Friday, June 23, 2006

PENGHEMATAN ENERGI DALAM SEMUA ASPEK KEHIDUPAN

24-Nov-2005 07:32

Last modified: 24/11/05

GERAKAN hemat energi mau tak mau harus segera direalisasikan dalam semua aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Sebab, harga bahan bakar minyak (BBM) yang makin melambung tinggi, sangat potensial menambah jumlah rakyat miskin di negeri ini. Karena itu, penggunaan batu bara kini digalakkan. Yang penting, efek negatif penggunaan energi itu harus ditekan seminimal mungkin agar tujuan penghematan itu tercapai.


Membangun Kota Hemat Energi

PENGHEMATAN energi sejatinya hanya akan berhasil jika manajemen perkotaan memang dirancang sebagai kota hemat energi. Manajemen kota hemat energi akan dengan sendirinya melahirkan budaya dan kebiasaan hemat energi.

Demikian dikatakan pakar tata kota dari Institut Teknologi Bandung, Bambang Setia Budi yang tak lama lagi akan meraih gelar Doktor Arsitektur dari Toyohashi University of Technology, Jepang.

Menurut Bambang, di banyak negara maju, upaya menghemat energi sudah diawali sejak merancang sistem penataan kota. Menurut Bambang, sedikitnya ada tiga persoalan kota yang sangat penting untuk diperhatikan dalam membangun kota hemat energi.

Dalam upaya membangun kota hemat energi, beberapa langkah perencanaan transportasi dan manajemen lalu lintas yang terpenting adalah membangun dan menyediakan sarana dan prasarana transportasi publik/masal yang efisien dan representatif. Makin besar skala sebuah kota, dapat dipastikan makin banyak pula jumlah orang yang bergerak di dalam kota setiap waktunya.

Oleh karenanya, perencanaan dan pengelolaan sistem transportasi publik/masal yang baik, efisien, dan representatif serta pengaturan/manajemen yang tepat akan menjadi faktor kunci bagi penghematan energi di kota. Penggunaan mobil pribadi akan rendah karena merasa cukup dengan transportasi publik. Dengan begitu penghematan energi sangat besar.

Menengok kota-kota besar di negara maju, seperti Jepang, andalan utama transportasi massalnya adalah kereta listrik (densha) atau kereta listrik bawah tanah/subway (cikatetsu) yang bisa mengangkut ribuan orang pada waktu bersamaan ketika jam sibuk.

Selain praktis, aman, dan nyaman, harga pun sangat terjangkau bagi masyarakat luas untuk ukuran masyarakat di Jepang. Juga ketepatan waktunya dapat dijamin dalam hitungan menit. "Di kota-kota besar di Jepang, kita akan menemukan sistem kereta listrik yang sangat efisien yang menghubungkan sub urban dengan area pusat kota. Kereta-kereta itu pun hampir selalu dipenuhi ribuan penumpang," katanya.

Selain itu, kereta-kereta listrik lokal dengan frekuensi yang sangat tinggi juga siap melayani penumpang di dalam area metropolitan. Misalnya, Yamanote Line, salah satu jalur loop Kota Tokyo, kereta-keretanya berlari setiap tiga menit sekali di siang hari. Sebagai gambaran dominannya penggunaan transportasi masal kereta listrik bawah tanah juga bisa dilihat di Kota Nagoya, kota terbesar ketiga di Jepang.

Sejak 15 November 1957, kota ini telah mulai mengoperasikan jalur subway pertamanya, yakni jalur Nagoya-Sakae. Kini, ia telah memiliki banyak jalur kereta listrik bawah tanah dengan panjang total 89 km yang mengangkut penumpang mencapai rata-rata 1.100.000 orang per hari.

Sementara sistem bus dalam kotanya yang telah beroperasi sejak 1 Februari 1930, kini telah memiliki panjang jalur 746 km hanya mengangkut sejumlah 318.000 orang per hari (data tahun fiskal 1 April 2004).


TransJakarta

Menurut Bambang, pemakaian bus sistem busway TransJakarta sudah tepat menuju kota hemat energi. Meski belum cukup mengalihkan penggunaan dari penggunaan mobil pribadi ke busway, namun arahnya sudah tepat.

"Indonesia bisa bercermin dari Curitiba, Brasil. Kota yang luas areanya 432 km2 dan jumlah penduduk 1,6 juta jiwa ini mengoperasikan 5 tipe angkutan bus dengan daya angkut hingga 270 penumpang," katanya.

Sebanyak 1.100 bus membuat 12.500 total perjalanan sehari dapat mengangkut sebanyak 1,3 juta penumpang per hari. Ini telah berhasil mengurangi ketergantungan warga kota pada mobil pribadi, dan meningkatkan penumpang hingga 50 kali lipat dibanding 20 tahun sebelumnya.

Penduduk pun hanya mengeluarkan 10 persen dari pendapatan tahunan mereka untuk belanja transportasi. Bandingkan dengan di Jakarta, yang sebelumnya 15 persen, kini diperkirakan mencapai 20 persen pascakenaikan BBM per 1 Oktober 2005 yang lalu.


Jalur Sepeda

Lebih dari itu, Curitiba juga mampu menurunkan konsumsi BBM per kapita penduduk rata-rata hingga 30 persen lebih rendah dibandingkan dengan delapan kota lainnya di Brasil. Tak heran jika ia disebut-sebut juga sebagai salah satu kota dengan tingkat polusi terendah di dunia.

Sukses lain dari Jepang adalah tersedianya jalur sepeda dan pejalan kaki (pedestrian) yang aman dan nyaman. Bersepeda dan berjalan kaki adalah salah satu alternatif moda perjalanan yang paling mungkin untuk menghemat energi di kota.

Keduanya sudah tentu merupakan moda transportasi yang tidak bermotor (non-motorized transportation atau NMT) sehingga tidak membutuhkan BBM sama sekali. Oleh karenanya, juga tidak menghasilkan polusi bagi udara di kota (ramah lingkungan). Bersepeda maupun berjalan kaki, dapat dilakukan oleh siapa saja dari semua golongan, baik kaya atau miskin, tua atau muda.

Penggunaan sepeda di Jakarta masih sangat rendah. Sebagai gambaran, menurut Darmaningtyas melalui survey INSTRAN di akhir Juni 2005, dalam sehari jumlah sepeda yang melewati Jl Sudirman Jakarta dari arah Jalan Thamrin hanya 52 unit, sedangkan yang menuju ke arah Jl Thamrin hanya mencapai 122 unit. Mereka itu adalah para pedagang keliling, seperti siomay, bakso, dan roti. Terlalu minim pelajar dan pekerja kantoran yang bersepeda.

Kota-kota di Cina, seperti Tianjin dan Shenyang, menempati persentase terbesar, yakni 77 dan 65 persen penduduk yang mengendarai sepeda untuk perjalanan mereka. Sebagai gambaran, dari pemantauan lalu lintas di Kota Tianjin, konon lebih dari 50.000 sepeda melintas di satu persimpangan jalan dalam waktu satu jam.

Namun yang paling fenomenal dan menarik untuk dicermati adalah upaya yang dilakukan pemerintah Kota Bogota, Ibukota Colombia di Amerika Tengah. Untuk menghemat energi dan mengurangi polusi udara kota, Enrique Penalosa, Wali Kota Bogota tahun 1998-200, membangun jalur sepeda sepanjang 350 km. Ini merupakan kota yang memiliki jalur sepeda terpanjang di Amerika Latin maupun di kota-kota negara berkembang lainnya. Jalur-jalur sepeda dan pedestrian itu dibuat sangat kompak, menerus, dan terintegrasi, serta akses yang sangat luas hingga menembus berbagai kawasan pemukiman. (L-11)

Source:
SuaraPembaruan online
http://www.suarapembaruan.com/News/2005/11/24/
LSM Pelangi Jakarta
http://www.pelangi.or.id/othernews.php?nid=581

No comments: