oleh Bambang Setia Budi
Sungguh memprihatinkan ketika mengikuti berita di Harian Kompas (25/7) bahwa makam Prof. Ir. Charles Proper Schoemaker akan dibongkar karena pajak makamnya sejak tahun 1994 sebesar Rp 180.000,- belum dibayar. Namun syukurlah hari berikutnya di harian yang sama diberitakan pembongkaran makam Schoemaker di Taman Pemakaman Umum Pandu, Bandung dibatalkan setelah ada yang mau peduli dengan masalah ini dengan melunasi tunggakan retribusi.
Boleh jadi belum banyak orang tahu bahwa arsitek bernama lengkap Prof Ir Kemal Charles Proper Wolff Schoemaker (1882-1949) memiliki banyak peran dalam pembangunan gedung bersejarah di Kota Bandung, kota di mana ia dimakamkan. Ia seorang dari beberapa arsitek Belanda ternama yang banyak berkarya di Indonesia selain Thomas Karsten, dan Henry MacLaine Pont. Dia juga guru presiden pertama RI Soekarno dan para insinyur pribumi angkatan pertama semasa kuliah di Technische Hogeschool (kini menjadi Institut Teknologi Bandung/ITB).
Selain bangunan, tidak sedikit tulisan hasil penelitiannya mengenai kebudayaan Indonesia khususnya tentang arsitektur tradisional termasuk candi. Bersama MacLaine Pont, arsitek yang merancang Kampus ITB, arsitek kelahiran Banyubiru, Ambarawa, ini membentuk kesatuan pandangan arsitektur yang sangat memperhatikan potensi dan budaya setempat yang tampak pada karyanya.
Berikut ini sebagian karyanya yang bertebaran di penjuru Kota Bandung, mulai dari gedung pertemuan, hotel, bangunan kantor/komersial, masjid dan gereja, rumah tinggal, penjara, hingga laboratorium penelitian. Hampir semua karya itu menjadi penanda fisik penting di Bandung.
***
GEDUNG Merdeka di Jalan Asia-Afrika merupakan salah satu artefak yang sangat menyejarah di Kota Kembang karena di gedung tersebut pernah diselenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.
Pada abad ke-19 gedung itu mulanya digunakan sebagai gedung Societeit Concordia yang merupakan perkumpulan orang-orang terkemuka. Namun, pada tahun 1930 bangunan itu dirombak total dari idiom klasik ke Arsitektur Modern oleh Schoemaker. Karena menjadi bangunan yang teramat penting, sejak tahun 1955 hingga saat kini tidak ada sedikit pun dilakukan perubahan berarti.
Karya lain adalah hotel paling eksotik yang dibangun pada masa kolonial yakni Hotel Preanger. Hotel ini jelas mengingatkan pada langgam seni dekoratif Frank Lloyd Wright pada awal 1920-an, khususnya karya Imperial Hotel di Tokyo (1915-1925).
Motif geometrik secara dekoratif mengisi pada bidang dan pertemuan elemen bangunan. Karya ini memberi identitas tersendiri yang menegaskan sebutan Art Decorative. Pengaruh ini sebenarnya muncul dalam banyak bangunan kolonial di Bandung. Boleh jadi, gejala ini juga merupakan imbas dari maraknya langgam serupa di kota-kota Eropa sekitar tahun 1920-an.
Eksotis – Hotel Preanger merupakan salah satu hotel paling eksotis yang dibangun di Bandung pada masa kolonial. Bangunan ini mengingatkan langgam-langgam Art Decorative yang marak di kota-kota Eropa tahun 1920-an. (Fotografer: Amin Budiarjo)
***
Jika ia pernah merancang bangunan komersial di Surabaya seperti Kolonial Bank (Jalan Jembatan Merah) dan Java Store (Jalan Tunjungan), Schoemaker pernah juga merancang bangunan bernama Jaarbeurs de Bandung yang bergaya modern dan kini dipakai sebagai Markas besar Kodam III Siliwangi. Kompleks Jaarbeurs awalnya direncanakan untuk keperluan pameran hasil industri organisasi pengusaha industri bernama Vereniging Nederland Indische Jaarbeurs de Bandung.
Kompleks Jaarbeurs yang mulai dibangun tahun 1920 ini dikelilingi empat jalan, yakni Jalan Banda, Jalan Menado, Jalan Blitar, dan Jalan Sunda. Meskipun beberapa telah mengalami perubahan, namun unit bangunan utama paling depan dekat gapura masih utuh, kecuali elemen dekoratif klasik tiga buah patung yang ditutup badannya di bagian pintu masuk. Desain dan tata letak berbagai ventilasi untuk memasukkan cahaya dan udara alami tertata sangat baik.
Perpaduan langgam Eropa dengan gaya setempat terlihat mantap dalam rancangan bangunan religius seperti Masjid Cipaganti di Jalan Cipaganti dan Gereja Bethel di Jalan Wastukencana. Masjid Cipaganti yang dibangun pada tahun 1933 memperlihatkan unsur seni bangunan Jawa, yaitu berupa penggunaan atap tajug tumpang dua, empat saka guru di tengah ruang shalat dan detail ornamen seperti bunga maupun sulur-suluran. Sedangkan unsur Eropa terlihat pada pemakaian kuda-kuda segi tiga penyangga atap dan secara khusus penataan massa bangunan pada lahan ”tusuk sate” antara Jalan Cipaganti dengan Jalan Sastra. Penataan massa bangunan seperti ini menjadikan bangunan tampak paling menarik jika dilihat dari Jalan Sastra karena terbingkai deretan pepohonan rindang. Penataan seperti itu merupakan cara ”Eropa” yang menjadi sesuatu yang baru pada bangunan masjid di Jawa.
Masjid Cipaganti – Peletakan massa bangunan Masjid Cipaganti dalam posisi ”tusuk sate” merupakan cara ”Eropa”. Bangunan ini memperlihatkan dengan jelas upaya memadukan unsur seni bangunan Jawa dan Eropa. (Fotografer: Yessika Abdasah).
Begitu pula Gereja Bethel yang menghadap Sythof Park Pieter atau sekarang disebut Taman Merdeka. Pada bagian atap, Schoemaker mengambil bentuk atap tajug Jawa, namun bentuk bangunannya mengambil sentral Palladian dengan menara sudut. Langgam Eropa makin jelas jika dilihat pada pintu utama yang mengingatkan bentuk gereja Romanesk meskipun samar-samar mengambil pula inspirasi Gothik.
Arsitek ini juga pernah mendesain bangunan yang biasa dikenal sebagai Penjara Sukamiskin. Bangunan penjara ini masih berdiri dengan kokoh yang dapat kita lihat dari arah perjalanan Cicaheum ke Ujung Berung di sebelah kanan jalan. Sungguh suatu bangunan yang juga tidak kalah menarik di pinggiran Kota Bandung.
***
JIKA kita lanjutkan penelusuran makin ke arah Bandung Utara, kita akan menemui beberapa rumah tinggal yang sangat unik karya Schoemaker. Dua di antaranya adalah Villa Merah, ITB di Jalan Tamansari, dan Villa Isola di Jalan Setiabudi yang kini menjadi gedung rektorat IKIP/UPI Bandung.
Bangunan rumah tinggal pertama Schoemaker terkenal dengan sebutan Villa Merah karena menggunakan bata berwarna merah. Material ini dipaparkan terbuka sehingga warna merah mendominasi hampir seluruh permukaan bangunan kecuali atap yang menjulang dan menjadikan vila itu sangat unik karena tanpa-padanan. Bangunan dua lantai ini juga sangat menonjol dalam upaya memadukan seni bangunan Eropa dengan Indonesia yang beriklim tropis panas dan lembab.
Villa Isola – Vila ini adalah sebuah bangunan modern di pinggiran Kota Bandung yang dianggap sangat berhasil dalam menyatukan bangunan dengan lingkungannya. (Fotografer: Amin Budiarjo)
Adapun Villa Isola disebut-sebut sebagai bangunan megah bergaya Arsitektur Modern yang dianggap sangat berhasil dalam menyatukan bangunan dengan lingkungannya. Bangunan yang awalnya adalah rumah tinggal milik orang Belanda bernama DW Barrety ini berada di pinggiran kota. Penataan lansekap dan bangunan mengikuti sumbu utara-selatan sebagaimana penataan lansekap Kampus ITB dengan taman memanjang menuju arah Gunung Tangkuban Perahu. Penataan ini memperlihatkan kesatuan dengan bentuk geometri bangunan yang meliuk-liuk plastis, dan dengan ornamen garis-garis moulding yang memanfaatkan efek gelap-terang sinar Matahari.
Karena terletak di dataran yang cukup tinggi dan bersumbu utara-selatan, kita bisa menikmati pemandangan ke utara yakni Gunung Tangkuban Perahu dan ke selatan ke arah Kota Bandung. Pemandangan ke berbagai arah ini dapat dinikmati dari berbagai sudut seperti ruang tidur, keluarga, makan, dan terutama teras atau balkon. Bangunan yang dibangun pada tahun 1933 ini dapat menjadi contoh perpaduan serasi antara seni bangunan barat dan timur.
Sebagai catatan akhir, jika menelusuri Jalan Setiabudi menuju Lembang kita akan menemui bangunan untuk pengembangan ilmu dan penelitian tentang bintang dan benda luar angkasa yaitu Laboratorium Bosscha yang sampai kini merupakan satu-satunya di Indonesia. Itulah sederetan bangunan karya Schoemaker yang sangat lekat dengan landmark Kota Bandung. Karya-karya itu, selain selalu memiliki kualitas desain arsitektural yang baik, juga memberi manfaat begitu besar karena terus digunakan meski sebagian di antaranya telah berubah fungsi. Dan, yang tak kalah penting, hampir semua artefak bangunan itu masih bisa disaksikan hingga kini.
****
Published @Kompas 2 Agustus 2002