Showing posts with label kupasan. Show all posts
Showing posts with label kupasan. Show all posts

Saturday, September 16, 2006

ZAHA HADID'S MOSQUE



Mungkin ada yang ingin lihat rancangan masjid karyanya Zaha Hadid, termasuk saya (dulu sih ;-)). Masjid ini dirancang untuk kompetisi/sayembara masjid pada tahun 2000 dan rencananya dibangun di Strasbourg, Perancis dan diberi nama La Grande Mosquée de Strasbourg (The Great Mosque of Strasbourg). Ada beberapa penjelasan tentang karya desain ini di Monografnya Zaha (1983-2004) atau di El Croquis edisi 103 (2001) (http://www.elcroquis.es). Yang jelas rancangan ini sih enggak dibangun, ceu nah....



Gagasan bentuk secara garis besar konon diturunkan dari pola-pola suara (sound patterns), reverberations, dan permainan sinar/cahaya (the play of daylight). Lihat dan perhatikan "The ribbon-like lines" pada bentuk atapnya.



Sementara gagasan garis-garis yang seperti mengalir dan meliuk-liuk (streamline
) pada struktur dan ruang-ruang dalam bangunan ini katanya muncul dari metafora kaligrafi Islam. Kaligrafi itu pula yang secara khusus dipakai sebagai tampilan lapisan lapisan kulit/selubung (enclosure) pada ruang utama sholat (the prayer hall). Lain waktu insyaAllah saya lengkapi ulasannya. (Cuma ngebayangin, kalau jadi dibangun apa malah bisa khusyuk saat sholat di dalamnya ya ;-)).

Foto/gambar
©Zaha Hadid Architects

Friday, June 30, 2006

MASJID SALMAN ITB, TONGGAK ARSITEKTUR MASJID KONTEMPORER DI INDONESIA

oleh Bambang Setia Budi


Bangunan masjid ini layak disebut sebagai satu tonggak arsitektur masjid paling penting bagi pembaruan bangunan masjid-masjid d
i Indonesia. Tonggak itu dapat dilihat pada upaya pembebasan diri dari tradisi dengan ditinggalkannya (hampir) secara total penggunaan idiom-idiom klasik seperti atap tumpang/tajuk pada masjid-tradisional atau kubah yang sering dianggap sebagai idiom universal dari masjid.





Masjid Salman ITB – Menjadi satu tonggak paling penting arsitektur masjid kontemporer di Indonesia karena totalitasnya dalam upaya pembebasan dari tradisi. (Foto: Bambang Setia Budi)



Sebutan mas
jid kontemporer, atau bisa juga modernistik/kiwari merujuk pada rancangan bangunan masjid yang berupaya membebaskan diri dari tradisi, atau paling tidak mere-interpretasi atas bahasa/ungkapan arsitektur yang telah ada/sudah lazim serta berkembang sebelumnya. Wacana desain arsitektur masjid modern oleh para perancang/arsitek masjid saat ini, memang sudah semestinya dilakukan dengan mere-interpretasi ungkapan-ungkapan lama atau bahkan pembebasan tradisi dalam makna pembaruan yang terus menerus.

Masjid Salman yang dirancang pada tahun 1964 oleh Achmad Noe`man ini, tampaknya telah mampu memecahkan kesunyian penciptaan karya arsitektur masjid-masjid di Indonesia selama hampir lebih dari lima setengah abad. Di sinilah letak monumentalitasnya, artinya karakteristik dan perwujudan dari gagasan bentuk dan ekspresi arsitekturalnya, jelas telah merombak pola-pola lama dalam perwujudan bentuk dan ekspresi masjid-masjid di Indonesia yang telah ada sebelumnya.

Gagasan-gag
asan totalitas dalam pembebasan tradisi tersebut, termasuk dalam pengambilan pilihan material, teknik dan teknologi membangun masjid pada saat itu, tampaknya menjadi `sangat konstekstual` jika dilihat dari keberadaannya sebagai masjid kampus yang sudah sewajarnya penuh dinamika dan sumber pembaharuan. Jelaslah, ia telah hadir secara tepat dalam konteks ruang dan waktunya.

Bahkan nama Salman itu sendiri - yang diberikan oleh Soekarno sebagai salah seorang sarjana lulusan Teknik Sipil ITB dan merupakan presiden RI pada waktu itu - cocok dengan bangunan masjid dan bagi lingkungan kampusnya, Institut Teknologi Bandung. Nama Salman merujuk pada seorang teknokrat brilian sahabat Nabi asal Persia Salman Al-Farisi yang mengusulkan gagasan menggali tanah pada perang khandaq (parit) sehingga menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam menahan serangan musuh pada waktu itu.

***

Faktor penting dalam gagasan pembaruan tradisi berarsitektur, bisa saja lahir dari suatu pemikiran atau pandangan baru yang mendasar dan diyakini secara mendalam pada diri perancang kemudian diterapkan dengan kaidah-kaid
ah baru sesuai keyakinannya. Pada konteks ini, tentu yang dimaksud adalah gagasan baru yang berkaitan dengan arsitektur Islam pada umumnya dan arsitektur masjid khususnya. Jika ditelaah lebih jauh, maka pemikiran modern memang sangat terlihat dalam beberapa tulisan maupun pernyataan arsiteknya.

Satu hal dari pemikiran sang arsitek yang paling mendasari perwujudan bangunan itu adalah penentangannya terhadap sikap `taqlid` (imitasi) yakni menerima tanpa dimengerti dalam segala persoalan. Terlebih imitasi dalam dunia desain/arsitektur, tentu sesuatu yang sangat tidak dibenarkan, sehingga pintu ijtihad untuk menghasilkan gagasan-gagasan baru harus selalu dibuka lebar-lebar. Arsitek harus selalu berijtihad dengan ilmu pengetahuan untuk menghasilkan karya-karya yang `excellent`, kreatif dan inovatif sehingga menjadi karya budaya yang bermanfaat bagi diri sendiri dan umat.

Menurutnya, tidak ada yang disebut sebagai arsitektur Islam sepanjang suatu ide atau karya tidak mengikuti secara ketat disiplin ilmu arsitektur. Sebab tidak ada satu aturan pun di dalam Al-Qur`an maupun hadits Nabi yang mengharuskan bentuk dan ekspresi bangunan harus mengikuti sesuatu. Terlebih jika mengikuti tuntunan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari: “Dan apabila suatu itu merupakan urusan duniamu, maka engkaulah yang lebih mengetahuinya (berhak menentukannya)”, maka muncullah keyakinan bahwa para desainer-lah yang paling berhak menentukan dan menterjemahkannya ke dalam perancangan tanpa harus terikat pada pemikiran-pemikiran tradisi dan budaya sebelumnya.

Pandangan t
erhadap ungkapan-ungkapan arsitektural dari landasan-landasan kelaziman maupun tradisi, jelas telah bergeser kepada interpretasi individual yang bebas. Ini yang menyebabkan gagasan bentuk dan ekspresi masjid tersebut jauh meninggalkan tradisi perwujudan masjid-masjid sebelumnya di Indonesia. Dari sinilah latar kehadiran sebuah karya arsitektur masjid Salman dapat dimengerti.

Yang paling
monumental pada masjid ini sehingga kehadirannya begitu mencolok yang membedakan dengan yang lainnya adalah pada penampilan bentuk atap masjidnya. Pada saat sebagian besar atap masjid-masjid di Indonesia lainnya berbentuk atap tumpang, kubah, atau kombinasi dari keduanya, maka masjid ini didesain dengan menggunakan atap datar yang setiap ujung atapnya berbentuk melengkung hingga menyerupai sebuah mangkok terbuka.



Eksterior – Ungkapan bentuk dan ekspresi bangunannya (terutama atap), jelas tidak mudah untuk dipahami oleh masyarakat umum sebagai bangunan masjid (Foto: Bambang Setia Budi)




Gagasan bentuk dan ekspresi atap seperti itulah yang paling memperlihatkan orisinalitasnya karena ketiadaan contoh dan rujukan sejarah pada atap bangunan masjid di Indonesia. Ia juga telah mampu menegaskan kembali orientasi yang benar (kiblat), sehingga tidak lagi terjadi dualisme dengan arah vertikal sebagaimana ekspresi atap masjid-masjid di Nusantara sebelumnya.

Menurut sang arsitek, bentuk atap beton yang menggunakan balok beton prestressed dalam grid dua arah yang membentang 25 meter tersebut diinspirasikan dari bentuk negatif atap bangunan Aula Timur – yang menjadi ciri khas atap-atap bangunan k
ampus ITB – di seberang jalan. Lengkungan atap sebenarnya bukan sekadar mengejar ekspresi bentuk semata, tetapi juga berfungsi sebagai talang besar bagi aliran air dari atap datarnya.

Dengan menggunakan balok beton prestressed untuk solusi struktur bentang lebar ini, maka dip
erolehlah ruang shalat yang luas namun bebas kolom yang selalu menjadi salah satu ciri penting masjid rancangan Achmad Noe`man. Masjid inilah yang telah menjadi masjid pertama dalam penggunaan teknik dan teknologi seperti itu di Indonesia. Hal tersebut bisa terjadi tentu karena kemajuan teknologi yang memungkinkannya.

Namun, bentuk dan ekspresi seperti itu tampaknya telah menimbulkan keragaman berbagai interpretasi bagi banyak pengamat seperti sebagai abstraksi bentuk telapak tangan yang sedang `berdoa` yang menengadah ke atas atau sebuah `mangkok` bagi ilmu, berkah dan rizki. Dan jika dihubungkan dengan menaranya, bentuk ini bisa juga diinterpretasikan sebagai bentuk huru
f `ba` yang mengawali kata `bait` artinya rumah, sedangkan menara `menhir`-nya sebagai huruf alif yang mengawali kata `Allah`, sehingga secara keseluruhan berarti `bait Allah` atau rumah Allah.

Yang jelas bahasa atap ini tidak serta merta mudah dipahami oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia sebagai bangunan masjid jika dilihat dari eksteriornya. Maka adanya menara di sebelah ujung bagian timur ruang terbuka masjid telah membantu masyarakat mengenalinya sebagai masjid. Elemen menara yang berbentuk menhir dan didesain serasi dengan bentuk masjidnya tersebut memang akhirnya menjadi satu-satunya penanda fisik dari sisi luar bahwa bangunan tersebut adalah masjid. Menara itu juga berfungsi untuk memperluas jangkauan suara adzan dan menjadi landmark kawasan Masjid Salman.











Mihrab
– Ruangan mihrab yang dibentuk oleh dinding lengkung dengan tekstur dinding kasar (beton brut). Di atasnya digantung kotak hitam sebagai miniatur ka`bah sebagai aksentuasi (Foto: Indra Yudha).



***

Meski atapnya datar, rancangan masjid ini tetap dianggap cukup berhasil dan tanggap terh
adap iklim tropis, terutama ditunjukkan dengan detail-detail talang air hujan, penggunaan ventilasi silang yang sangat baik dan adanya koridor yang lebar baik di samping kanan, kiri, maupun sebelah timur ruang utama shalat. Koridor-koridor tersebut telah berfungsi menjadi pengganti `overstek` dan sebagai ruang transisi dari ruang luar ke ruang dalam masjid.

Yang menarik dari transisi ini adalah timbulnya kejutan ruang yang dinamis akibat adanya ruang koridor timur yang didesain dengan ketinggian rendah - karena adanya mezanin sebagai tempat shalat wanita – dengan skala monumental yang dirasakan ketika mulai memasuki ruang shalat utama.

Selain kejutan ruang itu, suasana di dalam ruang shalat utama yang berbentuk persegi itu me
mang sangat berbeda jika dibandingkan dengan di luar bangunan. Di saat bangunan luar berkesan berat dan dingin karena dari beton, suasana di dalam ruang shalat terasa sangat hangat, akrab dan nyaman karena didominasi pemakaian material kayu jati ekspos baik pada lantai, dinding, dan plafon serta efek lampu temaram yang secara dramatis keluar dari balik persembunyiannya.


Lampu Tersembunyi – Efek cahaya lampu yang dramatis keluar dari celah-celah pertemuan kayu menambah hangat suasana ruangan masjid (Foto: Indra Yudha).




Karakteristik lainnya yang tak kalah penting dari rancangan masjid kontemporer ini adalah kuatnya pengaruh modernisme atau langgam `The International Style` pada berbagai perwujudan fisiknya. Hal ini bisa dilihat pada penggunaan bentuk-bentuk kubikal/volumetrik, simplisitas/minimalis, fungsionalisme, prinsip kejujuran material dan struktur, penekanan pada detail-detail dan tanpa ornamen.

Pemisahan antara elemen kolom dengan dinding, permainan solid-void, dan detail-detail peralihan bahan sangat jelas memperlihatkan prinsip-prinsip kejujuran material maupun strukturnya. Sedangkan gagasan volumetrik, bentuk-bentuk lengkung, `sculptural effect` dan bahkan penggunaan beton brut pada mihrab, telah secara khusus mengingatkan pada idiom-idiom `Corbuesque` sebagaimana yang tercermin pada bangunan Chapel Notre-Dome-du Haut di Ronchamp, Perancis karya monumental sang maestro Arsitektur Modern Le Corbusier.

****

Published @Kompas, 5 Januari 2003
Catatan: artikel ini mendapatkan penghargaan
dari KIMPRASWIL di Jakarta sebagai artikel favorit yang telah terpublikasi tentang bangunan tahun 2003.

Friday, June 09, 2006

MASJID AGUNG BANTEN, BUKTI KEJAYAAN KASULTANAN BANTEN

Oleh Bambang Setia Budi


MASJID Agung Banten, sebagaimana masjid tua dan bersejarah lainnya, selalu diramaikan para peziarah yang bisa mencapai ribuan orang tiap hari, baik pagi, siang, maupun malam hari dari berbagai daerah di Jawa umumnya.

Sering kali jumlah mereka mencapai puncaknya pada tanggal 14 Maulud karena pada dua hari sebelumnya, yakni tanggal 12 Maulud atau pada tahun ini bertepatan dengan tanggal 25 Mei 2002 diadakan peringatan maulid (kelahiran) Nabi di Masjid Agung Banten.

Kompleks bangunan masjid di Desa Banten Lama, sekitar 10 km sebelah utara Kota Serang, ibu kota Provinsi Banten, itu menjadi obyek wisata ziarah arsitektur yang sangat menarik karena gaya seni bangunan yang unik dan terdapat banyak elemen arsitektur menarik.


Masjid Agung Banten - Selain sebagai tempat ibadah, ia telah menjadi obyek wisata, ziarah, pendidikan, penelitian dan kebudayaan (foto: M. Ichsan H).



Sisi menarik pertama dari bangunan utama masjid, yang dibangun pertama kali oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sultan pertama Kasultanan Demak yang juga putra pertama Sunan Gunung Jati, itu adalah atapnya yang tumpuk lima. Menurut tradisi, rancangan bangunan utama masjid yang beratap tumpuk lima ini dipercayakan kepada arsitek Cina bernama Cek Ban Cut. Selain jumlah tumpukan, bentuk dan ekspresinya juga menampilkan keunikan yang tidak ditemui kesamaannya dengan masjid-masjid di sepanjang Pulau Jawa, bahkan di seluruh Indonesia.

Hanya lukisan Masjid Jepara sekitar abad ke-16 yang dibuat Wouter Schouten dalam Reistogt Naar en Door Oostindien dan dipublikasikan pertama kali pada tahun 1676 serta dicetak ulang tahun 1780 memperlihatkan masjid beratap tumpuk lima. Masjid yang lukisannya pernah dipublikasikan Francois Valentijn dalam Oude en nieuw Oost-Indien itu memperlihatkan idiom pagoda Cina, baik dari bentuk, ekspresi, hingga ukirannya.

Menurut Graaf dan Pigeaud, Masjid Agung Banten sejak awalnya beratap tumpuk lima, namun pada abad ke-17 pernah diubah menjadi tiga. Hal demikian dimungkinkan karena dua atap tumpuk teratas sebenarnya hanya atap tambahan yang ditopang tiang pusat yang bila dihilangkan tidak mengganggu konstruksi di bawahnya.

Yang paling menarik dari atap Masjid Agung Banten adalah justru pada dua tumpukan atap konsentris paling atas yang samar-samar mengingatkan idiom pagoda Cina. Kedua atap itu berdiri tepat di atas puncak tumpukan atap ketiga dengan sistem struktur penyalur gaya yang bertemu pada satu titik. Peletakan seperti itu memperlihatkan kesan seakan-akan atap dalam posisi kritis dan mudah goyah, namun hal ini justru menjadi daya tarik tersendiri.

Dua tumpukan atap paling atas itu tampak lebih berfungsi sebagai mahkota dibanding sebagai atap penutup ruang bagian dalam bangunan. Tak heran jika bentuk dan ekspresi seperti itu sebetulnya dapat dibaca dalam dua penafsiran: masjid beratap tumpuk lima atau masjid beratap tumpuk tiga dengan ditambah dua mahkota di atasnya sebagai elemen estetik.










Idiom Pagoda - bentuk dan ekspresi atap tumpuk keempat dan kelima ini mengingatkan bentuk pagoda-pagoda di Cina. (foto: M. Ichsan H)




***

ELEMEN menarik lainnya adalah menara di sebelah timur yang besar dan monumental serta tergolong unik karena belum pernah terdapat bentuk menara seperti itu di Jawa, bahkan di seluruh Nusantara. Dikarenakan menara bukanlah tradisi yang melengkapi masjid di Jawa pada masa awal, maka Masjid Agung Banten termasuk di antara masjid yang mula-mula menggunakan unsur menara di Jawa.

Tradisi menyebutkan, menara berkonstruksi batu bata setinggi kurang lebih 24 meter ini dulunya konon lebih berfungsi sebagai menara pandang/ pengamat ke lepas pantai karena bentuknya yang mirip mercusuar daripada sebagai tempat mengumandangkan azan. Yang jelas, semua berita Belanda tentang Banten hampir selalu menyebutkan menara tersebut, membuktikan menara itu selalu menarik perhatian pengunjung Kota Banten masa lampau.

Catatan Dirk van Lier di tahun 1659 maupun Wouter Schouten yang datang pada tahun 1661 menyebut, menara masih digunakan sebagai tempat penyimpanan senjata/amunisi orang Banten. Kemudian baru antara lain tulisan Stavorinus yang menulis tentang Banten tahun 1769 menyebut menara sebagai tempat memanggil orang untuk bersembahyang.

Berita itu menunjukkan pula menara telah dibangun tidak berselang lama dengan pembangunan masjid. Dari hasil penelusuran Dr KC Crucq, yang pernah dimuat dalam karangannya berjudul Aanteekeningen Over de Manara te Banten (Beberapa Catatan tentang Menara di Banten) yang dipublikasikan dalam
Tidscrift Voor de Indische Taal, Land and Volkenkunde van Nederlandsch Indie, dinyatakan, menara dibangun pada masa Sultan Maulana Hasanudin ketika putranya Maulana Yusuf sudah dewasa dan menikah.

Seperti dikatakan Pijper (1947:280), menara berbentuk segi delapan itu mengingatkan pada bentuk mercusuar, khususnya mercu Belanda. Saat ini ada bukti peninggalan mercusuar buatan Belanda di Anyer sebelah barat Serang dari abad ke-19, yakni bangunan mercusuar yang dalam beberapa hal memiliki kemiripan dengan Menara Masjid Agung Banten. Bentuk tersebut lazim ditemukan di Negeri Belanda, seperti segi delapan, pintu lengkung bagian atas, konstruksi tangga melingkar seperti spiral, dan kepalanya memiliki dua tingkat.

Namun, dari sisi ragam hias, menara Masjid Agung Banten tampak terpengaruh seni ragam hias yang terdapat di Jawa, seperti hiasan kepala menara berbentuk dagoba atau hiasan segi tiga memanjang yang dikenal sebagai tumpal. Keduanya banyak dijumpai pada Candi Jago di Jawa Timur dan candi-candi lainnya. Bahkan, motif relung pada pintu menara seakan-akan merupakan penyederhanaan motif kala-makara dalam tradisi kebudayaan Indonesia pra-Islam seperti juga dekorasi mihrab Masjid Agung Kasepuhan di Cirebon.

Di sisi selatan masjid terdapat bangunan bertingkat bergaya rumah Belanda kontemporer yang disebut tiyamah (paviliun). Bangunan yang dirancang arsitek Belanda Hendrik Lucasz Cardeel di abad ke-18 itu dulunya menjadi tempat pertemuan penting. Saat ini, bangunan yang berdenah empat persegi panjang, dua tingkat dan masing-masing memiliki tiga buah ruang besar tersebut difungsikan sebagai museum benda peninggalan, khususnya alat perang. Langgam Eropa sangat jelas pada bangunan itu, khususnya pada jendela besar di tingkat atas. Jendela itu dimaksudkan memasukkan sebanyak mungkin cahaya dan udara.

***

SEBENARNYA masih banyak elemen unik lainnya yang secara singkat dapat disebutkan, seperti adanya umpak dari batu andesit berbentuk labu berukuran besar dan beragam pada setiap dasar tiang masjid. Yang berukuran paling besar dengan garis labu yang paling banyak adalah umpak pada empat tiang saka guru di tengah-tengah ruang shalat. Ukuran umpak besar ini tidak akan kita temui di sepanjang Pulau Jawa, kecuali di bekas reruntuhan salah satu masjid Kasultanan Mataram di Plered, Yogyakarta.



PendopoTempat pajang-pajangan, ngariung, dan segala aktifitas yang lebih profan (muamalah) dari komponen arsitektur masjid di Jawa. (foto: M. Ichsan H).



Selain itu, terdapat mimbar yang besar dan antik penuh hiasan dan warna. Tempat khotbah ini merupakan wakaf Nyai Haji Irad Jonjang Serang pada tanggal 23 Syawal 1323 Hijriyah (1903 M) sebagaimana tertulis dalam huruf Arab gundul pada penampil lengkung bagian atas muka mimbar. Berbeda dari mimbarnya yang menarik perhatian, mihrabnya (tempat imam memimpin shalat) yang berbentuk ceruk justru sangat kecil, sempit dan sederhana. Ini sangat berbeda dari mihrab yang berkembang pada masjid di belahan dunia lain.

Adanya pendopo dan kolam untuk wudu di sebelah timur melengkapi karakteristik masjid Jawa umumnya. Tiang pendopo yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf itu juga menggunakan umpak batu labu dengan bentuk bangunan dan teknik konstruksi tradisional Jawa.









Mimbar mimbar masjid sebagai tempat untuk khutbah. Untuk memasukinya digunakan tangga-tangga karena diletakkan lebih tinggi dari lantai masjid. (foto: M. Ichsan H).




Yang aneh adalah tata letak makam. Secara tradisi, makam pada kompleks masjid tradisional di Jawa diletakkan di sisi barat, namun di masjid ini diletakkan di sisi utara. Tata letak ini berkembang di beberapa masjid bersejarah di wilayah Banten, seperti di Masjid Kasunyatan. Ini memberi tradisi baru pada masjid tradisional di Jawa, selain adanya elemen menara.

****

Published @Kompas 2 Juni 2002

Wednesday, June 07, 2006

MASJID AGUNG MANONJAYA, BUKTI SEJARAH PERKEMBANGAN TASIKMALAYA

Oleh Bambang Setia Budi


Artefak sejarah, menjadi penting artinya bagi bukti-bukti dan sumber-sumber sejarah. Tanpanya, kita akan menemui banyak kesulitan untu
k mengungkap dan menuliskan sejarah secara benar dan obyektif. Banyak bukti sejarah yang penting di sekitar kita, namun terkadang kita kurang memiliki perhatian atau kurang memperlakukannya sebagaimana mestinya.

Sejarah memang penting bagi kehidupan manusia. Dari sejarahlah kita dapat mengerti masa lalu yang berguna bagi masa yang akan datang. Kita akan memperoleh kesempatan untuk belajar contoh-contoh masa lampau, dari kegagalan da
n keberhasilannya, dari baik dan buruknya untuk modernitas kita saat ini dan masa yang akan datang.

Demikian pula sebaliknya, tanpa sejarah masa lampau berarti kita kehilangan barang berharga yang sangat penting bagi masa depan kehidupan kita. Sebagaimana dalam istilah Arab: “Man laa tarikha lahuu laa waqi` walaa mustaqbal lahu” artinya “Barangsiapa tidak punya sejarah maka dia tidak memiliki masa kini dan masa depan”.

Bagi manusia yang tidak mengenal sejarahnya, ibarat manusia yang hilang ingatan sehingga mudah
dibodohi orang. Pernyataan keras juga pernah dilontarkan seorang kritikus Jerman Gotthold Ephraim Lessing yang menyebutkan: “Tanpa sejarah……..setiap jam kita akan diancam bahaya diperdayakan oleh pembual-pembual bodoh, yang tidak jarang memuji sebagai penemuan baru apa yang telah diketahui dan diyakini oleh manusia beribu-ribu tahun yang lalu.” (dikutip dalam Mathys Joiles, “Lessing`s Conception of History”, Modern Philology, XLIII, 1946, hal. 185; Louis Gottschalk, “Understanding History: A Primer of Historical Method”, 1969).

Salah satu ba
ngunan yang telah menjadi artefak sejarah yang penting di belahan wilayah Priangan Timur, atau tepatnya menjadi bukti penting bagi perkembangan kota Tasikmalaya adalah sebuah bangunan masjid yang berdiri megah di Dusun Kaum Tengah, Desa Manonjaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Kondisi bangunan masjid kini perlu mendapat perhatian lebih besar dari seluruh lapisan masyarakat agar lebih terawat dan terjaga keasliannya.

Selain meny
ejarah, masjid juga memiliki gaya atau langgam arsitektur yang menarik pada masanya. Secara fungsi, masjid hingga kini masih terus dipakai dan dimanfaatkan untuk fasilitas ibadah umat Islam yang penting. Maka sudah selayaknya masjid ini dipelihara, dilindungi dan dilestarikan untuk pengetahuan, pendidikan, kebudayaan dan kemaslahatan umat di masa kini dan yang akan datang.

Bukti Adanya Kabupaten Sukapura

Pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Wiradadaha VIII dan Patih Danuningrat
, wilayah Kabupaten Sukapura meliputi 21 distrik yang disebut daerah Galunggung. Karena wilayah kekuasaannya terlalu luas, maka tahun 1831 daerah Sukapura atau Galunggung ini dibagi menjadi tiga bagian (Afdeeling/bagian dari Keresidenan) yaitu: Afdeeling Sukapura Kolot, Afdeeling Sukapura, dan Afdeeling Tasikmalaya.

Sukapura dalam pembagian tersebut termasuk dalam Afdeeling Sukapura, di mana batas Afdeeling Sukapura ialah sebelah Utara dengan Keresidenan Cirebon, sebelah Timur dengan K
eresidenan Banyumas yang dipisahkan sungai Citanduy, sebelah Selatan dengan Samudra Hindia, dan sebelah Barat dengan Afdeeling Sukapura Kolot dan Afdeeling Tasikmalaya. Pada tahun 1831 Afdeeling Sukapura mempunyai wilayah seluas 260.312,13 Ha dengan jumlah penduduk ibukota 4687 Pribumi, 22 Cina, dan 6 Timur Asing.

Setelah pembagian wilayah tersebut, tahun 1832 Bupati Raden Tumenggung Wiradadaha VIII memindahkan ibukota Kabupaten Sukapura - sesuai daerah yang langsung diperintahnya - yaitu dari Leuwiloa di Sukaraja ke Harjawinangun. Namun untuk sementara, pemerintahan berkedudukan di Pasir Panjang karena menunggu penyelesai
an pembangunan ibukota. Pemerintahan baru berjalan 2 tahun kemudian, setelah Patih Raden Tumenggung Danuningrat selesai membangun kota Harjawinangun (sekarang Manonjaya). Maka baru pada tahun 1834 secara resmi Ibukota Sukapura Pindah ke Harjawinangun/Manonjaya.

Beberapa alasan pemindahan ibukota kabupaten ini di antaranya agar memudahkan dalam menjalankan roda pemerintahan karena berdasarkan pembagian wilayah tersebut, daerah-daerah yang berada di bawah pengawasan Bupati Raden Tumenggung Wiradadaha VIII akan berlokasi di sebelah Timur Kota
Sukaraja, yang menyebabkan hubungan transportasi antar daerah menjadi sulit dalam menjalankan roda pemerintahan. Sedangkan alasan politis terkait dengan Perang Diponegoro (1825-1830) yang terjadi di wilayah Jawa Tengah yang mengakibatkan Belanda memperkuat benteng pertahanan di wilayah perbatasan agar tidak menyebar ke Jawa Barat.

Berdasarkan catatan sejarah, Harjawinangun selama 70 tahun pernah menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Sukapura (Dirapraja, 1972). Harjawinangun sebagai pusat pemerintahan telah berkembang dengan pesat, dan menjadi kota transit dalam jalur hubungan darat antara Jawa Tengah dari arah timur ke Jawa Barat. Sesuai dengan pertumbuha
n penduduk dan perkembangan kota Harjawinangun, maka tahun 1839 berdasarkan Besluit Gubernemen No. 22 tanggal 10 Januari 1839 nama Kota Harjawinangun dirubah menjadi Kota Manonjaya.

Masjid Manonjaya inilah - yang masih berdiri kokoh hingga kini - menjadi bukti sejarah adanya kabupaten Sukapura yang berarti pula bukti sejarah perkembangan Tasikmalaya sekarang. Bahkan masjid dari sejak dulunya telah dipakai sebagai `tetenger` untuk mengembangkan tata kota Harjawinangun. R. Memed Sastra Hadiprawira dalam Volk Almanak Soenda Parahyangan tanggal 12 November 1931 menyebutkan bahwa sewaktu pemindahan ibukota ke Harjawinangun, sebelumnya memang sudah ada masjid kecil dan bahkan oleh Raden Tumenggung Danuningrat ketika merencanakan tata ruang Kota Harjawinangun berpedoma
n pada masjid yang sudah ada tersebut. Dalam konteks ini, keberadaan masjid jelas merupakan satu kesatuan dengan pembangunan tata ruang kabupaten Sukapura pada waktu itu.




Foto Masjid Agung Manonjaya di tahun 1875
. Masjid memiliki nilai sejarah yang tinggi yakni sebagai bukti adanya
Kabupaten Sukapura di Harjawinangun. (Sumber: masjid2000.org, KITLV).



Dengan perkembangan kota Harjawinangun yang cukup pesat, keberadaan masjid di tengah kota tersebut sudah tidak dapat menampung jemaah baik penduduk setempat maupun para pendatang. Masjid Jami` Harjawinangun ketika itu tidak mencerminkan sebagaimana layaknya masjid agung bagi kabupaten Sukapura. Maka pada tahun 1837 ketika Raden Tumenggung Danuningrat yang men
ggantikan Raden Demang Anggadipa II sebagai Bupati Sukapura memperbesar masjid dan mengembangkan alun-alun. Masjid dibangun dengan atap tumpang yang bersusun tiga yang pada bagian atas/ujung atap diberi kemuncak (mustaka), dan empat buah tiang utama sebagai penyangga atapnya.

Pada tahun 1889 masjid ini dikembangkan kembali agar dapat menampung jemaah lebih banyak oleh Dalem Raden Tumenggung A Wiraatmaja. Pengembangan masjid diarahkan ke bagian timur dengan didirikannya bangunan serambi dan bangunan menara di k
anan dan kirinya yang dihubungkan dengan koridor. Bangunan serambi beratap tumpang dua sedangkan menara memiliki atap berbentuk segi delapan.

Sedangkan tahun 1901 pucuk pimpinan di Kabupaten Sukapura dipegang oleh Raden Wiratanuwangsa bergelar Raden Tumenggung Prawira Adiningrat (1901-1908) sebagai Bupati Sukapura XIII dan merupakan bupati pertama yang berkedudukan di Tasikmalaya. Akhirnya, pada tanggal 1 Oktober 1901, ibukota kabupaten Sukapura dipindahkan dari Manonjaya ke Tasikmalaya, pemindahan ibukota ini karena pertimbangan ekonomi bagi pemerintahan Hindia Belanda.

Pada masa pemerintahan oleh R.A. Adiningrat (1908-1937)/Bupati Sukapura XIV, tepatnya tahun 1913 nama Kabupaten Sukapura diganti menjadi Kabupaten Tasikmalaya dengan wilayah kekuasaannya meliputi 10 Distrik: Tasikmalaya, Ciawi, Manonjaya, Singaparna, Taraja, Karangnunggal, Cikatomas, Banjar, Pangandaran dan Cijulang. Pada tahun 1974 dan 1977 masjid ini diperbaiki oleh masyarakat setempat dan akhirnya pada 1991/1992 dipugar oleh Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Barat.

Berlanggam Campuran

Selain memiliki makna historis yang kuat seperti diuraikan di atas, masjid juga memiliki langgam seni bangunan yang unik dan menarik. Nampaknya, titik temu dalam banyak unsur seni bangunan tradisional/setempat dengan langgam `neoclassic` Eropa sangat menonjol dalam perwujudan arsitektur masjid ini.


Unsur seni bangunan tradisional dapat dilihat terutama pada penggunaan atap tumpang tiga, bentuk denah segi empat dan prinsip struktur saka guru di tengah-tengah ruang shalat. Meski untuk saka guru ini, terlihat perbedaan (keanehan!) dengan konstruksi saka guru masjid-masjid tradisional karena berjumlah 10 buah dan dua di antaranya terletak berjajar persis di depan mihrab. Bentuk dan materialnya pun berbeda dengan saka guru masjid-masjid tradisional pada umumnya. Di sini, tiang saka guru tidak lagi dari kayu, tetapi dari pasangan bata berbentuk segi delapan dengan diameter lebih dari 80 cm pada bagian bawah dan 50 cm
pada bagian atas yang diakhiri dengan kepala tiang berbentuk segi empat.

Selain itu, terdapat juga elemen-elemen tradisional khas masjid-masjid di Jawa seperti adanya pawestren/pawadonan (ruang shalat wanita) di sebelah selatan ruang shalat utama, serambi/pendopo di sebelah timur, hingga mustaka/memolo di puncak atap tertinggi yang konon peninggalan seorang ulama penyebar agama Islam di Tasikmalaya bernama Syeikh Abdul Muhyi dari Pamijahan. Mustaka/memolo inilah yang menjadi salah satu ciri penting atap masjid tradisional yang telah d
iadaptasikan dari elemen sakral bangunan-bangunan Hindu pra-Islam di Jawa.


Masjid Manonjaya - Bangunan masjid telah ditambahkan menara dan pendopo sejak tahun 1889. Langgam arsitektur masjid merupakan titik temu seni bangunan tradisional/setempat dengan langgam `neoclassic` Eropa. (Sumber: masjid2000.org, fotografer: Priatna DP)


Jika diamati lebih jauh, bentuk atap yang menjulang tinggi dengan bagian bawah tiap bagian tumpukan berbelok ke arah mendatar seperti itu lebih banyak ditemui pada atap tumpang bangunan masjid di wilayah Priangan tempo doeloe khususnya Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, maupun Tasikmalaya. Bentuk seperti itu, di Bandung tempo doeloe lebih dikenal dengan istilah atap `bale nyungcung` untuk menamai atap Masjid Agung Bandung pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Hal ini berbeda dengan atap-atap tumpang yang banyak berkembang di Jawa Tengah baik pesisir maupun pedalaman di mana atap tumpangnya lebih berbentuk piramid/limasan seperti terdapat pada Masjid Agung Demak (1479), Masjid Agung Surakarta (1757), atau Masjid Agung Yogyakarta (1773).

Titik temu dengan langgam `neo classic` Eropa mulai terlihat pada elemen serambi/pendopo yakni penggunaan kolom-kolom berjajar yang mirip kolom-kolom `doric` Yunani dan menara kembar berjajar yang mendominasi penampilan bangunan masjid. Pembentukan fasade dengan kolom-kolom berjajar pada serambi/pendopo yang menumpang pasangan bata seperti itu bukanlah merupakan ciri asli dari arsitektur masjid tradisional di Jawa. Ini jelas merupakan tradisi baru yang muncul dari pengaruh langgam Eropa yang populer pada masjid-masjid di wilayah Priangan tempo doeloe sepanjang groteposweg (jalan raya pos). Sebagai catatan tambahan, yang menarik dari serambi timur masjid ini adalah bentuknya yang segi empat bujur sangkar sehingga atapnya tidak memanjang dari utara ke selatan sebagaimana umumnya masjid-masjid tradisional di Jawa, tetapi diberinya atap `bale nyungcung`.

Sedangkan menaranya, dari bentuk bangunan segi delapan, terdapatnya pilar-pilar semu `pilaster` di sekeliling bangunan, dan hiasan segitiga semacam `bracket` pada ambang jendela jelas menguatkan pengaruh langgam ini. Bahkan jika diamati lebih jauh, hampir seluruh detail-detail arsitektur dan bukaan-bukaan/jendela pada menara kembar tersebut memberikan ciri-ciri langgam Eropa.

Menara kembar di ujung sebelah utara dan selatan selasar/koridor penghubung ke serambi/pendopo masjid tersebut mulai dibangun pada tahun 1889 bersamaan dengan pembangunan serambi masjid. Menara kembar seperti itu sering digunakan dan juga pernah menjadi populer pada bangunan-bangunan masjid di wilayah Priangan sekitar tahun 1930-an. Tidak terkecuali Masjid Agung Bandung, bangunan ini juga menggunakan menara kembar di ujung sebelah utara dan selatan serambi seperti itu pada penampilannya di tahun 1930-an.

Elemen lainnya yang tak kalah menarik adalah keaneka-ragaman pada hiasan masjid seperti motif ceplok bunga yang terdapat pada dinding ruang lantai ke-2 dan ke-3 serta lantai ke-2 serambi timur, hiasan sulur-sulur daun pada mimbar masjid, hiasan tumpal pada pagar tembok koridor, dan motif meander pada lisplang masjid. Perlu diketahui bahwa masjid ini memiliki tiga lantai sesuai dengan jumlah tumpukan atapnya, dan untuk menaiki lantai di atasnya digunakan tangga-tangga kayu.









Menara - Menara-menaranya merupakan salah satu keistimewaan dari bangunan masjid ini, karena langgam Eropa terlihat sangat menonjol baik pada keseluruhan maupun pada detail-detail arsitekturnya. (www.masjid2000.org, fotografer: M. Ichsan H).



Menjadi Cagar Budaya, Mari Dipelihara

Tak diragukan lagi bahwa Masjid Manonjaya telah ditetapkan sebagai `Cagar Budaya` dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan karena berbagai alasan yang telah dipaparkan di atas. Masjid dari dulu hingga kini masih terus dimanfaatkan untuk kepentingan umat, ia juga memiliki arsitektur yang mewakili gaya/langgam pada masanya yakni campuran unik bentuk tradisional dengan langgam `neo classic` Eropa.

Masjid juga memiliki beberapa kekhasan atau keistimewaan terutama keberadaan menara yang sangat kuat mencirikan langgam Eropa. Dengan demikian jumlahnya termasuk terbatas dan langka sehingga memberi keanekaragaman arsitektur masjid di wilayah Priangan khususnya dan Jawa pada umumnya.

Ia memiliki tingkat keutuhan yang cukup tinggi dalam berbagai sisi meski jika diamati lebih jauh saat ini terdapat bangunan tambahan lain di halaman sebelah utara dan selatan yang bukan dari unsur bangunan kuno. Keberadaan ini tentu tidak sesuai dengan upaya pelestaran benda cagar budaya, situs dan lingkungannya.

Memang disadari bahwa satu hal yang membedakan masjid dengan bangunan cagar budaya lainnya seperti Candi atau Keraton adalah karakternya yang menjadi `living monument`, yakni `monumen yang hidup` artinya terus dipakai oleh masyarakat/umat sehingga terkadang perlu menyesuaikan dengan dinamika dan perkembangannya. Persoalan yang terjadi adalah kadang kala pergantian generasi yang memanfaatkan masjid memiliki perbedaaan wawasan, sikap dan cara pandang dalam memberlakukan bangunan cagar budaya. Maka hal ini merupakan kesulitan tersendiri dalam upaya pelestariannya, yang menuntut perlunya program sosialisasi dan penyadaran kepada masyarakat tentang hal tersebut.

Upaya pelestarian bangunan masjid kuno melalui cara sosialisasi dan penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya benda/bangunan cagar budaya dianggap lebih efektif dan lebih tepat katimbang hanya pemberlakukan pelarangan, karena dalam beberapa kasus yang sering ditemui Tim Masjid2000 di lapangan adalah mereka (masyarakat) beranggapan bahwa mengapa membangun masjid harus dilarang meski sekadar memberi tambahan terhadap ini.

Dari semua kepentingan di atas, jelas bahwa keberadaan Masjid Manonjaya perlu dilindungi dan dilestarikan baik aspek bangunan maupun lingkungan sekitarnya. Kepada seluruh lapisan masyarakat, sudah semestinya masjid dipelihara dan dijaga kelestariannya baik menyangkut lokasi/tata letak, keaslian bentuk, arsitektur, ragam hiasan, dan lingkungannya. Karena masjid merupakan aset berharga yang bukan hanya untuk kepentingan aktifitas ibadah umat, namun juga sejarah khususnya perkembangan Kota Tasikmalaya, serta bermanfaat untuk ilmu pengetahuan dan kebudayaan di masa kini maupun masa yang akan datang.

****

Published @Pikiran Rakyat, 13 Januari 2002

Tuesday, May 23, 2006

MASJID CIPARI, MIRIP GEREJA BERLANGGAM "ART DECO"

oleh Bambang Setia Budi


SIAPA bakal menyangka bangunan ini adalah masjid. Tanpa menyelidikinya lebih jauh, penampilannya akan membuat kita langsung bisa mengira bahwa bangunan ini adalah gereja. Apalagi ditambah dengan langgam art deco yang dimilikinya, penampilan masjid ini menjadi sungguh istimewa.

INILAH sebuah masjid bersejarah di kawasan pesantren kuno di Desa Cipari, Kecamatan Cibatu, Kabupaten Garut. Masjid dan pesantren yang dapat dimasuki dari jalan utama desa ini juga diberi nama sesuai dengan nama desanya, Cipari. Meskipun letaknya agak terpencil, masjid dan pesantren itu kini cukup terkenal di Kota Garut.

Yang membuat Masjid Cipari sangat mirip dengan gereja adalah selain bentuk massa bangunannya yang memanjang dengan pintu utama persis di tengah-tengah tampak muka bangunan, juga keberadaan menaranya yang terletak di ujung bangunan persis di atas pintu utama. Posisi menara dan pintu utama telah menjadikan bangunan ini tampil tepat simetris dari tampak luar. Dari bentuk dan posisi menara dan pintu utama tersebut, bangunan ini jelas mengingatkan kita pada bentuk bangunan-bangunan gereja.











Mirip Gereja
- Dengan bentuk bangunan memanjang, adanya menara di salah satu ujung bangunan dan pintu masuk utama di tengah-tengah fasade simetris, mengingatkan pada tipologi gereja kolonial. (Fotografer: Priyatna DP).




Jika kita memasuki bangunannya, yang memberi penanda bahwa bangunan ini masjid hanyalah keberadaan ruang mihrab berupa penampil yang menempel di dinding arah kiblat. Sementara, ruang shalatnya pun lebih mirip ruang kelas yang dapat dimasuki dari pintu di sebelah utara dan selatan atau dari pintu timur yang terletak di antara ruang naik tangga.

Boleh jadi, inilah salah satu masjid yang mempunyai bentuk paling lain dari yang lain di Indonesia. Bangunan masjid ini bagaimanapun jelas telah memberi dan menambah khazanah keragaman arsitektur masjid di negeri kita. Mungkin dari seluruh wilayah di Indonesia hanya Masjid Cipari dan Masjid Somobito di Mojowarno, Mojokerto, Jawa Timur, yang juga memiliki bentuk mirip gereja seperti ini.

Bedanya, di tempat Masjid Somobito berada, mayoritas penduduknya beragama Kristen, tetapi Masjid Cipari ini berada di tengah-tengah pesantren kuno yang telah berdiri sejak tahun 1933 dan penduduk desa hampir seluruhnya umat Islam sejak masjid didirikan.

***

YANG juga menjadikan Masjid Cipari istimewa adalah adanya langgam art deco pada bangunan. Sejauh ini hampir tidak pernah dijumpai masjid kuno yang menggunakan langgam seperti itu di seluruh wilayah di Indonesia. Selain itu, langgam art deco ini berada pada bangunan di pelosok desa Cipari, Garut, ini.

Lain halnya bila langgam seperti ini marak di kota-kota di Jawa, seperti Surabaya, Semarang, dan terutama Bandung. Bahkan Kota Bandung sempat dijuluki sebagai surga bangunan bergaya art deco.

Memang, apabila kita berjalan ke berbagai daerah hingga ke pelosok wilayah negeri, sebenarnya kita akan menjumpai banyak hal baru dan menarik yang masih dapat disaksikan dari sisa obyek peninggalan masa lalu, termasuk arsitektur yang anggun dan mengesankan. Kita dan masyarakat secara umum sering kurang mengetahui adanya warisan peninggalan budaya yang unik tersebut. Hal ini disebabkan minimnya proyek pendokumentasian, selain kurangnya informasi dan publikasi yang berkaitan dengan obyek warisan budaya menarik tersebut.










Langgam Art Deco
– Langgam ini tampak pada pengolahan fasade masjid. Pola-pola dekorasi geometrik memperkuat pemakaian langgam ini. (Fotografer: Priyatna DP).


Sejarawan arsitektur John Nankivell saat berkunjung ke Kota Gede, Lawang, Malang, dan Pasuruan di Jawa Timur, sempat terbelalak menikmati pesona arsitektur yang langka. Ini karena adanya berbagai gaya atau langgam seni arsitektur Barat atau Eropa yang justru banyak ditemui di kota-kota pedalaman, seperti Lawang dan Kota Gede tersebut. Yang paling menarik adalah temuan bangunan yang juga berhiaskan elemen-elemen art nouveau dan art deco.

Langgam art deco sering disebut sebagai "Style Moderne" yang merupakan gaya desain yang populer selama kurun waktu tahun 1920-an hingga 1930-an. Karena merupakan langgam seni rupa yang pernah melanda dunia di tahun 1920-an, maka art deco sering kali juga disebut The Decorative Twenties (John Nankivell, Art Nouveau and Art Deco in Java, 1977).

Pada Masjid Cipari, langgam art deco sebagaimana dicirikan dengan bentuk geometris, terlihat jelas pada pengolahan fasadnya. Pola-pola dekorasi geometris yang berulang di atas material batu kali memperlihatkan dengan jelas langgam ini. Selain itu, garis horizontal yang halus pada sisi samping kanan maupun kiri juga mencirikan langgam yang sama. Bentuk menara dan atapnya yang menyerupai kubah dengan beberapa elemen dekorasi pada bagian samping maupun puncaknya juga mengingatkan pada langgam ini.

Menara masjid berketinggian lebih kurang 20 meter ini menarik perhatian setiap pengamat, bahkan seperti menjadi eye catcher pada bangunan masjid. Mungkin sekadar simbol untuk menandai bahwa bangunan ini bukan gereja melainkan masjid, maka diletakkanlah bulan sabit di ujung menara. Terdapat beberapa lantai pada interiornya, dengan lantai teratas merupakan ruangan sempit berlantai pelat baja yang dikelilingi semacam balkon kecil yang juga dari pelat baja.

Aspek menarik lain pada penampilan luarnya adalah bukaan-bukaan masjid yang tidak diolah sebagaimana pintu masuk masjid pada umumnya. Selain tata letak pintu masuk utama yang mengingatkan pada bangunan gereja kolonial tersebut adalah komposisi pintu dan jendela di sisi samping bangunan yang lebih terlihat seperti pintu masuk dan jendela-jendela ruang kelas/sekolah atau bangunan kantor pada masa kolonial.










Bangunan Memanjang
- Bangunan masjid memanjang dari Barat ke Timur. Dari samping, terlihat lebih mirip bangunan sekolah atau kantor jika diamati komposisi bukaan-bukaannya. (Fotografer: Priyatna DP).



***

SEJARAH bangunan masjid yang konon biaya pembangunannya berasal dari gotong royong keluarga pesantren, santri, dan masyarakat tersebut juga menjadi aspek menarik tersendiri. Masjid ini sebenarnya telah berdiri sejak tahun 1895, tetapi dalam kondisi masih sangat sederhana. Sejak awalnya masjid ini telah berada di dalam kompleks pesantren dan dikelilingi hanya sekitar 20 rumah penduduk.

Lalu pada tahun 1933, KH Harmaen sebagai pendiri pesantren meninggal dunia dan kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh KH Yusuf Tauziri. Saat dipimpin KH Yusuf Tauziri, masjid dibangun dan diperluas seiring dengan kemajuan pesat yang dialami pesantren. Bentuk masjid yang dibangun pada saat itulah sebagaimana apa yang bisa kita lihat sekarang. Pembangunannya selesai pada tahun 1935 dengan luas bangunan lebih kurang 75 x 30 meter.

Sebagai catatan, kemajuan pesantren saat itu juga ditunjang oleh dihapuskannya ordonansi sekolah luar oleh pemerintah kolonial Belanda pada tanggal 13 Februari 1932 akibat penentangan berbagai organisasi nasional dan Islam, seperti Budi Utomo, Muhammadiyah, PNI, PSII, dan lain-lain. Perluasan masjid ini memiliki kaitan erat dengan situasi pergerakan nasional tersebut karena pimpinan pesantren kebetulan juga seorang ketua PSII cabang Wanaraja.

Meski arsitek bangunan masjid hingga saat ini belum dapat diketahui secara pasti, masjid dan pesantren ini jelas memiliki peran dalam perjuangan rakyat Indonesia pada masa kemerdekaan. Para santri selain belajar ilmu agama juga dididik sebagai pejuang. Ini tak lepas dari keberadaan masjid dan pesantren sebagai salah satu pesantren dari organisasi perjuangan Syarikat Islam.

Bahkan, masjid juga telah menjadi saksi sejarah di masa kemerdekaan, di mana ia pernah menjadi tempat pengungsian rakyat sekitarnya ketika perang kemerdekaan. Bahkan, menurut cerita setempat, pernah diserbu oleh pasukan DI/TII sebanyak 52 kali. Namun, barangkali karena tebal dindingnya yang lebih dari 40 sentimeter, masjid hingga kini masih tegak berdiri dengan kokoh.

****

Penulis adalah Staf Departemen Arsitektur ITB

published @Kompas Minggu 09 November 2003

MASJID MENARA KUDUS KESINAMBUNGAN ARSITEKTUR JAWA-HINDU DAN ISLAM

Oleh: Bambang Setia Budi


SEBAGAI salah satu tempat awal penyebaran Islam di Pulau Jawa, Kota Kudus banyak menyimpan peninggalan sejarah Islam. Salah satu yang terpenting adalah Masjid Menara Kudus yang terletak di Desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah. Masjid tersebut telah menjadi salah satu tempat bersejarah yang penting bagi umat Islam di Jawa.

MASJID yang menurut sejarah didirikan pada tahun 956 Hijriah atau 1549 Masehi ini memiliki nama asli Masjid Al-Aqsa. Konon, Ja’far Sodiq atau yang kemudian dikenal sebagai Sunan Kudus pernah membawa kenangan berupa sebuah batu dari Baitul Maqdis di Palestina untuk batu pertama pendirian masjid yang diberi nama masjid Al-Aqsa. Masjid tersebut kemudian lebih populer dengan sebutan masjid Menara Kudus, merujuk pada menara candi di sisi timur bangunan utama.

Yang paling monumental dari bangunan masjid ini adalah menara berbentuk candi bercorak Hindu Majapahit, bukan pada ukurannya yang besar saja, tetapi juga keunikan bentuknya yang tak mudah terlupakan. Bentuk ini tidak akan kita temui kemiripannya dengan berbagai menara masjid di seluruh dunia.

Keberadaannya yang tanpa-padanan karena bentuk arsitekturalnya yang sangat khas untuk sebuah menara masjid itulah yang menjadikannya begitu mempesona. Dengan demikian bisa disebut menara masjid ini mendekati kualitas genius locy.



Bercorak Candi – Menara Masjid Kudus merupakan bangunan menara masjid paling unik di Kota Kudus karena bercorak Candi Hindu Majapahit. (Fotografer: Indra Yudha).



Bangunan menara berketinggian 18 meter dan berukuran sekitar 100 m persegi pada bagian dasar ini secara kuat memperlihatkan sistem, bentuk, dan elemen bangunan Jawa-Hindu. Hal ini bisa dilihat dari kaki dan badan menara yang dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen, namun konon dengan dengan digosok-gosok hingga lengket serta secara khusus adanya selasar yang biasa disebut pradaksinapatta pada kaki menara yang sering ditemukan pada bangunan candi.

Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat soko guru yang menopang dua tumpuk atap tajuk. Sedangkan di bagian puncak atap tajuk terdapat semacam mustoko (kepala) seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas merujuk pada elemen arsitektur Jawa-Hindu.

***

GH Pijper dalam The Minaret in Java (India Antiqua, Leiden, 1947) mengaitkan struktur bangunan Hindu Jawa pada menara tersebut, sebagaimana pernah diungkap sarjana JFG Brumund pada tahun 1868. Dikemukakan pula bahwa menara itu mengingatkan pada menara kul-kul di Bali. Adanya kesamaan dengan menara kul-kul Bali ini kembali ditegaskan AJ Bernet Kempers dalam bukunya Ancient Indonesia Art (1953).

Hampir semua pakar dan peneliti dari dalam negeri juga sepakat menara ini jelas bercorak bangunan candi atau menara kul-kul Bali. Ada yang menghubungkan bentuk menara itu dengan Candi Jago, terutama jika dilihat dari arsitektur dan kesamaan ragam hias tumpalnya seperti yang dilakukan Sutjipto Wijosuparto (1961). Ada pula yang menyamakannya dengan candi di Jawa Timur oleh Soekmono (1973), Candi Singosari oleh Syafwandi (1985), atau kul-kul Bali oleh Parmono Atmadi (1987).

Namun, Pijper mengungkapkan menara Masjid Kudus awalnya bukanlah asli milik masjid, melainkan bentuk bangunan candi dari zaman Jawa-Hindu yang digunakan dan disesuaikan kegunaannya sebagai tempat azan.

Lain halnya dengan ahli purbakala NJ Krom yang menyebutkan menara Masjid Kudus bukanlah bangunan Candi Jawa-Hindu. Menurut dia, bangunan itu memang memiliki corak candi, tetapi ia dibangun pada masa Islam dan sengaja diperuntukkan sebagai menara azan. Mungkin saja menara dibangun para tukang dan ahli bangunan Hindu sehingga bentuk bangunannya dipengaruhi secara kuat corak arsitektur Hindu (Krom, 1923: 294-295).

Pendapat Krom ini boleh jadi ada benarnya jika diamati detail ornamen bangunan menara yang hampir tidak ditemukan ragam hias berupa makhluk hidup. Artinya boleh jadi bangunan itu sudah disesuaikan dengan agama Islam yang cenderung menghindari adanya penggambaran makhluk hidup. Jika menara itu dibangun jauh sebelum masa Islam/sebelum masjid dibangun, tentu lebih logis jika ragam hias makhluk hidup bisa dengan mudah ditemukan seperti pada gapura Masjid Sendang Duwur di Jawa Timur.











Detail Menara
– Permukaan bidang menara yang tampak menjadi seni tersendiri dari penataan susunan material bata ekspos. (Fotografer: Indra Yudha)



Usia menara juga merupakan keunikan tersendiri, seperti diungkapkan Pijper bahwa Menara Kudus merupakan menara masjid tertua di Jawa. Meskipun demikian, hingga saat ini belum ada yang dapat memberi keterangan kapan waktu dibangunnya secara jelas.

Jika didasarkan inskripsi berbentuk Candrasengkala dalam tulisan Jawa di sebuah balok bagian atap menara yang berbunyi "Gapura rusak ewahing jagad", arkeolog Soetjipto Wirjosuparto membacanya sebagai tahun Jawa 1 (jagad), 6 (ewah), 0 (rusak), 9 (gapura), maka berbunyi 1609 tahun Jawa atau 1685 Masehi.

Wirjosuparto memperkirakan, menara masjid dibangun sebelum tahun 1685 karena keterangan ini menunjukkan rusaknya atap menara yang kemudian diperbaiki dan diperingati dengan inskripsi tersebut. Sementara AJ Bernet Kempers memperkirakan bangunan menara dibangun sekitar awal abad ke-16 tetapi diletakkan dalam tanda kurung yang dibubuhi tanda tanya. Karena tahun itu hanya merupakan perkiraan yang didasarkan atas petunjuk sejarah politik.

***

SELAIN menara, masih banyak elemen unik lainnya yang bisa ditemukan pada kompleks masjid dan makam ini. Jika ditelusuri, terdapat banyak elemen bangunan yang berulang di berbagai tempat. Itulah gerbang yang bentuknya juga menunjukkan kaitan sangat kuat dengan seni bangunan zaman pra-Islam. Gerbang-gerbang itu menandai dan memberi batas makna ruang profan dan sakral. Komposisi tata letaknya sungguh memberikan urutan sangat menarik.

Ada dua jenis gapura di kompleks ini, yakni Kori Agung dan Bentar yang keduanya mirip seperti gapura di Bali. Gapura jenis Kori Agung membentuk suatu gunungan pada bagian atasnya, sementara bentar membentuk laiknya gunungan terbelah. Kedua jenis seperti ini juga terdapat di kompleks Masjid Mantingan atau Masjid Ratu Kalinyamat di pesisir utara Jawa Tengah.

Yang luar biasa dari gerbang ini adalah adanya sepasang gerbang purba berbentuk Kori Agung yang justru terdapat di dalam ruang shalat masjid. Konon, itulah sisa gerbang Masjid Kudus yang asli yang disebut "Lawang Kembar".






Gerbang Kori Agung – Bentuk gerbang jelas mengingatkan gerbang-gerbang bangunan Hindu. Perhatikan sekuensialnya yang berkelok karena terdapat aling-aling yang juga biasa terdapat pada kompleks bangunan Hindu. (Fotografer: Indra Yudha)




Keunikan lain adalah beduk dan kentongan pada pendopo di bagian kepala menara. Peletakan benda-benda seperti itu merupakan tata letak yang tidak lazim di masjid-masjid Jawa tradisional. Karena alat-alat yang biasa ditabuh sebelum dikumandangkan azan itu hampir selalu diletakkan di pendopo masjid sebelah timur. Wajar jika hal ini memperkuat kaitan dengan menara kul-kul Bali karena pada menara kul-kul Bali biasanya tergantung kentongan di bagian kepala menara tepat di bawah atap.

Satu lagi yang tak kalah menarik adalah tempat wudu kuno dari susunan bata merah, dengan lubang pancuran berbentuk kepala arca berjumlah delapan buah. Jumlah ini konon dikaitkan dengan falsafah Buddha, yaitu Asta Sanghika Marga (delapan jalan utama) yang terdiri dari pengetahuan, keputusan, perbuatan, cara hidup, daya, usaha, meditasi, dan komplementasi yang benar.






Pancuran Wudlu Kuno - Lubang pancuran kuno yang berbentuk kepala arca seperti ini terdapat pada tempat wudlu. Bentuk arcanya seringkali dikaitkan dengan kepala sapi yang diberi nama Kerbau Gumarang, karena binatang sapi dulunya diagungkan oleh orang-orang Hindu di Kudus. (Fotografer: Indra Yudha)




Sedangkan bentuk arca seringkali dikaitkan dengan kepala sapi bernama Kerbau Gumarang karena binatang sapi dulunya diagungkan orang Hindu di Kudus. Bahkan hingga sekarang meski mereka telah menjadi Muslim, masih memiliki tradisi menolak penyembelihan sapi yang konon warisan dari sunan kharismatik pencipta gending Mijil dan Maskumambang itu.

****

published @kompas minggu 15 Juni 2003

Monday, May 15, 2006

MENELUSURI MASJID-MASJID DI PRIANGAN TEMPO DOELOE

oleh Bambang Setia Budi


Tempo Doeloe selalu penting untuk ditelusuri kembali karena menjadi referensi bagi sejarah, pendidikan, penelitian, dan kebudayaan. Tempo doeloe juga selalu menarik karena memberi kenangan sejarah tersendiri bagi setiap warga yang pernah mengalami situasi, kondisi maupun peristiwa pada waktu itu.

Seiring dengan itu, penelusuran artefak budaya khususnya seni bangunan/arsitektur di masa lalu dapat memperluas wawasan tentang karakter bentuk dan elemen-elemen bangunan di masa lalu lengkap dengan pengertiannya masing-masing. Dari sini kita bisa mencermati khususnya unsur-unsur lokal yang menjadi ciri dan identitas suatu daerah/wilayah sebagai ungkapan-ungkapan lokalitas.

Perlunya mengenali lokalitas di masa kini nampaknya menjadi semakin penting dan diperlukan di tengah serbuan peradaban global yang menyeragamkan segala sisi dan bentuk kehidupan. Ini dapat menjadi pijakan bagi setiap pengambilan keputusan yang bisa berpengaruh untuk modernitas masa kini dan yang akan datang khususnya di Tatar Priangan.

Berikut ini akan ditelusuri beberapa arsitektur masjid-masjid di Priangan tempo doeloe khususnya pada tahun 1875 baik sepanjang Groote Postweg di wilayah Priangan Barat dan Tengah seperti Cianjur, Bandung, dan Sumedang, hingga Priangan Timur seperti Garut dan Tasikmalaya.

Jika diamati, nampaknya masjid-masjid di Tatar Priangan tempo doeloe memiliki karakteristik yang khas yang membedakannya dengan daerah-daerah lain. Memang sepintas terdapat banyak kemiripan jika dibandingkan dengan masjid-masjid di sepanjang Pulau Jawa, tetapi jika diteliti lebih jauh akan banyak pula ditemukan perbedaan-perbedaan.

Satu karakteristik yang menarik dari atap masjid-masjid di Priangan tempoe doeloe adalah terlihatnya perbedaan pada proporsi atap dibanding atap-atap masjid tradisional yang lain di Pulau Jawa pada umumnya. Pada atap masjid-masjid di Priangan tempo doeloe terlihat selalu nyungcung dengan sudut kemiringan yang sangat tajam sementara bagian bawah tiap tumpukan atap berbelok ke arah horisontal yang pendek dan berubah secara cepat atau seperti mendadak.

Hal ini berbeda dengan atap-atap tumpang yang banyak berkembang di Jawa Tengah baik pesisir maupun pedalaman di mana atap tumpangnya lebih berbentuk piramid/limasan seperti terdapat pada Masjid Agung Demak (1479), Masjid Agung Surakarta (1757), atau Masjid Agung Yogyakarta (1773).

Bentuk `nyungcung` tersebut mengingatkan kepada kita tentang topi karnaval saat masa kecil mengikuti peringatan tujuh belas Agustusan, atau seperti `daun pincuk` untuk wadah makanan-makanan kecil seperti kacang. Unik, lucu, dan menarik, memang. Nampaknya bentuk dan ekspresi atap masjid seperti ini merupakan salah satu ciri dan karakteristik yang khas di alam Pasundan khususnya di abad ke-19.

Di Sepanjang Groote Postweg: Cianjur-Bandung-Sumedang

Sejak Gubernur Jenderal Hindia Belanda dijabat oleh Herman Willem Daendels, terjadilah perubahan besar-besaran di dalam pola tata ruang fisik pulau Jawa khususnya di wilayah Priangan. Terbangunnya jalan raya yang dikenal sebagai Groote Postweg (jalan raya pos) dari Anyer (pelabuhan kecil di Selat Sunda) hingga Panarukan (ujung Timur Pulau Jawa) sepanjang kurang lebih 1000 kilometer dari tahun 1808-1810 telah menandai dimulainya perubahan besar-besaran tersebut.

Menurut sejarawan Perancis Denys Lombard, alasan Daendels membuat jalan raksasa ini awalnya untuk kepentingan militer dan ekonomi semata. Karena di satu sisi, tidak mungkin menyiapkan pertahanan pantai utara Pulau Jawa secara efektif, karena musuh mungkin mendarat di mana saja, dan mustahil menyongsongnya di sana. Di sisi lain, budidaya kopi tak mungkin berkembang selama biaya angkutan yang sangat besar tak dapat ditekan.

Masih menurut catatan tersebut, dampak `jalan raya` yang juga dikenal sebagai Jalan Raya Daendels itu nampaknya jauh melampaui perkiraan pemrakarsanya. Jalan itu memang tetap tidak memungkinkannya untuk dapat menahan pendaratan Inggris, tetapi mengubah secara besar-besaran kondisi ekonomi dan kehidupan sosial politik di Jawa, termasuk perkembangan pusat-pusat kota di pulau Jawa. Jalan itu juga telah mempersatukan tanah Pasundan dengan tanah Jawa melalui penciptaan sebuah kawasan ekonomi tunggal (Lombard, 2000:139).

Karya tersebut - yang oleh musuh-musuh Daendels sering disamakan dengan pekerjaan `piramida Mesir` - menjadi salah satu infrastruktur terpenting bagi perkembangan kota-kota di Jawa. Kota-kota yang dilalui jalur ini mulai berubah sebagai titik-titik simpul jaringan transportasi dan komunikasi yang sangat efektif untuk kepentingan militer dan ekonomi di Pulau Jawa.

Di Tatar Priangan, pertumbuhan beberapa kota-kotanya jelas banyak juga dipengaruhi oleh terbentuknya Groote Postweg tersebut. Di sepanjang jalur ini tumbuhlah pusat-pusat kota dan pemerintahan di mana dibangun pusat pemerintahan lokal, rumah pejabat tinggi, alun-alun, dan masjid agung. Dari sini jelas, seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kotanya, masjid-masjid agung di Tatar Priangan mulailah dibangun sebagai salah satu sarana pelengkap keberadaan pusat pemerintahan lokal. Nampaknya pembangunan struktur pola tata ruang kota-kota di Priangan ini tetap mempertahankan sebagaimana pola kota-kota lama di Jawa.

Seluruh masjid agung di pulau Jawa, hampir selalu terletak di pusat pemerintahan seperti kasultanan, kraton maupun kabupaten-kabupaten yang dibangun sejak zaman Kasultanan Demak, Mataram Islam, atau hingga Kolonial Belanda. Sedangkan di Tatar Priangan khususnya sepanjang Groote Postweg Cianjur, Bandung, dan Sumedang baru dibangun pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Ketiga kabupaten ini dibentuk dalam era Daendels disebut sebagai wilayah Prefectuur Preanger-Regenschappen yang dilalui Groote Postweg. Menarik jika kita telusuri masjid-masjid agung di Priangan tempo doeloe sepanjang Groote Postweg khususnya dari Cianjur, Bandung, dan Sumedang ini.

Dari Cianjur tempo doeloe, kita akan menemui sebuah masjid di sisi Barat alun-alun kota. Meski tata letak masjid dengan alun-alun masih tetap dipertahankan sampai sekarang, namun bentuk dan wajah masjid saat ini sudah jauh meninggalkan aslinya yang bisa dilihat pada foto Masjid Agung Cianjur di tahun 1875.



Foto Masjid Agung Cianjur pada tahun 1875. Proporsi atap dan bangunan masjid dirancang dengan sangat baik sehingga nampak sangat anggun dan bersahaja dilihat dari arah alun-alun (Sumber: masjid2000.org, KITLV).


Meskipun perkembangan Cianjur sudah diresmikan menjadi sebuah kabupaten setelah ditandai dengan pengakuan VOC terhadap keberadaan Aria Wira Tanu II sebagai Regent (Bupati) Cianjur pada tahun 1691, Masjid Agung Cianjur dan alun-alunnya seperti itu baru dibangun sekitar awal abad ke-19, segera setelah Jalan Raya Pos dibangun.

Menurut cerita dari W. R. van Hoevel yang pernah singgah di Cianjur pada tahun 1847, disebutkan bahwa masjid sudah terletak di sebelah barat alun-alun. Alun-alun sendiri merupakan halaman segi empat yang ditanami pohon beringin, dengan gedung kabupaten di sebelah selatannya dan juga terdapat kediaman residen serta penjara. Cerita ini menunjukkan bahwa Masjid Agung Cianjur jelas telah berdiri sebelum tahun 1847.

Dari gambar Masjid Agung Cianjur tahun 1875 itu dapat kita amati bahwa masjid beratap tumpang tiga dengan bentuk menjulang tinggi ke atas (nyungcung), sementara bagian bawah tiap tumpukan terlihat belok ke arah lebih mendatar karena sudut kemiringannya lebih rendah. Tiap bagian atap terlihat adanya bukaan sebagai pemisah antar tumpukan atap yang terbuka. Dari sini, bukaan tersebut juga jelas menjadi peralihan yang menarik antara masing-masing bentuk atap tumpangnya.

Bukaan itu juga dimaksudkan untuk ventilasi udara dan sekaligus cahaya yang memberi kenyamanan serta penerangan alami ruang dalam. Solusi ini nampaknya sangat tepat jika dikaitkan dengan pertimbangan kondisi alam setempat yang tropis panas dan lembab.

Di sisi lain proporsi atap dan juga bangunannya terlihat dirancang dengan sangat baik, sehingga tinggi semampai, anggun, berwibawa dan enak dipandang dari arah alun-alun. Perhatikan pula adanya kolom dua berjajar di bagian depan masjid, nampaknya pengaruh seni bangunan kolonial Belanda sudah terlihat dalam wujud rancangan fisiknya. Kolom berderet di bagian depan masjid seperti itu jarang terdapat pada masjid-masjid tradisional di Jawa pada umumnya.

Setelah Cianjur, bila kita menyusuri Groote Postweg ke arah timur, kita akan menjumpai Kota Bandung tempo doeloe dengan pusat pemerintahan lokal yang baru dipindahkan sesaat setelah pembangunan Jalan Raya Pos tersebut. Pusat pemerintahan lokal ini ditandai dengan adanya alun-alun dan masjid agung, Bale Bandung, rumah pejabat tinggi, dan kemudian penjara kolonial. Jalan Raya Pos ini sekarang telah diganti nama menjadi Jalan Asia Afrika.

Pusat pemerintahan tradisional Bandung tempoe doeloe sebelumnya tidak dilalui Jalan Raya Pos, kemudian terpaksa berpindah agar mendekati dan dilalui jalan raya tersebut. Ini menunjukkan Kota Bandung lahir dan berkembang jelas tidak melalui kekuatan lokal pribumi tetapi banyak dipengaruhi oleh kekuatan politik kolonial Hindia-Belanda. Berpindahnya pusat pemerintahan tradisional Kota Bandung yang tadinya berlokasi di Dayeuh Kolot (kurang lebih 12 km di selatan Jalur Groote Postweg) hingga mendekati dan dilalui jalan raya, merupakan instruksi pemerintah Kolonial Belanda yang menandai kuatnya pengaruh tersebut.

Akhirnya perkembangan Kabupaten Bandung (istilah saat itu) baru dimulai pada awal abad ke-19 (tahun 1810) yang diawali pembangunan pusat pemerintahan lokal, rumah tinggal pejabat tinggi, alun-alun dan masjid agung yang dilalui jalan raya tersebut. Pembangunan pusat pemerintahan lokal ini berlangsung hingga memasuki tahun 1820.



Foto Masjid Agung Bandung pada tahun 1875. Terkenal dengan sebutan Bale Nyungcung hingga pertengahan abad ke-20 (Sumber: masjid2000.org, KITLV).



Dari gambar itu dengan jelas dapat kita amati bahwa Masjid Agung Bandung di tahun 1875 beratap tumpang tiga dengan bentuk atap menjulang tinggi ke atas (nyungcung), sementara bagian bawah tiap tumpukan atap terlihat belok ke arah lebih mendatar karena sudut kemiringan atapnya lebih rendah. Bentuk seperti ini sangat dikenal di dalam benak warga Kota Bandung tempo doeloe dengan istilah Bale Nyungcung.

Bentuk dan ekspresi atap masjid seperti itu sebenarnya tidak hanya terjadi pada tahun 1875 saja, tetapi dari sejak 1850-an atau bahkan sebelumnya yang terlihat dari litho pelukis Inggris W. Spreat yang kemudian tetap dipertahankan hingga sebelum 1955 meski dengan ekspresi dan proporsi yang sedikit berbeda-beda (Lihat lengkapnya dalam tulisan saya berjudul `Tinjauan Arsitektur Masjid Agung Bandung dari Masa ke Masa`, H.U. Pikiran Rakyat, Rabu 3 Januari 2001).

Tiap bagian atap juga memperlihatkan adanya bukaan sebagai pemisah antar tumpukan atap yang terbuka, dan sekaligus menjadi peralihan yang menarik antara masing-masing bentuk atap tumpangnya. Dan pada bagian depan dan samping kiri dan kanan masjid sangat jelas memperlihatkan deretan kolom yang merupakan pengaruh seni bangunan `neo classic` Eropa.

Selanjutnya, jika terus ditelusuri Groote Postweg dari Bandung ke arah timur, meski harus menyusuri jalan yang berat dan berliku-liku maka akan dijumpai lagi sebuah Kabupaten Sumedang. Konon pembuatan Groote Postweg ke arah wilayah ini memang paling berat (selain kawasan Puncak) yang banyak memakan korban penduduk pribumi. Sehingga menurut catatan sejarah sempat menimbulkan penentangan yang dipimpin oleh Bupati Sumedang pada saat itu Pangeran Kornel.



Foto Masjid Agung Sumedang pada tahun 1875. Dengan latar pegunungan, tampaknya atap `nyungcung` dengan bagian bawah tiap tumpukan atap bersudut lebih datar seperti ini merupakan ciri khas pada masjid-masjid Priangan tempo doeloe tahun 1875 (Sumber: masjid2000.org, KITLV).



Dari segi bentuk dan ekspresi atap serta bangunan Masjid Agung Sumedang tahun 1875 ini jelas menunjukkan ciri-ciri atau karakteristik yang sama dengan di Masjid Agung Cianjur tahun 1875 maupun di Masjid Agung Bandung tahun 1875, yakni atap tajuk tumpang tiga `nyungcung` dengan bagian bawah masing-masing tumpukan bersudut lebih datar. Kesamaan-kesamaan lainnya juga dapat dilihat pada bukaan/jendela antar tiap tumpukan atap sebagai ventilasi udara dan cahaya, dan deretan tiang di depan atau samping bangunan masjid. Begitu pula secara tata letak, masjid memiliki kesamaan yakni di sebelah barat alun-alun kabupaten.

Di Priangan Timur: Dari Garut ke Tasikmalaya

Jika di atas telah kita telusuri masjid-masjid Priangan tempo doeloe (Barat dan Tengah) sepanjang Groote Postweg, di sini akan kita lihat dua masjid lagi yang tidak berada di sepanjang jalur tersebut, tetapi di wilayah Priangan Timur yakni Kabupaten Garut dan Tasikmalaya. Dari masanya, dua masjid di dua kabupaten ini berdiri hampir bersamaan dengan berdirinya masjid-masjid di sepanjang Jalan Raya Pos yakni di awal abad ke-19.

Di Garut tempo doeloe kita akan menemukan masjid agung yang telah dibangun pada awal abad ke-19. Pembangunan Masjid Agung Garut ini sangat erat kaitannya dengan pembentukan Kabupaten Garut. Menurut catatan sejarah, pada tanggal 15 September 1813 diletakkanlah batu pertama pembangunan sarana dan prasarana ibukota, yaitu tempat tinggal dan tempat kerja bupati, pendopo, kantor asisten residen, masjid, penjara dan alun-alun. Di depan pendopo terdapat babancong, tempat untuk berpidato bupati atau para pejabat pemerintah lainnya di depan publik. Setelah tempat-tempat ini selesai dibangun, ibukota Kabupaten Limbangan pindah dari Suci ke Garut sekitar 1821.

Masjid Agung Garut juga terletak di sebelah barat alun-alun kota. Masjid agung menjadi masjid utama di kabupaten tersebut dan segala kegiatan keagamaan berpusat di sana yang dipimpin oleh penghulu. Tempo doeloe antara masjid dan alun-alun dipisahkan dengan jalan alun-alun Barat. Sekarang jalan ini dihilangkan sehingga masjid menyatu dengan alun-alun.

Masjid Agung Garut di tahun 1875 beratap tajuk tumpang tiga (nyungcung), dengan bagian bawah tiap tumpukan atap bersudut lebih datar. Ini sangat mirip dengan masjid-masjid di Priangan sepanjang Groote Postweg pada waktu yang sama di atas. Memang terlihat sedikit perbedaan, yakni pada proporsi atapnya yang terlihat lebih besar atau tinggi. Kesamaan lainnya juga dapat diamati pada deretan tiang-tiang/kolom di depan atau sebelah kiri dan kanan masjid.



Foto Masjid Agung Garut pada tahun 1875. Memiliki kesamaan bentuk dan ekspresi atap dengan masjid-masjid di Priangan tempo doeloe lainnya meski sedikit memperlihatkan perbedaan proporsi (Sumber: masjid2000.org, KITLV).



Setelah Garut, di Priangan Timur ini akan kita temui masjid agung yang dibangun pada awal abad ke-19 dan juga menandai tumbuh dan berkembangnya Kabupaten Tasikmalaya, yakni Masjid Agung Manonjaya. Masjid menjadi bukti sejarah adanya kabupaten Sukapura yang berarti pula bukti sejarah perkembangan Tasikmalaya sekarang. Masjid dari sejak dulunya telah dipakai sebagai tetenger untuk mengembangkan tata kota Harjawinangun. R. Memed Sastra Hadiprawira dalam Volk Almanak Soenda Parahyangan tanggal 12 November 1931 menyebutkan bahwa sewaktu pemindahan ibukota ke Harjawinangun, sebelumnya memang sudah ada masjid kecil dan bahkan oleh Raden Tumenggung Danuningrat ketika merencanakan tata ruang kota Harjawinangun berpedoman pada masjid yang sudah ada tersebut. Dalam konteks ini, keberadaan masjid jelas merupakan satu kesatuan dengan pembangunan tata ruang kabupaten Sukapura pada waktu itu.

Pada tahun 1837, Raden Tumenggung Danuningrat yang menggantikan Raden Demang Anggadipa II sebagai Bupati Sukapura memperbesar masjid dan mengembangkan alun-alun. Masjid dibangun dengan atap tumpang yang bersusun tiga yang pada bagian atas/ujung atap diberi kemuncak (mustaka), dan empat buah tiang utama sebagai penyangga atapnya.

Masjid Agung Manonjaya di tahun 1875 tetap beratap tajuk tumpang tiga (nyungcung) dengan bagian bawah tiap tumpukan memiliki sudut yang lebih datar. Dan antara tumpukan atap juga terdapat bukaan sebagai ventilasi udara dan cahaya dan sekaligus peralihan antara tumpukan atap. Yang terakhir, kesamaan masih juga dimiliki pada terdapatnya deretan tiang/kolom baik di depan, atau samping kanan dan kiri masjid. Nampaknya inilah ciri-ciri umum masjid-masjid di wilayah Priangan tempo doeloe tahun 1875.



Foto Masjid Agung Manonjaya–Tasikmalaya pada tahun 1875. Perhatikan pagar bermotif sisik ikan yang pernah populer dan menjadi pagar-pagar khas di penjuru kota/kabupaten Priangan tempo doeloe (Sumber: masjid2000.org, KITLV).



Sebagai catatan terakhir dari penelusuran, adalah terdapatnya kesamaan penggunaan pagar bermotif sisik ikan, terutama dan yang paling jelas adalah pada Masjid Agung Manonjaya. Nampaknya pagar dengan motif seperti itu sangat populer di wilayah Priangan tempoe doeloe di abad ke-19. Pagar bermotif seperti inilah yang kemudian diambil oleh arsitek terkenal Belanda Henry Maclaine Pont sebagai titik tolak merencanakan pagar-pagar pusat-pusat kota/kabupaten di Priangan tempo doeloe termasuk masjid agung, Bale Bandung dan sekitarnya di tahun 1930-an.

Henry Maclaine Pont memang salah seorang arsitek Belanda (selain Schoemaker dan Karsten) yang dikenal sangat menghargai potensi dan budaya lokal. Mereka (Pont, Schoemaker, dan Karsten) berusaha keras menyatukan pandangan arsitektur yang memperhatikan potensi budaya setempat/lokal, dengan perhatiannya yang sangat teliti terhadap detail-detail karya rancang bangunnya. Nampaknya ini merupakan satu pelajaran berharga yang penting khususnya bagi para arsitek/perancang bangunan maupun para pengambil keputusan yang akan berdampak bagi seluruh warga masyarakat secara umum dalam membangun modernitas kita saat ini.

****

Penulis adalah Staf Pengajar Departemen Arsitektur ITB

published @ Koran Pikiran Rakyat, December 24, 2001

Thursday, March 30, 2006

MASJID SAID NAUM, UNGKAPAN LOKALITAS DALAM MASJID MODERN

oleh Bambang Setia Budi


SUATU rancangan masjid yang sangat berhasil dalam upaya menghadirkan kosa bentuk masjid tradisional Jawa ke dalam ungkapan-ungkapan modern adalah Masjid Said Naum yang terletak di dalam area kepadatan tinggi di Kebon Kacang, Jakarta.

Masjid yang dirancang arsitek Adhi Moersid dan tim ini jelas memperlihatkan usaha serius dalam mengakomodasi dua kepentingan berbeda yaitu merepresentasikan karakter arsitektur lokal/tradisional dengan pendekatan modern.Wajar jika rancangan ini kemudian memenangkan kompetisi yang diadakan Pemda DKI pada tahun 1975 di mana kriteria utamanya adalah harus merepresentasikan karakter arsitektur tradisional, cocok dengan lingkungan sekitar, dan menggunakan material lokal. Atas alasan itu pulalah bangunan masjid yang selesai pembangunannya tahun 1977 ini mendapatkan penghargaan Honourable Mention dari Aga Khan Award for Architecture pada tahun 1986.



Masjid Said Naum -Penampilan masjid didominasi oleh atap yang mencoba menggubah kembali atap tumpang atau Meru tradisional ke dalam perwujudan yang baru. (Sumber: masjid2000.org/N. Luthfi).



Menurut catatan tertulis dari sang arsitek, pada waktu menggarap rancangan ini sebenarnya tidak ada pretensi mengupas kemudian merumuskan bagaimana tradisi dan unsur arsitektur tradisional dapat dimasukkan ke dalam rancangan dengan mengikuti aturan atau teori tertentu. Namun, yang dicoba dilakukan adalah mencarikan landasan untuk memberikan makna pada ungkapan arsitekturnya baik yang teraga maupun yang tidak teraga.

Salah satu landasan perancangannya adalah keyakinan bahwa Islam merupakan ajaran atau ideologi yang ke mana pun ia datang tidak secara langsung membawa atau memberikan bentuk budaya berupa fisik. Di mana pun Islam datang, ia siap memakai berbagai bentuk lokal/tradisional untuk dijadikan identitas fisiknya. Dari sini kita menemukan banyak bangunan-bangunan tradisional yang dengan mudah dapat berubah fungsinya menjadi masjid di berbagai masyarakat yang telah memeluk agama Islam.

Arsitektur Islam dapat juga dinyatakan sebagai manifestasi fisik dari adaptasi yang harmonis antara ajaran Islam dengan bentuk-bentuk lokal. Oleh karena itu, Arsitektur Islam bisa amat kaya akan ragam dan jenisnya sebagaimana yang diungkapkan arsitek Muslim Turki Dogan Kuban bahwa tidak ada homogenitas dan kesatuan dalam bentuk dari apa yang disebut Arsitektur Islam. Konsep inilah yang dipakai sang arsitek sebagai fokus sentral dalam mendesain masjid bernuansa modern di atas tanah wakaf warga keturunan Mesir bernama Said Naum.

***

DARI segi bentuk, gubahan pertama yang menarik perhatian adalah desain atap masjid. Karena arsitektur atap merupakan salah satu ciri menonjol dalam arsitektur tradisional di Indonesia/Jawa, dapatlah dimengerti jika desain ini mencoba mengambil kembali karakteristik atap masjid tradisional, namun direvitalisasi.

Penampilan masjid didominasi atap yang mencoba menggubah kembali atap tumpang atau meru tradisional yang sering ditampilkan dalam bangunan sakral di Jawa atau Bali, ke dalam perwujudan baru. Berbeda pada bangunan tradisional, bagian atas diputar 90 derajat dari bentuk massa bangunan masjidnya. Hal ini jelas memperlihatkan usaha menarik dalam menampilkan gagasan baru untuk merevitalisasi bentuk atap lokal/tradisional tersebut. Bentuk seperti itu tampaknya berkembang lebih lanjut di kemudian hari pada bangunan masjid-masjid modern lainnya di Indonesia seperti Masjid Al-Markaz Al-Islami di Makassar dan Masjid Pusdai (Islamic Center) di Bandung.










Cahaya alami - Pencahayaan alami menembus masuk ke dalam ruang shalat memberi suasana kenyamanan bagi setiap pengguna. Sementara pada bagian atas terlihat balok-balok struktur rangka atap yang menjadi `self bearing structure` dari sistem struktur atap tradisional sengaja diekspose. (Sumber: masjid2000/N. Luthfi)



Bentuk atap tersebut sebenarnya juga memperlihatkan kesamaan profil dengan tipe atap tumpang dengan saka guru. Biasanya ada empat saka guru di tengah ruang shalat untuk menyangga atap kedua maupun ketiganya. Namun, empat saka guru tersebut di dalam rancangan ini dihilangkan agar didapat pandangan secara jelas ke arah mihrab dan tersedia ruang tempat shalat dengan bebas.

Konsekuensi penghilangan kolom-kolom saka guru di tengah-tengah ruangan tersebut adalah diperlukannya struktur bentang cukup lebar. Tampaknya pilihan struktur rangka baja telah dipakai untuk menggantikan struktur kayu yang biasa pada masjid tradisional. Namun yang sangat menarik di sini adalah dikembangkannya kembali konsep sistem atap lama pada struktur rangka atap yang rigid sebagai self bearing structure untuk menutup ruang dengan bentang lebar. Desain ini dengan jelas memeragakan pemanfaatan teknologi yang diadaptasikan dengan tradisi lokal.

Pencahayaan alami yang masuk ke ruang shalat memberi suasana nyaman bagi setiap pengguna. Sementara pada bagian atas terlihat balok struktur rangka atap yang menjadi self bearing structure dari sistem struktur atap tradisional sengaja diekspos.

***

YANG juga terlihat sangat menonjol dalam rancangan masjid yang berdenah segi empat simetris ini adalah kenyamanan ruang-ruangnya, yang terjadi sebab adanya bukaan di semua sisi dindingnya sehingga tercapai penghawaan silang dengan baik. Di setiap sisi dinding masjid terdapat lima jendela kayu lengkung yang lebar dengan beberapa di antaranya dipakai sebagai pintu. Uniknya bukaan-bukaan ini tidak menggunakan daun jendela/pintu tetapi deretan kayu berukir/berulir berjarak tertentu dengan arah vertikal yang mengisi luas jendela tersebut. Model jendela seperti ini mengingatkan pada rumah-rumah tradisional Betawi maupun masjid-masjid lama di Jakarta yang dibangun sejak abad ke-18.









Bukaan - Bukaan tanpa daun jendela pada setiap sisi bangunan seperti ini menjadikan angin bebas bertiup ke dalam bangunan sehingga tercapai penghawaan silang. Nampaknya ini merupakan salah satu kunci kenyamanan karena mengadaptasi kondisi iklim lokal. (Sumber: masjid2000/N. Luthfi).



Bukaan tanpa daun jendela pada setiap sisi bangunan seperti ini menjadikan angin bebas bertiup ke dalam bangunan sehingga tercapai penghawaan silang. Nampaknya ini merupakan salah satu kunci kenyamanan karena mengadaptasi kondisi iklim lokal.

Penggunaan sirkulasi yang mudah dan jelas juga memberi kenyamanan tersendiri dari bangunan berkarakter publik ini. Selain itu, penggunaan bentuk atap juga sangat cocok untuk bangunan di tempat yang memiliki curah hujan tinggi, bahkan adanya selasar yang lebar pada semua sisi yang dapat melindungi ruang dalam/interior dari hujan dan silau akibat panas matahari luar semakin menambah kenyamanan ruang-ruang masjid.

Pencahayaan alami yang dramatis dan sayup-sayup lembut-yang memasuki ruangan shalat baik dari samping maupun dari lubang cahaya dari pertemuan bidang miring atap yang diputar dengan atap di bawahnya-sangatlah mendukung suasana kekhusyukan. Sementara lampu di tengah langit-langit atap sangat serasi dengan geometri yang memberikan cahaya iluminasi. Bagaimanapun, efek pencahayaan ini memberikan kenyamanan sangat bagi setiap pengguna ketika berada di dalam masjid.

Area di luar bangunan dirancang dengan berbagai level dengan tanaman berbeda pada masing-masing tempat. Pepohonan di sekeliling batas dan sebagai pengisi antarbaris paving lantai menyediakan bayangan dan atmosfer yang relatif sejuk yang mengalir secara silang ke dalam bangunan. Tata letak bangunan dan penataan lanskap tersebut jelas hendak menjadikan area yang tenang, sejuk, dan damai bagai oase di tengah hiruk-pikuk area urban Kota Jakarta. Ini menunjukkan desain bangunan yang sangat adaptif dengan iklim lokal.

Dengan demikian, baik penampilan masjid dalam ruang dan bentuk, tata letak dan penataan lanskap, tampaknya sangat mendekati ideal. Kehadirannya begitu nyaman bagi kegiatan ritual ibadah seperti shalat, itikaf (berdiam diri di dalam masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah), perenungan hingga muhasabah (mengevaluasi diri).

Ini semua tidak lepas dari kuatnya ungkapan-ungkapan karakter lokal atau lokalitas dalam rancangan masjid baik secara keseluruhan maupun detail-detailnya. Ungkapan lokalitas memang banyak diolah dan menjadi ciri penting dalam rancangan masjid modern ini. Bahkan, materialnya menunjukkan material lokal kecuali bahan baja untuk struktur atap. Ini yang tampaknya patut menjadi contoh dan perlu dikembangkan perancang/arsitek untuk bangunan masjid khususnya dan bangunan lain pada umumnya di negeri kita tercinta, Indonesia.

****

Penulis adalah Staf Pengajar Departemen Arsitektur ITB.

published @Kompas, November 04, 2001