Monday, March 20, 2006

ASAL USUL MASJID JAWA

(Akhirnya ketemu, ini nih edisi aslinya ;-)

Oleh Bambang Setia Budi

Pada tahun 1947, peneliti Belanda G.F. Pijper telah menyebutkan bahwa tipe bentuk masjid di Indonesia berasal dari Masjid Jawa. Menurutnya ada enam karakter umum tipe Masjid Jawa itu yakni: 1) berdenah bujur sangkar, 2) lantainya langsung berada pada fundamen yang masif atau tidak memiliki kolong lantai sebagaimana rumah-rumah vernakular Indonesia atau tempat ibadah berukuran kecil seperti langgar (Jawa), tajug (Sunda), dan bale (Banten), 3) memiliki atap tumpang dari dua hingga lima tumpukan yang mengerucut ke satu titik di puncaknya, 4) mempunyai ruang tambahan pada sebelah barat atau baratlaut untuk mihrab, 5) mempunyai beranda baik pada sebelah depan (timur) atau samping yang biasa disebut surambi atau siambi (Jawa) atau tepas masjid (Sunda), dan 6) memiliki ruang terbuka yang mengitari masjid yang dikelilingi pagar pembatas dengan satu pintu masuknya di bagian muka sebelah timur.

Beberapa ilmuwan lainnya juga telah mendiskripsikan karakteristik Masjid Jawa ini. Gambaran secara umum terlihat hampir sama, hanya terdapat perbedaan dari cara mengungkapkan atau cara pandang masing-masing. Yang jelas, ciri bentuk Masjid Jawa seperti itu sejatinya sangat unik dan menunjukkan perbedaan yang sangat mencolok jika dibanding dengan bentuk-bentuk arsitektur masjid di berbagai belahan dunia lainnya.

Pernyataan Pijper bahwa tipe bentuk masjid di Indonesia berasal dari Masjid Jawa tadi tampaknya juga diikuti oleh hampir semua kalangan termasuk para ilmuwan atau akademisi hingga sekarang. Bahkan ada pula yang menyebutkan bahwa pengaruh bentuk arsitektur Masjid Jawa ini bukan hanya pada tipe masjid di Indonesia, namun hingga masjid-masjid di seluruh Asia Tenggara, antara lain Malaysia, Thailand (Patani), dan Philipina (Mindanau).

Hal ini dinyatakan juga dalam tulisan tentang masjid berjudul South-East Asia oleh akademisi dari Australia Hugh O`neill (1994) dalam buku The Mosque History Architectural Development and Regional Diversity, yang diedit oleh Martin Frishman dan Hasan Uddin Khan. Di sana ditulis "From whichever direction elucidation of the genesis of its form is sought, the South-East Asian Mosque lies within the strong Java-centred tradition of tall, multi-roofed, open halls with timber columns as structural supports" (lihat hal. 227).

Sampai pada titik ini banyak kalangan tampak berpandangan sama. Namun ketika dihadapkan pada pertanyaan dari mana sebenarnya asal-usul bentuk Masjid Jawa yang unik dan khas ini? Tampaknya perbedaan dan perdebatan yang rumit tak terelakkan hingga saat ini. Berikut akan saya jelaskan rangkuman silang pendapat tentang asal-usul Masjid Jawa dari para scholars itu, lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

***

Pendapat yang paling awal datang dari seorang ilmuwan Belanda bernama K. Hidding di tahun 1933 dalam tulisannya berjudul Het bergemotief in eenige godsdienstige verschinjnselen op Java. Di sini, ia menggagas kemungkinan kaitan antara bentuk atap yang tinggi menjulang pada masjid dengan bentuk gunung yang disucikan. Asumsi Hidding ini juga mendapat dukungan sejarahwan terkenal Belanda H.J. de Graff dalam tulisannya: "De Oorsprong der Javaanse Moskee" di tahun 1947-1948. Bahkan di sini Graff menegaskan bahwa bentuk atap masjid seperti itu memang diturunkan dari bentuk gunung, karena ia merupakan suatu bentuk yang suci dan sakral dalam tradisi Hindu-Jawa pada waktu itu.

Sementara peneliti lainnya bernama J.P. Rouffer mencoba mengargumentasikan pandangan religius bahwa Masjid Jawa muncul dari sebuah bangunan Budha yang disebut dalam Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca (keluaran H. Kern, 1919, hal. 254; Graff, 1947-1948, hal. 290). Spekulasi Rouffer ini mungkin memang dilengkapi berbagai argumen religi, namun tampak sama sekali tidak mempertimbangkan segi fisik bangunan sehingga dasar hipotesisnya lemah.

Baik Hidding maupun Rouffer, jelas tidak mempertimbangkan aspek fisik khususnya teknik dan konstruksi bangunan, mereka hanya menginterpretasikan bentuk umum dikaitkan dengan pandangan religi. Padahal semua pandangan dan interpretasi metafisik saja tidaklah cukup untuk menjelaskan keterkaitan segi-segi fisik/arsitektural sebuah bangunan. Selain kurang rasional, pandangan seperti ini juga sering absurd, sehingga tidak mudah untuk diterima begitu saja oleh banyak kalangan khususnya sejarahwan arsitek.

Di tahun 1935, seorang arkeolog Belanda bernama W.F. Stutterheim dalam bukunya berjudul Leerboek der Indische cultuuregeschiedenis, Vol. 3, De Islam en zijnkomst in den archipel, menyebutkan bahwa Masjid Jawa itu diturunkan dari bentuk bangunan besar komunitas, yang ia sebut sebagai hanenklopbaan seperti kalau di Bali disebut wantilan (tempat sabung ayam) yang kini masih bisa ditemukan. Sayangnya teori ini tidak didukung dengan argumen lebih lanjut.

Pandangan yang disertai argumen cukup meyakinkan mungkin dari Pijper dalam makalahnya berjudul The Minaret in Java di tahun 1947. Setelah menyebut karakteristik Masjid Jawa, ia juga menyimpulkan bahwa bentuk itu tidak mungkin berasal dari struktur luar yang dibawa ke negeri ini melalui para pendakwah dari luar negeri. Ia yakin bahwa ada suatu bentuk lokal dan asli yang diadaptasikan sesuai kebutuhannya hingga menjadi bentuk bangunan ibadah. Argumennya yakni denah bujur sangkar sudah sangat lazim digunakan pada struktur-struktur seni bangunan Hindu-Jawa seperti Candi, dan tidaklah sulit untuk mendapatkan contoh struktur lantai dinaikkan dengan fundamen masif seperti itu. Selain itu, atap yang bertumpuk dan mengerucut pada satu titik seperti itu juga sangat jelas mengidentifikasikan orisinalitas dari bangunan pra-Islam, misalnya bentuk meru. Bahkan ia berpandangan bahwa atap tumpuk lima Masjid Agung Banten maupun pada lukisan tua Masjid Japara di abad ke-17 adalah kelangsungan dari meru.

Sejarahwan H.J. de Graff menolak pandangan ini. Bahkan secara jelas menentang khususnya teori Stutterheim dalam dua makalah yang dipublikasikannya: 1) tahun1947-1948 berjudul De Oorsprong der Javaanse Moskee, Indonesia 1 (hal.289-307), 2) tahun 1963 berjudul The Origin of the Javanese Mosque, dalam Journal of Southeast Asia History (hal. 1-5). Ia menolak jika bangunan Masjid Jawa berasal dari wantilan atau fighting-cock-court itu. Alasan pertama, bangunan itu adalah profan, jadi tidak mungkin bagi Muslim yang baik mau beribadah dalam bangunan profan seperti itu. Kedua, bangunan itu tidak bertingkat, dan ketiga, bangunan semacam itu hanya ada di Bali yang tidak mungkin bisa memberi pengaruh ke seluruh Indonesia. Ia pun kemudian menyarankan untuk mengaitkan Masjid Jawa dengan bangunan kayu yang ada di India khususnya masjid di Malabar, alasannya batu nisan yang pernah ditemukan di Gresik juga berasal dari India (Gujarat). Selain itu, Masjid Kashmir dari kayu juga perlu dipertimbangkan.

Anjuran untuk merujuk ke bangunan luar (India) dari Graff ditolak oleh arkeologIndonesia Sutjipto Wirjosuparto di tahun 1962-1963 dengan alasan bahwa meskipun atapnya sama (tumpang) namun denah masjid di Malabar itu persegi panjang dantidak dikelilingi oleh air. Ia lalu mengemukakan pandangannya bahwa asal-usul Masjid Jawa itu dari bangunan pendopo di Jawa. Argumennya bahwa denahnya bujursangkar, jika ditambah dinding luar keliling sudah mirip ruangan masjid. Bahkan jika ditambah ruang mihrab di sisi arah kiblat sudah persis sama dengan masjid. Sementara untuk alasan atap tumpang, ia merujuk pada atap bangunan joglo.

Pandangan Wirjosuparto ini masih perlu penjelasan lebih lanjut, sebab nama pendopo sendiri berasal dari bahasa Sanskrit Mandhapa yang erat kaitannya dengan satu bagian pada candi Hindu India. Bahkan sulit juga menjelaskan bahwa filosofi bangunan pendopo bagaimanapun adalah bangunan tambahan. Sementara kalau menjadi masjid, ia bangunan terpenting. Selain itu, hipotesa joglo, juga meragukan. Memang benar atapnya tumpang, tetapi bukan berbentuk piramidal yang menuju pada satu titik di puncaknya.

Yang terakhir, adalah hipotesis dari ilmuwan Perancis Claude Guillot pada tahun1985 dalam artikelnya berjudul La Symbolique de la Mosquee Javanaise (archipel 30, Paris). Ia menyimpulkan bahwa arsitektur Masjid Jawa dipengaruhi secara kuat arsitektur batu di India dan arsitektur kayu di China. Sementara untuk atap tumpuknya diturunkan dari atap cungkup? kuburan Islam di Jawa. Pertanyaannya adalah lebih dulu yang mana apakah masjid atau cungkup? Apalagi dalam tradisi bahwa atap cungkup jarang yang tumpuk kecuali cungkup Sunan Giri.

***

Dari semua itu, tampak bahwa jalan masih panjang untuk sampai pada teori yangpaling meyakinkan tentang asal-usul Masjid Jawa ini. Semua masih memerlukan bukti-bukti yang lebih kongkrit lagi baik bukti arkeologis, sejarah, atau argumentasi dari sudut pandang arsitektur. Meskipun sampai di sini, yangmungkin paling prospektif untuk ditelusuri adalah pandangan yang menyebutkan bahwa Masjid Jawa berasal dari bangunan lokal yang diadaptasikan tadi. Memang masih belum jelas dari bangunan apa karena perlu bukti-bukti lebih lanjut, apakah itu pendopo, atau wantilan atau yang lainnya. Untuk mendapatkan teori yang lengkap tampaknya perlu kerja keras para peneliti dari berbagai bidang ilmu sedikitnya gabungan dari sejarahwan, arkeolog dan arsitek. WaLlahu alam bishawwab.

****

Bambang Setia Budi, Peneliti arsitektur Masjid Nusantara, Staf Pengajar Departemen Arsitektur ITB dan sedang mengambil program doktor di Toyohashi University of Technology, Jepang.
E-mail to: bambangsb@yahoo.com
Website: http://bsb.in

No comments: