Thursday, March 30, 2006

MASJID SAID NAUM, UNGKAPAN LOKALITAS DALAM MASJID MODERN

oleh Bambang Setia Budi


SUATU rancangan masjid yang sangat berhasil dalam upaya menghadirkan kosa bentuk masjid tradisional Jawa ke dalam ungkapan-ungkapan modern adalah Masjid Said Naum yang terletak di dalam area kepadatan tinggi di Kebon Kacang, Jakarta.

Masjid yang dirancang arsitek Adhi Moersid dan tim ini jelas memperlihatkan usaha serius dalam mengakomodasi dua kepentingan berbeda yaitu merepresentasikan karakter arsitektur lokal/tradisional dengan pendekatan modern.Wajar jika rancangan ini kemudian memenangkan kompetisi yang diadakan Pemda DKI pada tahun 1975 di mana kriteria utamanya adalah harus merepresentasikan karakter arsitektur tradisional, cocok dengan lingkungan sekitar, dan menggunakan material lokal. Atas alasan itu pulalah bangunan masjid yang selesai pembangunannya tahun 1977 ini mendapatkan penghargaan Honourable Mention dari Aga Khan Award for Architecture pada tahun 1986.



Masjid Said Naum -Penampilan masjid didominasi oleh atap yang mencoba menggubah kembali atap tumpang atau Meru tradisional ke dalam perwujudan yang baru. (Sumber: masjid2000.org/N. Luthfi).



Menurut catatan tertulis dari sang arsitek, pada waktu menggarap rancangan ini sebenarnya tidak ada pretensi mengupas kemudian merumuskan bagaimana tradisi dan unsur arsitektur tradisional dapat dimasukkan ke dalam rancangan dengan mengikuti aturan atau teori tertentu. Namun, yang dicoba dilakukan adalah mencarikan landasan untuk memberikan makna pada ungkapan arsitekturnya baik yang teraga maupun yang tidak teraga.

Salah satu landasan perancangannya adalah keyakinan bahwa Islam merupakan ajaran atau ideologi yang ke mana pun ia datang tidak secara langsung membawa atau memberikan bentuk budaya berupa fisik. Di mana pun Islam datang, ia siap memakai berbagai bentuk lokal/tradisional untuk dijadikan identitas fisiknya. Dari sini kita menemukan banyak bangunan-bangunan tradisional yang dengan mudah dapat berubah fungsinya menjadi masjid di berbagai masyarakat yang telah memeluk agama Islam.

Arsitektur Islam dapat juga dinyatakan sebagai manifestasi fisik dari adaptasi yang harmonis antara ajaran Islam dengan bentuk-bentuk lokal. Oleh karena itu, Arsitektur Islam bisa amat kaya akan ragam dan jenisnya sebagaimana yang diungkapkan arsitek Muslim Turki Dogan Kuban bahwa tidak ada homogenitas dan kesatuan dalam bentuk dari apa yang disebut Arsitektur Islam. Konsep inilah yang dipakai sang arsitek sebagai fokus sentral dalam mendesain masjid bernuansa modern di atas tanah wakaf warga keturunan Mesir bernama Said Naum.

***

DARI segi bentuk, gubahan pertama yang menarik perhatian adalah desain atap masjid. Karena arsitektur atap merupakan salah satu ciri menonjol dalam arsitektur tradisional di Indonesia/Jawa, dapatlah dimengerti jika desain ini mencoba mengambil kembali karakteristik atap masjid tradisional, namun direvitalisasi.

Penampilan masjid didominasi atap yang mencoba menggubah kembali atap tumpang atau meru tradisional yang sering ditampilkan dalam bangunan sakral di Jawa atau Bali, ke dalam perwujudan baru. Berbeda pada bangunan tradisional, bagian atas diputar 90 derajat dari bentuk massa bangunan masjidnya. Hal ini jelas memperlihatkan usaha menarik dalam menampilkan gagasan baru untuk merevitalisasi bentuk atap lokal/tradisional tersebut. Bentuk seperti itu tampaknya berkembang lebih lanjut di kemudian hari pada bangunan masjid-masjid modern lainnya di Indonesia seperti Masjid Al-Markaz Al-Islami di Makassar dan Masjid Pusdai (Islamic Center) di Bandung.










Cahaya alami - Pencahayaan alami menembus masuk ke dalam ruang shalat memberi suasana kenyamanan bagi setiap pengguna. Sementara pada bagian atas terlihat balok-balok struktur rangka atap yang menjadi `self bearing structure` dari sistem struktur atap tradisional sengaja diekspose. (Sumber: masjid2000/N. Luthfi)



Bentuk atap tersebut sebenarnya juga memperlihatkan kesamaan profil dengan tipe atap tumpang dengan saka guru. Biasanya ada empat saka guru di tengah ruang shalat untuk menyangga atap kedua maupun ketiganya. Namun, empat saka guru tersebut di dalam rancangan ini dihilangkan agar didapat pandangan secara jelas ke arah mihrab dan tersedia ruang tempat shalat dengan bebas.

Konsekuensi penghilangan kolom-kolom saka guru di tengah-tengah ruangan tersebut adalah diperlukannya struktur bentang cukup lebar. Tampaknya pilihan struktur rangka baja telah dipakai untuk menggantikan struktur kayu yang biasa pada masjid tradisional. Namun yang sangat menarik di sini adalah dikembangkannya kembali konsep sistem atap lama pada struktur rangka atap yang rigid sebagai self bearing structure untuk menutup ruang dengan bentang lebar. Desain ini dengan jelas memeragakan pemanfaatan teknologi yang diadaptasikan dengan tradisi lokal.

Pencahayaan alami yang masuk ke ruang shalat memberi suasana nyaman bagi setiap pengguna. Sementara pada bagian atas terlihat balok struktur rangka atap yang menjadi self bearing structure dari sistem struktur atap tradisional sengaja diekspos.

***

YANG juga terlihat sangat menonjol dalam rancangan masjid yang berdenah segi empat simetris ini adalah kenyamanan ruang-ruangnya, yang terjadi sebab adanya bukaan di semua sisi dindingnya sehingga tercapai penghawaan silang dengan baik. Di setiap sisi dinding masjid terdapat lima jendela kayu lengkung yang lebar dengan beberapa di antaranya dipakai sebagai pintu. Uniknya bukaan-bukaan ini tidak menggunakan daun jendela/pintu tetapi deretan kayu berukir/berulir berjarak tertentu dengan arah vertikal yang mengisi luas jendela tersebut. Model jendela seperti ini mengingatkan pada rumah-rumah tradisional Betawi maupun masjid-masjid lama di Jakarta yang dibangun sejak abad ke-18.









Bukaan - Bukaan tanpa daun jendela pada setiap sisi bangunan seperti ini menjadikan angin bebas bertiup ke dalam bangunan sehingga tercapai penghawaan silang. Nampaknya ini merupakan salah satu kunci kenyamanan karena mengadaptasi kondisi iklim lokal. (Sumber: masjid2000/N. Luthfi).



Bukaan tanpa daun jendela pada setiap sisi bangunan seperti ini menjadikan angin bebas bertiup ke dalam bangunan sehingga tercapai penghawaan silang. Nampaknya ini merupakan salah satu kunci kenyamanan karena mengadaptasi kondisi iklim lokal.

Penggunaan sirkulasi yang mudah dan jelas juga memberi kenyamanan tersendiri dari bangunan berkarakter publik ini. Selain itu, penggunaan bentuk atap juga sangat cocok untuk bangunan di tempat yang memiliki curah hujan tinggi, bahkan adanya selasar yang lebar pada semua sisi yang dapat melindungi ruang dalam/interior dari hujan dan silau akibat panas matahari luar semakin menambah kenyamanan ruang-ruang masjid.

Pencahayaan alami yang dramatis dan sayup-sayup lembut-yang memasuki ruangan shalat baik dari samping maupun dari lubang cahaya dari pertemuan bidang miring atap yang diputar dengan atap di bawahnya-sangatlah mendukung suasana kekhusyukan. Sementara lampu di tengah langit-langit atap sangat serasi dengan geometri yang memberikan cahaya iluminasi. Bagaimanapun, efek pencahayaan ini memberikan kenyamanan sangat bagi setiap pengguna ketika berada di dalam masjid.

Area di luar bangunan dirancang dengan berbagai level dengan tanaman berbeda pada masing-masing tempat. Pepohonan di sekeliling batas dan sebagai pengisi antarbaris paving lantai menyediakan bayangan dan atmosfer yang relatif sejuk yang mengalir secara silang ke dalam bangunan. Tata letak bangunan dan penataan lanskap tersebut jelas hendak menjadikan area yang tenang, sejuk, dan damai bagai oase di tengah hiruk-pikuk area urban Kota Jakarta. Ini menunjukkan desain bangunan yang sangat adaptif dengan iklim lokal.

Dengan demikian, baik penampilan masjid dalam ruang dan bentuk, tata letak dan penataan lanskap, tampaknya sangat mendekati ideal. Kehadirannya begitu nyaman bagi kegiatan ritual ibadah seperti shalat, itikaf (berdiam diri di dalam masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah), perenungan hingga muhasabah (mengevaluasi diri).

Ini semua tidak lepas dari kuatnya ungkapan-ungkapan karakter lokal atau lokalitas dalam rancangan masjid baik secara keseluruhan maupun detail-detailnya. Ungkapan lokalitas memang banyak diolah dan menjadi ciri penting dalam rancangan masjid modern ini. Bahkan, materialnya menunjukkan material lokal kecuali bahan baja untuk struktur atap. Ini yang tampaknya patut menjadi contoh dan perlu dikembangkan perancang/arsitek untuk bangunan masjid khususnya dan bangunan lain pada umumnya di negeri kita tercinta, Indonesia.

****

Penulis adalah Staf Pengajar Departemen Arsitektur ITB.

published @Kompas, November 04, 2001

Monday, March 20, 2006

INT'L JOURNAL PAPER - PART 1

Do you wanna read my paper? This paper aims at critically reviewing a number of theories and previous studies on the origin of the Javanese Mosque. The paper was published by Journal of Asian Architecture and Building Engineering (JAABE Vol.4. No.1, May 2004), a refereed international journal, serving researchers in academic and research organizations and all practitioners in the building sector.

Please click this link
http://www.eaina.org/eainaN/Japan/Literature/doc_rdoc_ja.asp?catvalue=3&returnVal=RDJR&page=1&dn=48301


A Study on the History and Development of the Javanese Mosque
Part 1: A Review of Theories on the Origin of the Javanese Mosque



Bambang Setia Budi

Doctoral Candidate, Department of Architecture and Civil Engineering,
Toyohashi University of Technology, Japan


Abstract

This paper aims at critically reviewing a number of theories and previous studies on the origin of the Javanese Mosque. Some theories have been put forward by Dutch archaeologist and historians since the 1930s, and were subject to debate until 1960s. Beyond this time, the debate was continued by an Indonesian archaeologist in 1962/1963 and a French scholar in 1985. All of these theories will be reviewed as there are some doubts and unclear parts. The problems of each theory will be explained and discussed. Based on this review and critique, the most reliable theory will be asserted with new arguments and some evidence from Javanese temple reliefs.

Keywords: Southeast Asia; origin; Javanese mosque; Dutch; tiered-roof

ASAL USUL MASJID JAWA

(Akhirnya ketemu, ini nih edisi aslinya ;-)

Oleh Bambang Setia Budi

Pada tahun 1947, peneliti Belanda G.F. Pijper telah menyebutkan bahwa tipe bentuk masjid di Indonesia berasal dari Masjid Jawa. Menurutnya ada enam karakter umum tipe Masjid Jawa itu yakni: 1) berdenah bujur sangkar, 2) lantainya langsung berada pada fundamen yang masif atau tidak memiliki kolong lantai sebagaimana rumah-rumah vernakular Indonesia atau tempat ibadah berukuran kecil seperti langgar (Jawa), tajug (Sunda), dan bale (Banten), 3) memiliki atap tumpang dari dua hingga lima tumpukan yang mengerucut ke satu titik di puncaknya, 4) mempunyai ruang tambahan pada sebelah barat atau baratlaut untuk mihrab, 5) mempunyai beranda baik pada sebelah depan (timur) atau samping yang biasa disebut surambi atau siambi (Jawa) atau tepas masjid (Sunda), dan 6) memiliki ruang terbuka yang mengitari masjid yang dikelilingi pagar pembatas dengan satu pintu masuknya di bagian muka sebelah timur.

Beberapa ilmuwan lainnya juga telah mendiskripsikan karakteristik Masjid Jawa ini. Gambaran secara umum terlihat hampir sama, hanya terdapat perbedaan dari cara mengungkapkan atau cara pandang masing-masing. Yang jelas, ciri bentuk Masjid Jawa seperti itu sejatinya sangat unik dan menunjukkan perbedaan yang sangat mencolok jika dibanding dengan bentuk-bentuk arsitektur masjid di berbagai belahan dunia lainnya.

Pernyataan Pijper bahwa tipe bentuk masjid di Indonesia berasal dari Masjid Jawa tadi tampaknya juga diikuti oleh hampir semua kalangan termasuk para ilmuwan atau akademisi hingga sekarang. Bahkan ada pula yang menyebutkan bahwa pengaruh bentuk arsitektur Masjid Jawa ini bukan hanya pada tipe masjid di Indonesia, namun hingga masjid-masjid di seluruh Asia Tenggara, antara lain Malaysia, Thailand (Patani), dan Philipina (Mindanau).

Hal ini dinyatakan juga dalam tulisan tentang masjid berjudul South-East Asia oleh akademisi dari Australia Hugh O`neill (1994) dalam buku The Mosque History Architectural Development and Regional Diversity, yang diedit oleh Martin Frishman dan Hasan Uddin Khan. Di sana ditulis "From whichever direction elucidation of the genesis of its form is sought, the South-East Asian Mosque lies within the strong Java-centred tradition of tall, multi-roofed, open halls with timber columns as structural supports" (lihat hal. 227).

Sampai pada titik ini banyak kalangan tampak berpandangan sama. Namun ketika dihadapkan pada pertanyaan dari mana sebenarnya asal-usul bentuk Masjid Jawa yang unik dan khas ini? Tampaknya perbedaan dan perdebatan yang rumit tak terelakkan hingga saat ini. Berikut akan saya jelaskan rangkuman silang pendapat tentang asal-usul Masjid Jawa dari para scholars itu, lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

***

Pendapat yang paling awal datang dari seorang ilmuwan Belanda bernama K. Hidding di tahun 1933 dalam tulisannya berjudul Het bergemotief in eenige godsdienstige verschinjnselen op Java. Di sini, ia menggagas kemungkinan kaitan antara bentuk atap yang tinggi menjulang pada masjid dengan bentuk gunung yang disucikan. Asumsi Hidding ini juga mendapat dukungan sejarahwan terkenal Belanda H.J. de Graff dalam tulisannya: "De Oorsprong der Javaanse Moskee" di tahun 1947-1948. Bahkan di sini Graff menegaskan bahwa bentuk atap masjid seperti itu memang diturunkan dari bentuk gunung, karena ia merupakan suatu bentuk yang suci dan sakral dalam tradisi Hindu-Jawa pada waktu itu.

Sementara peneliti lainnya bernama J.P. Rouffer mencoba mengargumentasikan pandangan religius bahwa Masjid Jawa muncul dari sebuah bangunan Budha yang disebut dalam Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca (keluaran H. Kern, 1919, hal. 254; Graff, 1947-1948, hal. 290). Spekulasi Rouffer ini mungkin memang dilengkapi berbagai argumen religi, namun tampak sama sekali tidak mempertimbangkan segi fisik bangunan sehingga dasar hipotesisnya lemah.

Baik Hidding maupun Rouffer, jelas tidak mempertimbangkan aspek fisik khususnya teknik dan konstruksi bangunan, mereka hanya menginterpretasikan bentuk umum dikaitkan dengan pandangan religi. Padahal semua pandangan dan interpretasi metafisik saja tidaklah cukup untuk menjelaskan keterkaitan segi-segi fisik/arsitektural sebuah bangunan. Selain kurang rasional, pandangan seperti ini juga sering absurd, sehingga tidak mudah untuk diterima begitu saja oleh banyak kalangan khususnya sejarahwan arsitek.

Di tahun 1935, seorang arkeolog Belanda bernama W.F. Stutterheim dalam bukunya berjudul Leerboek der Indische cultuuregeschiedenis, Vol. 3, De Islam en zijnkomst in den archipel, menyebutkan bahwa Masjid Jawa itu diturunkan dari bentuk bangunan besar komunitas, yang ia sebut sebagai hanenklopbaan seperti kalau di Bali disebut wantilan (tempat sabung ayam) yang kini masih bisa ditemukan. Sayangnya teori ini tidak didukung dengan argumen lebih lanjut.

Pandangan yang disertai argumen cukup meyakinkan mungkin dari Pijper dalam makalahnya berjudul The Minaret in Java di tahun 1947. Setelah menyebut karakteristik Masjid Jawa, ia juga menyimpulkan bahwa bentuk itu tidak mungkin berasal dari struktur luar yang dibawa ke negeri ini melalui para pendakwah dari luar negeri. Ia yakin bahwa ada suatu bentuk lokal dan asli yang diadaptasikan sesuai kebutuhannya hingga menjadi bentuk bangunan ibadah. Argumennya yakni denah bujur sangkar sudah sangat lazim digunakan pada struktur-struktur seni bangunan Hindu-Jawa seperti Candi, dan tidaklah sulit untuk mendapatkan contoh struktur lantai dinaikkan dengan fundamen masif seperti itu. Selain itu, atap yang bertumpuk dan mengerucut pada satu titik seperti itu juga sangat jelas mengidentifikasikan orisinalitas dari bangunan pra-Islam, misalnya bentuk meru. Bahkan ia berpandangan bahwa atap tumpuk lima Masjid Agung Banten maupun pada lukisan tua Masjid Japara di abad ke-17 adalah kelangsungan dari meru.

Sejarahwan H.J. de Graff menolak pandangan ini. Bahkan secara jelas menentang khususnya teori Stutterheim dalam dua makalah yang dipublikasikannya: 1) tahun1947-1948 berjudul De Oorsprong der Javaanse Moskee, Indonesia 1 (hal.289-307), 2) tahun 1963 berjudul The Origin of the Javanese Mosque, dalam Journal of Southeast Asia History (hal. 1-5). Ia menolak jika bangunan Masjid Jawa berasal dari wantilan atau fighting-cock-court itu. Alasan pertama, bangunan itu adalah profan, jadi tidak mungkin bagi Muslim yang baik mau beribadah dalam bangunan profan seperti itu. Kedua, bangunan itu tidak bertingkat, dan ketiga, bangunan semacam itu hanya ada di Bali yang tidak mungkin bisa memberi pengaruh ke seluruh Indonesia. Ia pun kemudian menyarankan untuk mengaitkan Masjid Jawa dengan bangunan kayu yang ada di India khususnya masjid di Malabar, alasannya batu nisan yang pernah ditemukan di Gresik juga berasal dari India (Gujarat). Selain itu, Masjid Kashmir dari kayu juga perlu dipertimbangkan.

Anjuran untuk merujuk ke bangunan luar (India) dari Graff ditolak oleh arkeologIndonesia Sutjipto Wirjosuparto di tahun 1962-1963 dengan alasan bahwa meskipun atapnya sama (tumpang) namun denah masjid di Malabar itu persegi panjang dantidak dikelilingi oleh air. Ia lalu mengemukakan pandangannya bahwa asal-usul Masjid Jawa itu dari bangunan pendopo di Jawa. Argumennya bahwa denahnya bujursangkar, jika ditambah dinding luar keliling sudah mirip ruangan masjid. Bahkan jika ditambah ruang mihrab di sisi arah kiblat sudah persis sama dengan masjid. Sementara untuk alasan atap tumpang, ia merujuk pada atap bangunan joglo.

Pandangan Wirjosuparto ini masih perlu penjelasan lebih lanjut, sebab nama pendopo sendiri berasal dari bahasa Sanskrit Mandhapa yang erat kaitannya dengan satu bagian pada candi Hindu India. Bahkan sulit juga menjelaskan bahwa filosofi bangunan pendopo bagaimanapun adalah bangunan tambahan. Sementara kalau menjadi masjid, ia bangunan terpenting. Selain itu, hipotesa joglo, juga meragukan. Memang benar atapnya tumpang, tetapi bukan berbentuk piramidal yang menuju pada satu titik di puncaknya.

Yang terakhir, adalah hipotesis dari ilmuwan Perancis Claude Guillot pada tahun1985 dalam artikelnya berjudul La Symbolique de la Mosquee Javanaise (archipel 30, Paris). Ia menyimpulkan bahwa arsitektur Masjid Jawa dipengaruhi secara kuat arsitektur batu di India dan arsitektur kayu di China. Sementara untuk atap tumpuknya diturunkan dari atap cungkup? kuburan Islam di Jawa. Pertanyaannya adalah lebih dulu yang mana apakah masjid atau cungkup? Apalagi dalam tradisi bahwa atap cungkup jarang yang tumpuk kecuali cungkup Sunan Giri.

***

Dari semua itu, tampak bahwa jalan masih panjang untuk sampai pada teori yangpaling meyakinkan tentang asal-usul Masjid Jawa ini. Semua masih memerlukan bukti-bukti yang lebih kongkrit lagi baik bukti arkeologis, sejarah, atau argumentasi dari sudut pandang arsitektur. Meskipun sampai di sini, yangmungkin paling prospektif untuk ditelusuri adalah pandangan yang menyebutkan bahwa Masjid Jawa berasal dari bangunan lokal yang diadaptasikan tadi. Memang masih belum jelas dari bangunan apa karena perlu bukti-bukti lebih lanjut, apakah itu pendopo, atau wantilan atau yang lainnya. Untuk mendapatkan teori yang lengkap tampaknya perlu kerja keras para peneliti dari berbagai bidang ilmu sedikitnya gabungan dari sejarahwan, arkeolog dan arsitek. WaLlahu alam bishawwab.

****

Bambang Setia Budi, Peneliti arsitektur Masjid Nusantara, Staf Pengajar Departemen Arsitektur ITB dan sedang mengambil program doktor di Toyohashi University of Technology, Jepang.
E-mail to: bambangsb@yahoo.com
Website: http://bsb.in

ARTIKEL DAN FILM DOKUMENTER

Salam,
Saya punya artikel cuplikan singkat dari aslinya paper jurnal yang cukup panjang. Bagian kecil itu sudah dalam bhs Indonesia dan dimuat di majalah Gatra edisi khusus lebaran tahun 2005 lalu. Judul aslinya Asal-Usul Masjid Jawa dan setelah diedit menjadi "Jalan Panjang Rumah Tuhan", mungkin biar lebih berkesan popular ya ;-). Artikel itu hanya mereview secara kritis teori atau thesis para scholars yang telah ada sebelumnya tentang asal-usul Masjid Jawa. Silahkan lihat di majalah Gatra, kalau edisi online-nya tentu anda mesti membeli Gobang ;-). Artikel juga sudah diindex oleh website-nya ANU Library (Australian National University).

http://anulib.anu.edu.au/sasi/new/search_detailed.php?sn=7&in=5387&an=87228

Kalau tulisan aslinya, nanti saya carikan dulu ya, nantikan dalam postingan lanjutan. Karena sekarang saya mau menceritakan ada film dokumenter cukup menarik tentang arsitektur Islam dari berbagai wilayah di seluruh dunia. Lumayan seperti ziarah arsitektur dan peradaban Islam tempo lalu secara gratis plus dipandu sama tour-guide yang sangat bersemangat ;-). Kelebihan film ini adalah pengambilan gambar yang sangat baik, informasi yang cukup akurat, dan kelihatannya cocok untuk publik atau mahasiswa yang baru mau belajar Islamic Architecture or Art.

http://video.google.com/videoplay?docid=-8018912082115778034&q=islamic+art

Ok selamat menikmati.