya.

Gagasan-gag
asan totalitas dalam pembebasan tradisi tersebut, termasuk dalam pengambilan pilihan material, teknik dan teknologi membangun masjid pada saat itu, tampaknya menjadi `sangat konstekstual` jika dilihat dari keberadaannya sebagai masjid kampus yang sudah sewajarnya penuh dinamika dan sumber pembaharuan. Jelaslah, ia telah hadir secara tepat dalam konteks ruang dan waktunya.

Bahkan nama Salman itu sendiri - yang diberikan oleh Soekarno sebagai salah seorang sarjana lulusan Teknik Sipil ITB dan merupakan presiden RI pada waktu itu - cocok dengan bangunan masjid dan bagi lingkungan kampusnya, Institut Teknologi Bandung. Nama Salman merujuk pada seorang teknokrat brilian sahabat Nabi asal Persia Salman Al-Farisi yang mengusulkan gagasan menggali tanah pada perang khandaq (parit) sehingga menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam menahan serangan musuh pada waktu itu.

***

Faktor penting dalam gagasan pembaruan tradisi berarsitektur, bisa saja lahir dari suatu pemikiran atau pandangan baru yang mendasar dan diyakini secara mendalam pada diri perancang kemudian diterapkan dengan kaidah-kaid
ah baru sesuai keyakinannya. Pada konteks ini, tentu yang dimaksud adalah gagasan baru yang berkaitan dengan arsitektur Islam pada umumnya dan arsitektur masjid khususnya. Jika ditelaah lebih jauh, maka pemikiran modern memang sangat terlihat dalam beberapa tulisan maupun pernyataan arsiteknya.

Satu hal dari pemikiran sang arsitek yang paling mendasari perwujudan bangunan itu adalah penentangannya terhadap sikap `taqlid` (imitasi) yakni menerima tanpa dimengerti dalam segala persoalan. Terlebih imitasi dalam dunia desain/arsitektur, tentu sesuatu yang sangat tidak dibenarkan, sehingga pintu ijtihad untuk menghasilkan gagasan-gagasan baru harus selalu dibuka lebar-lebar. Arsitek harus selalu berijtihad dengan ilmu pengetahuan untuk menghasilkan karya-karya yang `excellent`, kreatif dan inovatif sehingga menjadi karya budaya yang bermanfaat bagi diri sendiri dan umat.

Menurutnya, tidak ada yang disebut sebagai arsitektur Islam sepanjang suatu ide atau karya tidak mengikuti secara ketat disiplin ilmu arsitektur. Sebab tidak ada satu aturan pun di dalam Al-Qur`an maupun hadits Nabi yang mengharuskan bentuk dan ekspresi bangunan harus mengikuti sesuatu. Terlebih jika mengikuti tuntunan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari: “Dan apabila suatu itu merupakan urusan duniamu, maka engkaulah yang lebih mengetahuinya (berhak menentukannya)”, maka muncullah keyakinan bahwa para desainer-lah yang paling berhak menentukan dan menterjemahkannya ke dalam perancangan tanpa harus terikat pada pemikiran-pemikiran tradisi dan budaya sebelumnya.

Pandangan t
erhadap ungkapan-ungkapan arsitektural dari landasan-landasan kelaziman maupun tradisi, jelas telah bergeser kepada interpretasi individual yang bebas. Ini yang menyebabkan gagasan bentuk dan ekspresi masjid tersebut jauh meninggalkan tradisi perwujudan masjid-masjid sebelumnya di Indonesia. Dari sinilah latar kehadiran sebuah karya arsitektur masjid Salman dapat dimengerti.

Yang paling
monumental pada masjid ini sehingga kehadirannya begitu mencolok yang membedakan dengan yang lainnya adalah pada penampilan bentuk atap masjidnya. Pada saat sebagian besar atap masjid-masjid di Indonesia lainnya berbentuk atap tumpang, kubah, atau kombinasi dari keduanya, maka masjid ini didesain dengan menggunakan atap datar yang setiap ujung atapnya berbentuk melengkung hingga menyerupai sebuah mangkok terbuka.



Eksterior – Ungkapan bentuk dan ekspresi bangunannya (terutama atap), jelas tidak mudah untuk dipahami oleh masyarakat umum sebagai bangunan masjid (Foto: Bambang Setia Budi)




Gagasan bentuk dan ekspresi atap seperti itulah yang paling memperlihatkan orisinalitasnya karena ketiadaan contoh dan rujukan sejarah pada atap bangunan masjid di Indonesia. Ia juga telah mampu menegaskan kembali orientasi yang benar (kiblat), sehingga tidak lagi terjadi dualisme dengan arah vertikal sebagaimana ekspresi atap masjid-masjid di Nusantara sebelumnya.

Menurut sang arsitek, bentuk atap beton yang menggunakan balok beton prestressed dalam grid dua arah yang membentang 25 meter tersebut diinspirasikan dari bentuk negatif atap bangunan Aula Timur – yang menjadi ciri khas atap-atap bangunan k
ampus ITB – di seberang jalan. Lengkungan atap sebenarnya bukan sekadar mengejar ekspresi bentuk semata, tetapi juga berfungsi sebagai talang besar bagi aliran air dari atap datarnya.

Dengan menggunakan balok beton prestressed untuk solusi struktur bentang lebar ini, maka dip
erolehlah ruang shalat yang luas namun bebas kolom yang selalu menjadi salah satu ciri penting masjid rancangan Achmad Noe`man. Masjid inilah yang telah menjadi masjid pertama dalam penggunaan teknik dan teknologi seperti itu di Indonesia. Hal tersebut bisa terjadi tentu karena kemajuan teknologi yang memungkinkannya.

Namun, bentuk dan ekspresi seperti itu tampaknya telah menimbulkan keragaman berbagai interpretasi bagi banyak pengamat seperti sebagai abstraksi bentuk telapak tangan yang sedang `berdoa` yang menengadah ke atas atau sebuah `mangkok` bagi ilmu, berkah dan rizki. Dan jika dihubungkan dengan menaranya, bentuk ini bisa juga diinterpretasikan sebagai bentuk huru
f `ba` yang mengawali kata `bait` artinya rumah, sedangkan menara `menhir`-nya sebagai huruf alif yang mengawali kata `Allah`, sehingga secara keseluruhan berarti `bait Allah` atau rumah Allah.

Yang jelas bahasa atap ini tidak serta merta mudah dipahami oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia sebagai bangunan masjid jika dilihat dari eksteriornya. Maka adanya menara di sebelah ujung bagian timur ruang terbuka masjid telah membantu masyarakat mengenalinya sebagai masjid. Elemen menara yang berbentuk menhir dan didesain serasi dengan bentuk masjidnya tersebut memang akhirnya menjadi satu-satunya penanda fisik dari sisi luar bahwa bangunan tersebut adalah masjid. Menara itu juga berfungsi untuk memperluas jangkauan suara adzan dan menjadi landmark kawasan Masjid Salman.











Mihrab
– Ruangan mihrab yang dibentuk oleh dinding lengkung dengan tekstur dinding kasar (beton brut). Di atasnya digantung kotak hitam sebagai miniatur ka`bah sebagai aksentuasi (Foto: Indra Yudha).



***

Meski atapnya datar, rancangan masjid ini tetap dianggap cukup berhasil dan tanggap terh
adap iklim tropis, terutama ditunjukkan dengan detail-detail talang air hujan, penggunaan ventilasi silang yang sangat baik dan adanya koridor yang lebar baik di samping kanan, kiri, maupun sebelah timur ruang utama shalat. Koridor-koridor tersebut telah berfungsi menjadi pengganti `overstek` dan sebagai ruang transisi dari ruang luar ke ruang dalam masjid.

Yang menarik dari transisi ini adalah timbulnya kejutan ruang yang dinamis akibat adanya ruang koridor timur yang didesain dengan ketinggian rendah - karena adanya mezanin sebagai tempat shalat wanita – dengan skala monumental yang dirasakan ketika mulai memasuki ruang shalat utama.

Selain kejutan ruang itu, suasana di dalam ruang shalat utama yang berbentuk persegi itu me
mang sangat berbeda jika dibandingkan dengan di luar bangunan. Di saat bangunan luar berkesan berat dan dingin karena dari beton, suasana di dalam ruang shalat terasa sangat hangat, akrab dan nyaman karena didominasi pemakaian material kayu jati ekspos baik pada lantai, dinding, dan plafon serta efek lampu temaram yang secara dramatis keluar dari balik persembunyiannya.


Lampu Tersembunyi – Efek cahaya lampu yang dramatis keluar dari celah-celah pertemuan kayu menambah hangat suasana ruangan masjid (Foto: Indra Yudha).




Karakteristik lainnya yang tak kalah penting dari rancangan masjid kontemporer ini adalah kuatnya pengaruh modernisme atau langgam `The International Style` pada berbagai perwujudan fisiknya. Hal ini bisa dilihat pada penggunaan bentuk-bentuk kubikal/volumetrik, simplisitas/minimalis, fungsionalisme, prinsip kejujuran material dan struktur, penekanan pada detail-detail dan tanpa ornamen.

Pemisahan antara elemen kolom dengan dinding, permainan solid-void, dan detail-detail peralihan bahan sangat jelas memperlihatkan prinsip-prinsip kejujuran material maupun strukturnya. Sedangkan gagasan volumetrik, bentuk-bentuk lengkung, `sculptural effect` dan bahkan penggunaan beton brut pada mihrab, telah secara khusus mengingatkan pada idiom-idiom `Corbuesque` sebagaimana yang tercermin pada bangunan Chapel Notre-Dome-du Haut di Ronchamp, Perancis karya monumental sang maestro Arsitektur Modern Le Corbusier.

****

Published @Kompas, 5 Januari 2003
Catatan: artikel ini mendapatkan penghargaan
dari KIMPRASWIL di Jakarta sebagai artikel favorit yang telah terpublikasi tentang bangunan tahun 2003.

Friday, June 23, 2006

PENGHEMATAN ENERGI DALAM SEMUA ASPEK KEHIDUPAN

24-Nov-2005 07:32

Last modified: 24/11/05

GERAKAN hemat energi mau tak mau harus segera direalisasikan dalam semua aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Sebab, harga bahan bakar minyak (BBM) yang makin melambung tinggi, sangat potensial menambah jumlah rakyat miskin di negeri ini. Karena itu, penggunaan batu bara kini digalakkan. Yang penting, efek negatif penggunaan energi itu harus ditekan seminimal mungkin agar tujuan penghematan itu tercapai.


Membangun Kota Hemat Energi

PENGHEMATAN energi sejatinya hanya akan berhasil jika manajemen perkotaan memang dirancang sebagai kota hemat energi. Manajemen kota hemat energi akan dengan sendirinya melahirkan budaya dan kebiasaan hemat energi.

Demikian dikatakan pakar tata kota dari Institut Teknologi Bandung, Bambang Setia Budi yang tak lama lagi akan meraih gelar Doktor Arsitektur dari Toyohashi University of Technology, Jepang.

Menurut Bambang, di banyak negara maju, upaya menghemat energi sudah diawali sejak merancang sistem penataan kota. Menurut Bambang, sedikitnya ada tiga persoalan kota yang sangat penting untuk diperhatikan dalam membangun kota hemat energi.

Dalam upaya membangun kota hemat energi, beberapa langkah perencanaan transportasi dan manajemen lalu lintas yang terpenting adalah membangun dan menyediakan sarana dan prasarana transportasi publik/masal yang efisien dan representatif. Makin besar skala sebuah kota, dapat dipastikan makin banyak pula jumlah orang yang bergerak di dalam kota setiap waktunya.

Oleh karenanya, perencanaan dan pengelolaan sistem transportasi publik/masal yang baik, efisien, dan representatif serta pengaturan/manajemen yang tepat akan menjadi faktor kunci bagi penghematan energi di kota. Penggunaan mobil pribadi akan rendah karena merasa cukup dengan transportasi publik. Dengan begitu penghematan energi sangat besar.

Menengok kota-kota besar di negara maju, seperti Jepang, andalan utama transportasi massalnya adalah kereta listrik (densha) atau kereta listrik bawah tanah/subway (cikatetsu) yang bisa mengangkut ribuan orang pada waktu bersamaan ketika jam sibuk.

Selain praktis, aman, dan nyaman, harga pun sangat terjangkau bagi masyarakat luas untuk ukuran masyarakat di Jepang. Juga ketepatan waktunya dapat dijamin dalam hitungan menit. "Di kota-kota besar di Jepang, kita akan menemukan sistem kereta listrik yang sangat efisien yang menghubungkan sub urban dengan area pusat kota. Kereta-kereta itu pun hampir selalu dipenuhi ribuan penumpang," katanya.

Selain itu, kereta-kereta listrik lokal dengan frekuensi yang sangat tinggi juga siap melayani penumpang di dalam area metropolitan. Misalnya, Yamanote Line, salah satu jalur loop Kota Tokyo, kereta-keretanya berlari setiap tiga menit sekali di siang hari. Sebagai gambaran dominannya penggunaan transportasi masal kereta listrik bawah tanah juga bisa dilihat di Kota Nagoya, kota terbesar ketiga di Jepang.

Sejak 15 November 1957, kota ini telah mulai mengoperasikan jalur subway pertamanya, yakni jalur Nagoya-Sakae. Kini, ia telah memiliki banyak jalur kereta listrik bawah tanah dengan panjang total 89 km yang mengangkut penumpang mencapai rata-rata 1.100.000 orang per hari.

Sementara sistem bus dalam kotanya yang telah beroperasi sejak 1 Februari 1930, kini telah memiliki panjang jalur 746 km hanya mengangkut sejumlah 318.000 orang per hari (data tahun fiskal 1 April 2004).


TransJakarta

Menurut Bambang, pemakaian bus sistem busway TransJakarta sudah tepat menuju kota hemat energi. Meski belum cukup mengalihkan penggunaan dari penggunaan mobil pribadi ke busway, namun arahnya sudah tepat.

"Indonesia bisa bercermin dari Curitiba, Brasil. Kota yang luas areanya 432 km2 dan jumlah penduduk 1,6 juta jiwa ini mengoperasikan 5 tipe angkutan bus dengan daya angkut hingga 270 penumpang," katanya.

Sebanyak 1.100 bus membuat 12.500 total perjalanan sehari dapat mengangkut sebanyak 1,3 juta penumpang per hari. Ini telah berhasil mengurangi ketergantungan warga kota pada mobil pribadi, dan meningkatkan penumpang hingga 50 kali lipat dibanding 20 tahun sebelumnya.

Penduduk pun hanya mengeluarkan 10 persen dari pendapatan tahunan mereka untuk belanja transportasi. Bandingkan dengan di Jakarta, yang sebelumnya 15 persen, kini diperkirakan mencapai 20 persen pascakenaikan BBM per 1 Oktober 2005 yang lalu.


Jalur Sepeda

Lebih dari itu, Curitiba juga mampu menurunkan konsumsi BBM per kapita penduduk rata-rata hingga 30 persen lebih rendah dibandingkan dengan delapan kota lainnya di Brasil. Tak heran jika ia disebut-sebut juga sebagai salah satu kota dengan tingkat polusi terendah di dunia.

Sukses lain dari Jepang adalah tersedianya jalur sepeda dan pejalan kaki (pedestrian) yang aman dan nyaman. Bersepeda dan berjalan kaki adalah salah satu alternatif moda perjalanan yang paling mungkin untuk menghemat energi di kota.

Keduanya sudah tentu merupakan moda transportasi yang tidak bermotor (non-motorized transportation atau NMT) sehingga tidak membutuhkan BBM sama sekali. Oleh karenanya, juga tidak menghasilkan polusi bagi udara di kota (ramah lingkungan). Bersepeda maupun berjalan kaki, dapat dilakukan oleh siapa saja dari semua golongan, baik kaya atau miskin, tua atau muda.

Penggunaan sepeda di Jakarta masih sangat rendah. Sebagai gambaran, menurut Darmaningtyas melalui survey INSTRAN di akhir Juni 2005, dalam sehari jumlah sepeda yang melewati Jl Sudirman Jakarta dari arah Jalan Thamrin hanya 52 unit, sedangkan yang menuju ke arah Jl Thamrin hanya mencapai 122 unit. Mereka itu adalah para pedagang keliling, seperti siomay, bakso, dan roti. Terlalu minim pelajar dan pekerja kantoran yang bersepeda.

Kota-kota di Cina, seperti Tianjin dan Shenyang, menempati persentase terbesar, yakni 77 dan 65 persen penduduk yang mengendarai sepeda untuk perjalanan mereka. Sebagai gambaran, dari pemantauan lalu lintas di Kota Tianjin, konon lebih dari 50.000 sepeda melintas di satu persimpangan jalan dalam waktu satu jam.

Namun yang paling fenomenal dan menarik untuk dicermati adalah upaya yang dilakukan pemerintah Kota Bogota, Ibukota Colombia di Amerika Tengah. Untuk menghemat energi dan mengurangi polusi udara kota, Enrique Penalosa, Wali Kota Bogota tahun 1998-200, membangun jalur sepeda sepanjang 350 km. Ini merupakan kota yang memiliki jalur sepeda terpanjang di Amerika Latin maupun di kota-kota negara berkembang lainnya. Jalur-jalur sepeda dan pedestrian itu dibuat sangat kompak, menerus, dan terintegrasi, serta akses yang sangat luas hingga menembus berbagai kawasan pemukiman. (L-11)

Source:
SuaraPembaruan online
http://www.suarapembaruan.com/News/2005/11/24/
LSM Pelangi Jakarta
http://www.pelangi.or.id/othernews.php?nid=581

Friday, June 09, 2006

MASJID AGUNG BANTEN, BUKTI KEJAYAAN KASULTANAN BANTEN

Oleh Bambang Setia Budi


MASJID Agung Banten, sebagaimana masjid tua dan bersejarah lainnya, selalu diramaikan para peziarah yang bisa mencapai ribuan orang tiap hari, baik pagi, siang, maupun malam hari dari berbagai daerah di Jawa umumnya.

Sering kali jumlah mereka mencapai puncaknya pada tanggal 14 Maulud karena pada dua hari sebelumnya, yakni tanggal 12 Maulud atau pada tahun ini bertepatan dengan tanggal 25 Mei 2002 diadakan peringatan maulid (kelahiran) Nabi di Masjid Agung Banten.

Kompleks bangunan masjid di Desa Banten Lama, sekitar 10 km sebelah utara Kota Serang, ibu kota Provinsi Banten, itu menjadi obyek wisata ziarah arsitektur yang sangat menarik karena gaya seni bangunan yang unik dan terdapat banyak elemen arsitektur menarik.


Masjid Agung Banten - Selain sebagai tempat ibadah, ia telah menjadi obyek wisata, ziarah, pendidikan, penelitian dan kebudayaan (foto: M. Ichsan H).



Sisi menarik pertama dari bangunan utama masjid, yang dibangun pertama kali oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sultan pertama Kasultanan Demak yang juga putra pertama Sunan Gunung Jati, itu adalah atapnya yang tumpuk lima. Menurut tradisi, rancangan bangunan utama masjid yang beratap tumpuk lima ini dipercayakan kepada arsitek Cina bernama Cek Ban Cut. Selain jumlah tumpukan, bentuk dan ekspresinya juga menampilkan keunikan yang tidak ditemui kesamaannya dengan masjid-masjid di sepanjang Pulau Jawa, bahkan di seluruh Indonesia.

Hanya lukisan Masjid Jepara sekitar abad ke-16 yang dibuat Wouter Schouten dalam Reistogt Naar en Door Oostindien dan dipublikasikan pertama kali pada tahun 1676 serta dicetak ulang tahun 1780 memperlihatkan masjid beratap tumpuk lima. Masjid yang lukisannya pernah dipublikasikan Francois Valentijn dalam Oude en nieuw Oost-Indien itu memperlihatkan idiom pagoda Cina, baik dari bentuk, ekspresi, hingga ukirannya.

Menurut Graaf dan Pigeaud, Masjid Agung Banten sejak awalnya beratap tumpuk lima, namun pada abad ke-17 pernah diubah menjadi tiga. Hal demikian dimungkinkan karena dua atap tumpuk teratas sebenarnya hanya atap tambahan yang ditopang tiang pusat yang bila dihilangkan tidak mengganggu konstruksi di bawahnya.

Yang paling menarik dari atap Masjid Agung Banten adalah justru pada dua tumpukan atap konsentris paling atas yang samar-samar mengingatkan idiom pagoda Cina. Kedua atap itu berdiri tepat di atas puncak tumpukan atap ketiga dengan sistem struktur penyalur gaya yang bertemu pada satu titik. Peletakan seperti itu memperlihatkan kesan seakan-akan atap dalam posisi kritis dan mudah goyah, namun hal ini justru menjadi daya tarik tersendiri.

Dua tumpukan atap paling atas itu tampak lebih berfungsi sebagai mahkota dibanding sebagai atap penutup ruang bagian dalam bangunan. Tak heran jika bentuk dan ekspresi seperti itu sebetulnya dapat dibaca dalam dua penafsiran: masjid beratap tumpuk lima atau masjid beratap tumpuk tiga dengan ditambah dua mahkota di atasnya sebagai elemen estetik.










Idiom Pagoda - bentuk dan ekspresi atap tumpuk keempat dan kelima ini mengingatkan bentuk pagoda-pagoda di Cina. (foto: M. Ichsan H)




***

ELEMEN menarik lainnya adalah menara di sebelah timur yang besar dan monumental serta tergolong unik karena belum pernah terdapat bentuk menara seperti itu di Jawa, bahkan di seluruh Nusantara. Dikarenakan menara bukanlah tradisi yang melengkapi masjid di Jawa pada masa awal, maka Masjid Agung Banten termasuk di antara masjid yang mula-mula menggunakan unsur menara di Jawa.

Tradisi menyebutkan, menara berkonstruksi batu bata setinggi kurang lebih 24 meter ini dulunya konon lebih berfungsi sebagai menara pandang/ pengamat ke lepas pantai karena bentuknya yang mirip mercusuar daripada sebagai tempat mengumandangkan azan. Yang jelas, semua berita Belanda tentang Banten hampir selalu menyebutkan menara tersebut, membuktikan menara itu selalu menarik perhatian pengunjung Kota Banten masa lampau.

Catatan Dirk van Lier di tahun 1659 maupun Wouter Schouten yang datang pada tahun 1661 menyebut, menara masih digunakan sebagai tempat penyimpanan senjata/amunisi orang Banten. Kemudian baru antara lain tulisan Stavorinus yang menulis tentang Banten tahun 1769 menyebut menara sebagai tempat memanggil orang untuk bersembahyang.

Berita itu menunjukkan pula menara telah dibangun tidak berselang lama dengan pembangunan masjid. Dari hasil penelusuran Dr KC Crucq, yang pernah dimuat dalam karangannya berjudul Aanteekeningen Over de Manara te Banten (Beberapa Catatan tentang Menara di Banten) yang dipublikasikan dalam
Tidscrift Voor de Indische Taal, Land and Volkenkunde van Nederlandsch Indie, dinyatakan, menara dibangun pada masa Sultan Maulana Hasanudin ketika putranya Maulana Yusuf sudah dewasa dan menikah.

Seperti dikatakan Pijper (1947:280), menara berbentuk segi delapan itu mengingatkan pada bentuk mercusuar, khususnya mercu Belanda. Saat ini ada bukti peninggalan mercusuar buatan Belanda di Anyer sebelah barat Serang dari abad ke-19, yakni bangunan mercusuar yang dalam beberapa hal memiliki kemiripan dengan Menara Masjid Agung Banten. Bentuk tersebut lazim ditemukan di Negeri Belanda, seperti segi delapan, pintu lengkung bagian atas, konstruksi tangga melingkar seperti spiral, dan kepalanya memiliki dua tingkat.

Namun, dari sisi ragam hias, menara Masjid Agung Banten tampak terpengaruh seni ragam hias yang terdapat di Jawa, seperti hiasan kepala menara berbentuk dagoba atau hiasan segi tiga memanjang yang dikenal sebagai tumpal. Keduanya banyak dijumpai pada Candi Jago di Jawa Timur dan candi-candi lainnya. Bahkan, motif relung pada pintu menara seakan-akan merupakan penyederhanaan motif kala-makara dalam tradisi kebudayaan Indonesia pra-Islam seperti juga dekorasi mihrab Masjid Agung Kasepuhan di Cirebon.

Di sisi selatan masjid terdapat bangunan bertingkat bergaya rumah Belanda kontemporer yang disebut tiyamah (paviliun). Bangunan yang dirancang arsitek Belanda Hendrik Lucasz Cardeel di abad ke-18 itu dulunya menjadi tempat pertemuan penting. Saat ini, bangunan yang berdenah empat persegi panjang, dua tingkat dan masing-masing memiliki tiga buah ruang besar tersebut difungsikan sebagai museum benda peninggalan, khususnya alat perang. Langgam Eropa sangat jelas pada bangunan itu, khususnya pada jendela besar di tingkat atas. Jendela itu dimaksudkan memasukkan sebanyak mungkin cahaya dan udara.

***

SEBENARNYA masih banyak elemen unik lainnya yang secara singkat dapat disebutkan, seperti adanya umpak dari batu andesit berbentuk labu berukuran besar dan beragam pada setiap dasar tiang masjid. Yang berukuran paling besar dengan garis labu yang paling banyak adalah umpak pada empat tiang saka guru di tengah-tengah ruang shalat. Ukuran umpak besar ini tidak akan kita temui di sepanjang Pulau Jawa, kecuali di bekas reruntuhan salah satu masjid Kasultanan Mataram di Plered, Yogyakarta.



PendopoTempat pajang-pajangan, ngariung, dan segala aktifitas yang lebih profan (muamalah) dari komponen arsitektur masjid di Jawa. (foto: M. Ichsan H).



Selain itu, terdapat mimbar yang besar dan antik penuh hiasan dan warna. Tempat khotbah ini merupakan wakaf Nyai Haji Irad Jonjang Serang pada tanggal 23 Syawal 1323 Hijriyah (1903 M) sebagaimana tertulis dalam huruf Arab gundul pada penampil lengkung bagian atas muka mimbar. Berbeda dari mimbarnya yang menarik perhatian, mihrabnya (tempat imam memimpin shalat) yang berbentuk ceruk justru sangat kecil, sempit dan sederhana. Ini sangat berbeda dari mihrab yang berkembang pada masjid di belahan dunia lain.

Adanya pendopo dan kolam untuk wudu di sebelah timur melengkapi karakteristik masjid Jawa umumnya. Tiang pendopo yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf itu juga menggunakan umpak batu labu dengan bentuk bangunan dan teknik konstruksi tradisional Jawa.









Mimbar mimbar masjid sebagai tempat untuk khutbah. Untuk memasukinya digunakan tangga-tangga karena diletakkan lebih tinggi dari lantai masjid. (foto: M. Ichsan H).




Yang aneh adalah tata letak makam. Secara tradisi, makam pada kompleks masjid tradisional di Jawa diletakkan di sisi barat, namun di masjid ini diletakkan di sisi utara. Tata letak ini berkembang di beberapa masjid bersejarah di wilayah Banten, seperti di Masjid Kasunyatan. Ini memberi tradisi baru pada masjid tradisional di Jawa, selain adanya elemen menara.

****

Published @Kompas 2 Juni 2002

Wednesday, June 07, 2006

MASJID AGUNG MANONJAYA, BUKTI SEJARAH PERKEMBANGAN TASIKMALAYA

Oleh Bambang Setia Budi


Artefak sejarah, menjadi penting artinya bagi bukti-bukti dan sumber-sumber sejarah. Tanpanya, kita akan menemui banyak kesulitan untu
k mengungkap dan menuliskan sejarah secara benar dan obyektif. Banyak bukti sejarah yang penting di sekitar kita, namun terkadang kita kurang memiliki perhatian atau kurang memperlakukannya sebagaimana mestinya.

Sejarah memang penting bagi kehidupan manusia. Dari sejarahlah kita dapat mengerti masa lalu yang berguna bagi masa yang akan datang. Kita akan memperoleh kesempatan untuk belajar contoh-contoh masa lampau, dari kegagalan da
n keberhasilannya, dari baik dan buruknya untuk modernitas kita saat ini dan masa yang akan datang.

Demikian pula sebaliknya, tanpa sejarah masa lampau berarti kita kehilangan barang berharga yang sangat penting bagi masa depan kehidupan kita. Sebagaimana dalam istilah Arab: “Man laa tarikha lahuu laa waqi` walaa mustaqbal lahu” artinya “Barangsiapa tidak punya sejarah maka dia tidak memiliki masa kini dan masa depan”.

Bagi manusia yang tidak mengenal sejarahnya, ibarat manusia yang hilang ingatan sehingga mudah
dibodohi orang. Pernyataan keras juga pernah dilontarkan seorang kritikus Jerman Gotthold Ephraim Lessing yang menyebutkan: “Tanpa sejarah……..setiap jam kita akan diancam bahaya diperdayakan oleh pembual-pembual bodoh, yang tidak jarang memuji sebagai penemuan baru apa yang telah diketahui dan diyakini oleh manusia beribu-ribu tahun yang lalu.” (dikutip dalam Mathys Joiles, “Lessing`s Conception of History”, Modern Philology, XLIII, 1946, hal. 185; Louis Gottschalk, “Understanding History: A Primer of Historical Method”, 1969).

Salah satu ba
ngunan yang telah menjadi artefak sejarah yang penting di belahan wilayah Priangan Timur, atau tepatnya menjadi bukti penting bagi perkembangan kota Tasikmalaya adalah sebuah bangunan masjid yang berdiri megah di Dusun Kaum Tengah, Desa Manonjaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Kondisi bangunan masjid kini perlu mendapat perhatian lebih besar dari seluruh lapisan masyarakat agar lebih terawat dan terjaga keasliannya.

Selain meny
ejarah, masjid juga memiliki gaya atau langgam arsitektur yang menarik pada masanya. Secara fungsi, masjid hingga kini masih terus dipakai dan dimanfaatkan untuk fasilitas ibadah umat Islam yang penting. Maka sudah selayaknya masjid ini dipelihara, dilindungi dan dilestarikan untuk pengetahuan, pendidikan, kebudayaan dan kemaslahatan umat di masa kini dan yang akan datang.

Bukti Adanya Kabupaten Sukapura

Pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Wiradadaha VIII dan Patih Danuningrat
, wilayah Kabupaten Sukapura meliputi 21 distrik yang disebut daerah Galunggung. Karena wilayah kekuasaannya terlalu luas, maka tahun 1831 daerah Sukapura atau Galunggung ini dibagi menjadi tiga bagian (Afdeeling/bagian dari Keresidenan) yaitu: Afdeeling Sukapura Kolot, Afdeeling Sukapura, dan Afdeeling Tasikmalaya.

Sukapura dalam pembagian tersebut termasuk dalam Afdeeling Sukapura, di mana batas Afdeeling Sukapura ialah sebelah Utara dengan Keresidenan Cirebon, sebelah Timur dengan K
eresidenan Banyumas yang dipisahkan sungai Citanduy, sebelah Selatan dengan Samudra Hindia, dan sebelah Barat dengan Afdeeling Sukapura Kolot dan Afdeeling Tasikmalaya. Pada tahun 1831 Afdeeling Sukapura mempunyai wilayah seluas 260.312,13 Ha dengan jumlah penduduk ibukota 4687 Pribumi, 22 Cina, dan 6 Timur Asing.

Setelah pembagian wilayah tersebut, tahun 1832 Bupati Raden Tumenggung Wiradadaha VIII memindahkan ibukota Kabupaten Sukapura - sesuai daerah yang langsung diperintahnya - yaitu dari Leuwiloa di Sukaraja ke Harjawinangun. Namun untuk sementara, pemerintahan berkedudukan di Pasir Panjang karena menunggu penyelesai
an pembangunan ibukota. Pemerintahan baru berjalan 2 tahun kemudian, setelah Patih Raden Tumenggung Danuningrat selesai membangun kota Harjawinangun (sekarang Manonjaya). Maka baru pada tahun 1834 secara resmi Ibukota Sukapura Pindah ke Harjawinangun/Manonjaya.

Beberapa alasan pemindahan ibukota kabupaten ini di antaranya agar memudahkan dalam menjalankan roda pemerintahan karena berdasarkan pembagian wilayah tersebut, daerah-daerah yang berada di bawah pengawasan Bupati Raden Tumenggung Wiradadaha VIII akan berlokasi di sebelah Timur Kota
Sukaraja, yang menyebabkan hubungan transportasi antar daerah menjadi sulit dalam menjalankan roda pemerintahan. Sedangkan alasan politis terkait dengan Perang Diponegoro (1825-1830) yang terjadi di wilayah Jawa Tengah yang mengakibatkan Belanda memperkuat benteng pertahanan di wilayah perbatasan agar tidak menyebar ke Jawa Barat.

Berdasarkan catatan sejarah, Harjawinangun selama 70 tahun pernah menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Sukapura (Dirapraja, 1972). Harjawinangun sebagai pusat pemerintahan telah berkembang dengan pesat, dan menjadi kota transit dalam jalur hubungan darat antara Jawa Tengah dari arah timur ke Jawa Barat. Sesuai dengan pertumbuha
n penduduk dan perkembangan kota Harjawinangun, maka tahun 1839 berdasarkan Besluit Gubernemen No. 22 tanggal 10 Januari 1839 nama Kota Harjawinangun dirubah menjadi Kota Manonjaya.

Masjid Manonjaya inilah - yang masih berdiri kokoh hingga kini - menjadi bukti sejarah adanya kabupaten Sukapura yang berarti pula bukti sejarah perkembangan Tasikmalaya sekarang. Bahkan masjid dari sejak dulunya telah dipakai sebagai `tetenger` untuk mengembangkan tata kota Harjawinangun. R. Memed Sastra Hadiprawira dalam Volk Almanak Soenda Parahyangan tanggal 12 November 1931 menyebutkan bahwa sewaktu pemindahan ibukota ke Harjawinangun, sebelumnya memang sudah ada masjid kecil dan bahkan oleh Raden Tumenggung Danuningrat ketika merencanakan tata ruang Kota Harjawinangun berpedoma
n pada masjid yang sudah ada tersebut. Dalam konteks ini, keberadaan masjid jelas merupakan satu kesatuan dengan pembangunan tata ruang kabupaten Sukapura pada waktu itu.




Foto Masjid Agung Manonjaya di tahun 1875
. Masjid memiliki nilai sejarah yang tinggi yakni sebagai bukti adanya
Kabupaten Sukapura di Harjawinangun. (Sumber: masjid2000.org, KITLV).



Dengan perkembangan kota Harjawinangun yang cukup pesat, keberadaan masjid di tengah kota tersebut sudah tidak dapat menampung jemaah baik penduduk setempat maupun para pendatang. Masjid Jami` Harjawinangun ketika itu tidak mencerminkan sebagaimana layaknya masjid agung bagi kabupaten Sukapura. Maka pada tahun 1837 ketika Raden Tumenggung Danuningrat yang men
ggantikan Raden Demang Anggadipa II sebagai Bupati Sukapura memperbesar masjid dan mengembangkan alun-alun. Masjid dibangun dengan atap tumpang yang bersusun tiga yang pada bagian atas/ujung atap diberi kemuncak (mustaka), dan empat buah tiang utama sebagai penyangga atapnya.

Pada tahun 1889 masjid ini dikembangkan kembali agar dapat menampung jemaah lebih banyak oleh Dalem Raden Tumenggung A Wiraatmaja. Pengembangan masjid diarahkan ke bagian timur dengan didirikannya bangunan serambi dan bangunan menara di k
anan dan kirinya yang dihubungkan dengan koridor. Bangunan serambi beratap tumpang dua sedangkan menara memiliki atap berbentuk segi delapan.

Sedangkan tahun 1901 pucuk pimpinan di Kabupaten Sukapura dipegang oleh Raden Wiratanuwangsa bergelar Raden Tumenggung Prawira Adiningrat (1901-1908) sebagai Bupati Sukapura XIII dan merupakan bupati pertama yang berkedudukan di Tasikmalaya. Akhirnya, pada tanggal 1 Oktober 1901, ibukota kabupaten Sukapura dipindahkan dari Manonjaya ke Tasikmalaya, pemindahan ibukota ini karena pertimbangan ekonomi bagi pemerintahan Hindia Belanda.

Pada masa pemerintahan oleh R.A. Adiningrat (1908-1937)/Bupati Sukapura XIV, tepatnya tahun 1913 nama Kabupaten Sukapura diganti menjadi Kabupaten Tasikmalaya dengan wilayah kekuasaannya meliputi 10 Distrik: Tasikmalaya, Ciawi, Manonjaya, Singaparna, Taraja, Karangnunggal, Cikatomas, Banjar, Pangandaran dan Cijulang. Pada tahun 1974 dan 1977 masjid ini diperbaiki oleh masyarakat setempat dan akhirnya pada 1991/1992 dipugar oleh Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Barat.

Berlanggam Campuran

Selain memiliki makna historis yang kuat seperti diuraikan di atas, masjid juga memiliki langgam seni bangunan yang unik dan menarik. Nampaknya, titik temu dalam banyak unsur seni bangunan tradisional/setempat dengan langgam `neoclassic` Eropa sangat menonjol dalam perwujudan arsitektur masjid ini.


Unsur seni bangunan tradisional dapat dilihat terutama pada penggunaan atap tumpang tiga, bentuk denah segi empat dan prinsip struktur saka guru di tengah-tengah ruang shalat. Meski untuk saka guru ini, terlihat perbedaan (keanehan!) dengan konstruksi saka guru masjid-masjid tradisional karena berjumlah 10 buah dan dua di antaranya terletak berjajar persis di depan mihrab. Bentuk dan materialnya pun berbeda dengan saka guru masjid-masjid tradisional pada umumnya. Di sini, tiang saka guru tidak lagi dari kayu, tetapi dari pasangan bata berbentuk segi delapan dengan diameter lebih dari 80 cm pada bagian bawah dan 50 cm
pada bagian atas yang diakhiri dengan kepala tiang berbentuk segi empat.

Selain itu, terdapat juga elemen-elemen tradisional khas masjid-masjid di Jawa seperti adanya pawestren/pawadonan (ruang shalat wanita) di sebelah selatan ruang shalat utama, serambi/pendopo di sebelah timur, hingga mustaka/memolo di puncak atap tertinggi yang konon peninggalan seorang ulama penyebar agama Islam di Tasikmalaya bernama Syeikh Abdul Muhyi dari Pamijahan. Mustaka/memolo inilah yang menjadi salah satu ciri penting atap masjid tradisional yang telah d
iadaptasikan dari elemen sakral bangunan-bangunan Hindu pra-Islam di Jawa.


Masjid Manonjaya - Bangunan masjid telah ditambahkan menara dan pendopo sejak tahun 1889. Langgam arsitektur masjid merupakan titik temu seni bangunan tradisional/setempat dengan langgam `neoclassic` Eropa. (Sumber: masjid2000.org, fotografer: Priatna DP)


Jika diamati lebih jauh, bentuk atap yang menjulang tinggi dengan bagian bawah tiap bagian tumpukan berbelok ke arah mendatar seperti itu lebih banyak ditemui pada atap tumpang bangunan masjid di wilayah Priangan tempo doeloe khususnya Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, maupun Tasikmalaya. Bentuk seperti itu, di Bandung tempo doeloe lebih dikenal dengan istilah atap `bale nyungcung` untuk menamai atap Masjid Agung Bandung pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Hal ini berbeda dengan atap-atap tumpang yang banyak berkembang di Jawa Tengah baik pesisir maupun pedalaman di mana atap tumpangnya lebih berbentuk piramid/limasan seperti terdapat pada Masjid Agung Demak (1479), Masjid Agung Surakarta (1757), atau Masjid Agung Yogyakarta (1773).

Titik temu dengan langgam `neo classic` Eropa mulai terlihat pada elemen serambi/pendopo yakni penggunaan kolom-kolom berjajar yang mirip kolom-kolom `doric` Yunani dan menara kembar berjajar yang mendominasi penampilan bangunan masjid. Pembentukan fasade dengan kolom-kolom berjajar pada serambi/pendopo yang menumpang pasangan bata seperti itu bukanlah merupakan ciri asli dari arsitektur masjid tradisional di Jawa. Ini jelas merupakan tradisi baru yang muncul dari pengaruh langgam Eropa yang populer pada masjid-masjid di wilayah Priangan tempo doeloe sepanjang groteposweg (jalan raya pos). Sebagai catatan tambahan, yang menarik dari serambi timur masjid ini adalah bentuknya yang segi empat bujur sangkar sehingga atapnya tidak memanjang dari utara ke selatan sebagaimana umumnya masjid-masjid tradisional di Jawa, tetapi diberinya atap `bale nyungcung`.

Sedangkan menaranya, dari bentuk bangunan segi delapan, terdapatnya pilar-pilar semu `pilaster` di sekeliling bangunan, dan hiasan segitiga semacam `bracket` pada ambang jendela jelas menguatkan pengaruh langgam ini. Bahkan jika diamati lebih jauh, hampir seluruh detail-detail arsitektur dan bukaan-bukaan/jendela pada menara kembar tersebut memberikan ciri-ciri langgam Eropa.

Menara kembar di ujung sebelah utara dan selatan selasar/koridor penghubung ke serambi/pendopo masjid tersebut mulai dibangun pada tahun 1889 bersamaan dengan pembangunan serambi masjid. Menara kembar seperti itu sering digunakan dan juga pernah menjadi populer pada bangunan-bangunan masjid di wilayah Priangan sekitar tahun 1930-an. Tidak terkecuali Masjid Agung Bandung, bangunan ini juga menggunakan menara kembar di ujung sebelah utara dan selatan serambi seperti itu pada penampilannya di tahun 1930-an.

Elemen lainnya yang tak kalah menarik adalah keaneka-ragaman pada hiasan masjid seperti motif ceplok bunga yang terdapat pada dinding ruang lantai ke-2 dan ke-3 serta lantai ke-2 serambi timur, hiasan sulur-sulur daun pada mimbar masjid, hiasan tumpal pada pagar tembok koridor, dan motif meander pada lisplang masjid. Perlu diketahui bahwa masjid ini memiliki tiga lantai sesuai dengan jumlah tumpukan atapnya, dan untuk menaiki lantai di atasnya digunakan tangga-tangga kayu.









Menara - Menara-menaranya merupakan salah satu keistimewaan dari bangunan masjid ini, karena langgam Eropa terlihat sangat menonjol baik pada keseluruhan maupun pada detail-detail arsitekturnya. (www.masjid2000.org, fotografer: M. Ichsan H).



Menjadi Cagar Budaya, Mari Dipelihara

Tak diragukan lagi bahwa Masjid Manonjaya telah ditetapkan sebagai `Cagar Budaya` dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan karena berbagai alasan yang telah dipaparkan di atas. Masjid dari dulu hingga kini masih terus dimanfaatkan untuk kepentingan umat, ia juga memiliki arsitektur yang mewakili gaya/langgam pada masanya yakni campuran unik bentuk tradisional dengan langgam `neo classic` Eropa.

Masjid juga memiliki beberapa kekhasan atau keistimewaan terutama keberadaan menara yang sangat kuat mencirikan langgam Eropa. Dengan demikian jumlahnya termasuk terbatas dan langka sehingga memberi keanekaragaman arsitektur masjid di wilayah Priangan khususnya dan Jawa pada umumnya.

Ia memiliki tingkat keutuhan yang cukup tinggi dalam berbagai sisi meski jika diamati lebih jauh saat ini terdapat bangunan tambahan lain di halaman sebelah utara dan selatan yang bukan dari unsur bangunan kuno. Keberadaan ini tentu tidak sesuai dengan upaya pelestaran benda cagar budaya, situs dan lingkungannya.

Memang disadari bahwa satu hal yang membedakan masjid dengan bangunan cagar budaya lainnya seperti Candi atau Keraton adalah karakternya yang menjadi `living monument`, yakni `monumen yang hidup` artinya terus dipakai oleh masyarakat/umat sehingga terkadang perlu menyesuaikan dengan dinamika dan perkembangannya. Persoalan yang terjadi adalah kadang kala pergantian generasi yang memanfaatkan masjid memiliki perbedaaan wawasan, sikap dan cara pandang dalam memberlakukan bangunan cagar budaya. Maka hal ini merupakan kesulitan tersendiri dalam upaya pelestariannya, yang menuntut perlunya program sosialisasi dan penyadaran kepada masyarakat tentang hal tersebut.

Upaya pelestarian bangunan masjid kuno melalui cara sosialisasi dan penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya benda/bangunan cagar budaya dianggap lebih efektif dan lebih tepat katimbang hanya pemberlakukan pelarangan, karena dalam beberapa kasus yang sering ditemui Tim Masjid2000 di lapangan adalah mereka (masyarakat) beranggapan bahwa mengapa membangun masjid harus dilarang meski sekadar memberi tambahan terhadap ini.

Dari semua kepentingan di atas, jelas bahwa keberadaan Masjid Manonjaya perlu dilindungi dan dilestarikan baik aspek bangunan maupun lingkungan sekitarnya. Kepada seluruh lapisan masyarakat, sudah semestinya masjid dipelihara dan dijaga kelestariannya baik menyangkut lokasi/tata letak, keaslian bentuk, arsitektur, ragam hiasan, dan lingkungannya. Karena masjid merupakan aset berharga yang bukan hanya untuk kepentingan aktifitas ibadah umat, namun juga sejarah khususnya perkembangan Kota Tasikmalaya, serta bermanfaat untuk ilmu pengetahuan dan kebudayaan di masa kini maupun masa yang akan datang.

****

Published @Pikiran Rakyat, 13 Januari 2002