Monday, May 15, 2006

MENELUSURI MASJID-MASJID DI PRIANGAN TEMPO DOELOE

oleh Bambang Setia Budi


Tempo Doeloe selalu penting untuk ditelusuri kembali karena menjadi referensi bagi sejarah, pendidikan, penelitian, dan kebudayaan. Tempo doeloe juga selalu menarik karena memberi kenangan sejarah tersendiri bagi setiap warga yang pernah mengalami situasi, kondisi maupun peristiwa pada waktu itu.

Seiring dengan itu, penelusuran artefak budaya khususnya seni bangunan/arsitektur di masa lalu dapat memperluas wawasan tentang karakter bentuk dan elemen-elemen bangunan di masa lalu lengkap dengan pengertiannya masing-masing. Dari sini kita bisa mencermati khususnya unsur-unsur lokal yang menjadi ciri dan identitas suatu daerah/wilayah sebagai ungkapan-ungkapan lokalitas.

Perlunya mengenali lokalitas di masa kini nampaknya menjadi semakin penting dan diperlukan di tengah serbuan peradaban global yang menyeragamkan segala sisi dan bentuk kehidupan. Ini dapat menjadi pijakan bagi setiap pengambilan keputusan yang bisa berpengaruh untuk modernitas masa kini dan yang akan datang khususnya di Tatar Priangan.

Berikut ini akan ditelusuri beberapa arsitektur masjid-masjid di Priangan tempo doeloe khususnya pada tahun 1875 baik sepanjang Groote Postweg di wilayah Priangan Barat dan Tengah seperti Cianjur, Bandung, dan Sumedang, hingga Priangan Timur seperti Garut dan Tasikmalaya.

Jika diamati, nampaknya masjid-masjid di Tatar Priangan tempo doeloe memiliki karakteristik yang khas yang membedakannya dengan daerah-daerah lain. Memang sepintas terdapat banyak kemiripan jika dibandingkan dengan masjid-masjid di sepanjang Pulau Jawa, tetapi jika diteliti lebih jauh akan banyak pula ditemukan perbedaan-perbedaan.

Satu karakteristik yang menarik dari atap masjid-masjid di Priangan tempoe doeloe adalah terlihatnya perbedaan pada proporsi atap dibanding atap-atap masjid tradisional yang lain di Pulau Jawa pada umumnya. Pada atap masjid-masjid di Priangan tempo doeloe terlihat selalu nyungcung dengan sudut kemiringan yang sangat tajam sementara bagian bawah tiap tumpukan atap berbelok ke arah horisontal yang pendek dan berubah secara cepat atau seperti mendadak.

Hal ini berbeda dengan atap-atap tumpang yang banyak berkembang di Jawa Tengah baik pesisir maupun pedalaman di mana atap tumpangnya lebih berbentuk piramid/limasan seperti terdapat pada Masjid Agung Demak (1479), Masjid Agung Surakarta (1757), atau Masjid Agung Yogyakarta (1773).

Bentuk `nyungcung` tersebut mengingatkan kepada kita tentang topi karnaval saat masa kecil mengikuti peringatan tujuh belas Agustusan, atau seperti `daun pincuk` untuk wadah makanan-makanan kecil seperti kacang. Unik, lucu, dan menarik, memang. Nampaknya bentuk dan ekspresi atap masjid seperti ini merupakan salah satu ciri dan karakteristik yang khas di alam Pasundan khususnya di abad ke-19.

Di Sepanjang Groote Postweg: Cianjur-Bandung-Sumedang

Sejak Gubernur Jenderal Hindia Belanda dijabat oleh Herman Willem Daendels, terjadilah perubahan besar-besaran di dalam pola tata ruang fisik pulau Jawa khususnya di wilayah Priangan. Terbangunnya jalan raya yang dikenal sebagai Groote Postweg (jalan raya pos) dari Anyer (pelabuhan kecil di Selat Sunda) hingga Panarukan (ujung Timur Pulau Jawa) sepanjang kurang lebih 1000 kilometer dari tahun 1808-1810 telah menandai dimulainya perubahan besar-besaran tersebut.

Menurut sejarawan Perancis Denys Lombard, alasan Daendels membuat jalan raksasa ini awalnya untuk kepentingan militer dan ekonomi semata. Karena di satu sisi, tidak mungkin menyiapkan pertahanan pantai utara Pulau Jawa secara efektif, karena musuh mungkin mendarat di mana saja, dan mustahil menyongsongnya di sana. Di sisi lain, budidaya kopi tak mungkin berkembang selama biaya angkutan yang sangat besar tak dapat ditekan.

Masih menurut catatan tersebut, dampak `jalan raya` yang juga dikenal sebagai Jalan Raya Daendels itu nampaknya jauh melampaui perkiraan pemrakarsanya. Jalan itu memang tetap tidak memungkinkannya untuk dapat menahan pendaratan Inggris, tetapi mengubah secara besar-besaran kondisi ekonomi dan kehidupan sosial politik di Jawa, termasuk perkembangan pusat-pusat kota di pulau Jawa. Jalan itu juga telah mempersatukan tanah Pasundan dengan tanah Jawa melalui penciptaan sebuah kawasan ekonomi tunggal (Lombard, 2000:139).

Karya tersebut - yang oleh musuh-musuh Daendels sering disamakan dengan pekerjaan `piramida Mesir` - menjadi salah satu infrastruktur terpenting bagi perkembangan kota-kota di Jawa. Kota-kota yang dilalui jalur ini mulai berubah sebagai titik-titik simpul jaringan transportasi dan komunikasi yang sangat efektif untuk kepentingan militer dan ekonomi di Pulau Jawa.

Di Tatar Priangan, pertumbuhan beberapa kota-kotanya jelas banyak juga dipengaruhi oleh terbentuknya Groote Postweg tersebut. Di sepanjang jalur ini tumbuhlah pusat-pusat kota dan pemerintahan di mana dibangun pusat pemerintahan lokal, rumah pejabat tinggi, alun-alun, dan masjid agung. Dari sini jelas, seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kotanya, masjid-masjid agung di Tatar Priangan mulailah dibangun sebagai salah satu sarana pelengkap keberadaan pusat pemerintahan lokal. Nampaknya pembangunan struktur pola tata ruang kota-kota di Priangan ini tetap mempertahankan sebagaimana pola kota-kota lama di Jawa.

Seluruh masjid agung di pulau Jawa, hampir selalu terletak di pusat pemerintahan seperti kasultanan, kraton maupun kabupaten-kabupaten yang dibangun sejak zaman Kasultanan Demak, Mataram Islam, atau hingga Kolonial Belanda. Sedangkan di Tatar Priangan khususnya sepanjang Groote Postweg Cianjur, Bandung, dan Sumedang baru dibangun pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Ketiga kabupaten ini dibentuk dalam era Daendels disebut sebagai wilayah Prefectuur Preanger-Regenschappen yang dilalui Groote Postweg. Menarik jika kita telusuri masjid-masjid agung di Priangan tempo doeloe sepanjang Groote Postweg khususnya dari Cianjur, Bandung, dan Sumedang ini.

Dari Cianjur tempo doeloe, kita akan menemui sebuah masjid di sisi Barat alun-alun kota. Meski tata letak masjid dengan alun-alun masih tetap dipertahankan sampai sekarang, namun bentuk dan wajah masjid saat ini sudah jauh meninggalkan aslinya yang bisa dilihat pada foto Masjid Agung Cianjur di tahun 1875.



Foto Masjid Agung Cianjur pada tahun 1875. Proporsi atap dan bangunan masjid dirancang dengan sangat baik sehingga nampak sangat anggun dan bersahaja dilihat dari arah alun-alun (Sumber: masjid2000.org, KITLV).


Meskipun perkembangan Cianjur sudah diresmikan menjadi sebuah kabupaten setelah ditandai dengan pengakuan VOC terhadap keberadaan Aria Wira Tanu II sebagai Regent (Bupati) Cianjur pada tahun 1691, Masjid Agung Cianjur dan alun-alunnya seperti itu baru dibangun sekitar awal abad ke-19, segera setelah Jalan Raya Pos dibangun.

Menurut cerita dari W. R. van Hoevel yang pernah singgah di Cianjur pada tahun 1847, disebutkan bahwa masjid sudah terletak di sebelah barat alun-alun. Alun-alun sendiri merupakan halaman segi empat yang ditanami pohon beringin, dengan gedung kabupaten di sebelah selatannya dan juga terdapat kediaman residen serta penjara. Cerita ini menunjukkan bahwa Masjid Agung Cianjur jelas telah berdiri sebelum tahun 1847.

Dari gambar Masjid Agung Cianjur tahun 1875 itu dapat kita amati bahwa masjid beratap tumpang tiga dengan bentuk menjulang tinggi ke atas (nyungcung), sementara bagian bawah tiap tumpukan terlihat belok ke arah lebih mendatar karena sudut kemiringannya lebih rendah. Tiap bagian atap terlihat adanya bukaan sebagai pemisah antar tumpukan atap yang terbuka. Dari sini, bukaan tersebut juga jelas menjadi peralihan yang menarik antara masing-masing bentuk atap tumpangnya.

Bukaan itu juga dimaksudkan untuk ventilasi udara dan sekaligus cahaya yang memberi kenyamanan serta penerangan alami ruang dalam. Solusi ini nampaknya sangat tepat jika dikaitkan dengan pertimbangan kondisi alam setempat yang tropis panas dan lembab.

Di sisi lain proporsi atap dan juga bangunannya terlihat dirancang dengan sangat baik, sehingga tinggi semampai, anggun, berwibawa dan enak dipandang dari arah alun-alun. Perhatikan pula adanya kolom dua berjajar di bagian depan masjid, nampaknya pengaruh seni bangunan kolonial Belanda sudah terlihat dalam wujud rancangan fisiknya. Kolom berderet di bagian depan masjid seperti itu jarang terdapat pada masjid-masjid tradisional di Jawa pada umumnya.

Setelah Cianjur, bila kita menyusuri Groote Postweg ke arah timur, kita akan menjumpai Kota Bandung tempo doeloe dengan pusat pemerintahan lokal yang baru dipindahkan sesaat setelah pembangunan Jalan Raya Pos tersebut. Pusat pemerintahan lokal ini ditandai dengan adanya alun-alun dan masjid agung, Bale Bandung, rumah pejabat tinggi, dan kemudian penjara kolonial. Jalan Raya Pos ini sekarang telah diganti nama menjadi Jalan Asia Afrika.

Pusat pemerintahan tradisional Bandung tempoe doeloe sebelumnya tidak dilalui Jalan Raya Pos, kemudian terpaksa berpindah agar mendekati dan dilalui jalan raya tersebut. Ini menunjukkan Kota Bandung lahir dan berkembang jelas tidak melalui kekuatan lokal pribumi tetapi banyak dipengaruhi oleh kekuatan politik kolonial Hindia-Belanda. Berpindahnya pusat pemerintahan tradisional Kota Bandung yang tadinya berlokasi di Dayeuh Kolot (kurang lebih 12 km di selatan Jalur Groote Postweg) hingga mendekati dan dilalui jalan raya, merupakan instruksi pemerintah Kolonial Belanda yang menandai kuatnya pengaruh tersebut.

Akhirnya perkembangan Kabupaten Bandung (istilah saat itu) baru dimulai pada awal abad ke-19 (tahun 1810) yang diawali pembangunan pusat pemerintahan lokal, rumah tinggal pejabat tinggi, alun-alun dan masjid agung yang dilalui jalan raya tersebut. Pembangunan pusat pemerintahan lokal ini berlangsung hingga memasuki tahun 1820.



Foto Masjid Agung Bandung pada tahun 1875. Terkenal dengan sebutan Bale Nyungcung hingga pertengahan abad ke-20 (Sumber: masjid2000.org, KITLV).



Dari gambar itu dengan jelas dapat kita amati bahwa Masjid Agung Bandung di tahun 1875 beratap tumpang tiga dengan bentuk atap menjulang tinggi ke atas (nyungcung), sementara bagian bawah tiap tumpukan atap terlihat belok ke arah lebih mendatar karena sudut kemiringan atapnya lebih rendah. Bentuk seperti ini sangat dikenal di dalam benak warga Kota Bandung tempo doeloe dengan istilah Bale Nyungcung.

Bentuk dan ekspresi atap masjid seperti itu sebenarnya tidak hanya terjadi pada tahun 1875 saja, tetapi dari sejak 1850-an atau bahkan sebelumnya yang terlihat dari litho pelukis Inggris W. Spreat yang kemudian tetap dipertahankan hingga sebelum 1955 meski dengan ekspresi dan proporsi yang sedikit berbeda-beda (Lihat lengkapnya dalam tulisan saya berjudul `Tinjauan Arsitektur Masjid Agung Bandung dari Masa ke Masa`, H.U. Pikiran Rakyat, Rabu 3 Januari 2001).

Tiap bagian atap juga memperlihatkan adanya bukaan sebagai pemisah antar tumpukan atap yang terbuka, dan sekaligus menjadi peralihan yang menarik antara masing-masing bentuk atap tumpangnya. Dan pada bagian depan dan samping kiri dan kanan masjid sangat jelas memperlihatkan deretan kolom yang merupakan pengaruh seni bangunan `neo classic` Eropa.

Selanjutnya, jika terus ditelusuri Groote Postweg dari Bandung ke arah timur, meski harus menyusuri jalan yang berat dan berliku-liku maka akan dijumpai lagi sebuah Kabupaten Sumedang. Konon pembuatan Groote Postweg ke arah wilayah ini memang paling berat (selain kawasan Puncak) yang banyak memakan korban penduduk pribumi. Sehingga menurut catatan sejarah sempat menimbulkan penentangan yang dipimpin oleh Bupati Sumedang pada saat itu Pangeran Kornel.



Foto Masjid Agung Sumedang pada tahun 1875. Dengan latar pegunungan, tampaknya atap `nyungcung` dengan bagian bawah tiap tumpukan atap bersudut lebih datar seperti ini merupakan ciri khas pada masjid-masjid Priangan tempo doeloe tahun 1875 (Sumber: masjid2000.org, KITLV).



Dari segi bentuk dan ekspresi atap serta bangunan Masjid Agung Sumedang tahun 1875 ini jelas menunjukkan ciri-ciri atau karakteristik yang sama dengan di Masjid Agung Cianjur tahun 1875 maupun di Masjid Agung Bandung tahun 1875, yakni atap tajuk tumpang tiga `nyungcung` dengan bagian bawah masing-masing tumpukan bersudut lebih datar. Kesamaan-kesamaan lainnya juga dapat dilihat pada bukaan/jendela antar tiap tumpukan atap sebagai ventilasi udara dan cahaya, dan deretan tiang di depan atau samping bangunan masjid. Begitu pula secara tata letak, masjid memiliki kesamaan yakni di sebelah barat alun-alun kabupaten.

Di Priangan Timur: Dari Garut ke Tasikmalaya

Jika di atas telah kita telusuri masjid-masjid Priangan tempo doeloe (Barat dan Tengah) sepanjang Groote Postweg, di sini akan kita lihat dua masjid lagi yang tidak berada di sepanjang jalur tersebut, tetapi di wilayah Priangan Timur yakni Kabupaten Garut dan Tasikmalaya. Dari masanya, dua masjid di dua kabupaten ini berdiri hampir bersamaan dengan berdirinya masjid-masjid di sepanjang Jalan Raya Pos yakni di awal abad ke-19.

Di Garut tempo doeloe kita akan menemukan masjid agung yang telah dibangun pada awal abad ke-19. Pembangunan Masjid Agung Garut ini sangat erat kaitannya dengan pembentukan Kabupaten Garut. Menurut catatan sejarah, pada tanggal 15 September 1813 diletakkanlah batu pertama pembangunan sarana dan prasarana ibukota, yaitu tempat tinggal dan tempat kerja bupati, pendopo, kantor asisten residen, masjid, penjara dan alun-alun. Di depan pendopo terdapat babancong, tempat untuk berpidato bupati atau para pejabat pemerintah lainnya di depan publik. Setelah tempat-tempat ini selesai dibangun, ibukota Kabupaten Limbangan pindah dari Suci ke Garut sekitar 1821.

Masjid Agung Garut juga terletak di sebelah barat alun-alun kota. Masjid agung menjadi masjid utama di kabupaten tersebut dan segala kegiatan keagamaan berpusat di sana yang dipimpin oleh penghulu. Tempo doeloe antara masjid dan alun-alun dipisahkan dengan jalan alun-alun Barat. Sekarang jalan ini dihilangkan sehingga masjid menyatu dengan alun-alun.

Masjid Agung Garut di tahun 1875 beratap tajuk tumpang tiga (nyungcung), dengan bagian bawah tiap tumpukan atap bersudut lebih datar. Ini sangat mirip dengan masjid-masjid di Priangan sepanjang Groote Postweg pada waktu yang sama di atas. Memang terlihat sedikit perbedaan, yakni pada proporsi atapnya yang terlihat lebih besar atau tinggi. Kesamaan lainnya juga dapat diamati pada deretan tiang-tiang/kolom di depan atau sebelah kiri dan kanan masjid.



Foto Masjid Agung Garut pada tahun 1875. Memiliki kesamaan bentuk dan ekspresi atap dengan masjid-masjid di Priangan tempo doeloe lainnya meski sedikit memperlihatkan perbedaan proporsi (Sumber: masjid2000.org, KITLV).



Setelah Garut, di Priangan Timur ini akan kita temui masjid agung yang dibangun pada awal abad ke-19 dan juga menandai tumbuh dan berkembangnya Kabupaten Tasikmalaya, yakni Masjid Agung Manonjaya. Masjid menjadi bukti sejarah adanya kabupaten Sukapura yang berarti pula bukti sejarah perkembangan Tasikmalaya sekarang. Masjid dari sejak dulunya telah dipakai sebagai tetenger untuk mengembangkan tata kota Harjawinangun. R. Memed Sastra Hadiprawira dalam Volk Almanak Soenda Parahyangan tanggal 12 November 1931 menyebutkan bahwa sewaktu pemindahan ibukota ke Harjawinangun, sebelumnya memang sudah ada masjid kecil dan bahkan oleh Raden Tumenggung Danuningrat ketika merencanakan tata ruang kota Harjawinangun berpedoman pada masjid yang sudah ada tersebut. Dalam konteks ini, keberadaan masjid jelas merupakan satu kesatuan dengan pembangunan tata ruang kabupaten Sukapura pada waktu itu.

Pada tahun 1837, Raden Tumenggung Danuningrat yang menggantikan Raden Demang Anggadipa II sebagai Bupati Sukapura memperbesar masjid dan mengembangkan alun-alun. Masjid dibangun dengan atap tumpang yang bersusun tiga yang pada bagian atas/ujung atap diberi kemuncak (mustaka), dan empat buah tiang utama sebagai penyangga atapnya.

Masjid Agung Manonjaya di tahun 1875 tetap beratap tajuk tumpang tiga (nyungcung) dengan bagian bawah tiap tumpukan memiliki sudut yang lebih datar. Dan antara tumpukan atap juga terdapat bukaan sebagai ventilasi udara dan cahaya dan sekaligus peralihan antara tumpukan atap. Yang terakhir, kesamaan masih juga dimiliki pada terdapatnya deretan tiang/kolom baik di depan, atau samping kanan dan kiri masjid. Nampaknya inilah ciri-ciri umum masjid-masjid di wilayah Priangan tempo doeloe tahun 1875.



Foto Masjid Agung Manonjaya–Tasikmalaya pada tahun 1875. Perhatikan pagar bermotif sisik ikan yang pernah populer dan menjadi pagar-pagar khas di penjuru kota/kabupaten Priangan tempo doeloe (Sumber: masjid2000.org, KITLV).



Sebagai catatan terakhir dari penelusuran, adalah terdapatnya kesamaan penggunaan pagar bermotif sisik ikan, terutama dan yang paling jelas adalah pada Masjid Agung Manonjaya. Nampaknya pagar dengan motif seperti itu sangat populer di wilayah Priangan tempoe doeloe di abad ke-19. Pagar bermotif seperti inilah yang kemudian diambil oleh arsitek terkenal Belanda Henry Maclaine Pont sebagai titik tolak merencanakan pagar-pagar pusat-pusat kota/kabupaten di Priangan tempo doeloe termasuk masjid agung, Bale Bandung dan sekitarnya di tahun 1930-an.

Henry Maclaine Pont memang salah seorang arsitek Belanda (selain Schoemaker dan Karsten) yang dikenal sangat menghargai potensi dan budaya lokal. Mereka (Pont, Schoemaker, dan Karsten) berusaha keras menyatukan pandangan arsitektur yang memperhatikan potensi budaya setempat/lokal, dengan perhatiannya yang sangat teliti terhadap detail-detail karya rancang bangunnya. Nampaknya ini merupakan satu pelajaran berharga yang penting khususnya bagi para arsitek/perancang bangunan maupun para pengambil keputusan yang akan berdampak bagi seluruh warga masyarakat secara umum dalam membangun modernitas kita saat ini.

****

Penulis adalah Staf Pengajar Departemen Arsitektur ITB

published @ Koran Pikiran Rakyat, December 24, 2001

No comments: