Monday, June 05, 2006

TENTANG KUBAH 1 (tanya)

Ada e-mail pertanyaan spt berikut ini. Sengaja saya publish juga di sini barangkali akan menjadi lebih bermanfaat atau menjadi bahan diskusi lebih lanjut.

Tanya:
Saya bekerja sebagai reporter di......... (dihapus). Berhubung saya hendak menulis artikel mengenai masjid, ada beberapa hal yang hendak saya tanyakan kepada Bapak sebagai narasumber untuk artikel yang akan saya tulis itu. Rencananya saya juga hendak menjadikan keterangan dalam cd masjid 2000 yang pernah Bapak susun sebagai referensi penulisan. Untuk memperkuat keterangan, ada beberapa pertanyaan yang saya ajukan pada Bapak, sbb:

1. Mengenai kubah Masjid. Mengapa atap masjid umumnya berbentuk kubah? Apakah ada preseden atau aturan tertentunya? Desain kubah yang umum digunakan di masjid seperti apa dan, jika mungkin, ada berapa macam (varisasi) kubah masjid?

Jawab:
Langsung saja ya,
Ajaran Islam tidak membawa secara langsung tradisi budaya fisik, dengan kata lain agama ini tidak pernah mengajarkan secara kongkrit tata bentuk arsitektur/lingkungan binaan harus seperti ini atau seperti itu. Pilihan-pilihan fisiknya lebih diserahkan nanti pada akal-budi manusia Muslim itu sendiri, untuk menghasilkan yang terbaik, paling optimal, paling efektif, paling bermanfaat, dan lain sebagainya. Dalam konteks arsitektur/lingkungan binaan, justru di situlah universalitas dalam sisi spiritualnya, yang menjadikannya mampu bertemu dan berdialog dengan beragam lokalitas di semua tempat dan zaman.

Pada perkembangan awal, masjid jelas tidak menggunakan bentuk kubah sebagai ciri atau simbol seperti yang telah difahami oleh sebagian besar masyarakat umum saat ini. Masjid Nabi di Madinah ketika dulu dibangun pada masal awal juga sama sekali tidak ada unsur kubah itu (lihat rekonstruksi prof. Cresswell).

Atap Kubah awalnya diduga berasal dari bangunan Bizantium dan Persia, yang merupakan jenis atap berbentuk bulat atau setengah bulatan yang berfungsi untuk menutup bangunan dasar berbentuk segi empat, bundar atau bersegi banyak. Ketika Islam menyebar dan berinteraksi dengan budaya dan peradaban lain, tampaknya Islam tidak segan-segan untuk mengambil pilihan-pilihan bentuk yang sudah ada itu, termasuk teknik dan cara membangun yang memang sudah dimiliki oleh masyarakat setempat tersebut.

Pengambilan bentuk kubah diprediksi awalnya diambil semata-mata tuntutan fungsional yakni adanya keinginan untuk membentuk struktur bentang lebar pada ruang masjid. Namun karena bentuk ini ternyata banyak dipakai pada bangunan masjid di kemudian hari, pada perkembangan selanjutnya, tampaknya ia telah dipersepsi sebagai ciri dan simbol masjid oleh masyarakat di mana pun berada, termasuk di Indonesia. Padahal untuk masjid-masjid di Indonesia, selama hampir 5 abad, tidak pernah menggunakan unsur kubah ini sebagai atapnya. Atap kubah baru masuk ke Indonesia akhir abad ke-19, bahkan di Jawa, atap kubah pada masjid ini baru digunakan pada pertengahan abad ke-20 seperti Masjid Syuhada di Yogyakarta.

Di masjid-masjid seluruh dunia bentuk kubah sudah sangat beragam terutama menyangkut proporsi. Perbedaan ini di antaranya karena regionalitas. Untuk menyebut variasi harus diberi batasan, sampai wilayah mana, dlsb. Secara umum, kubah-kubah ini paling banyak di pakai di wilayah Iran dan Asia Tengah, Anatolia (Turki dan sekitarnya) dengan kubah yang besar dan banyak, lalu juga di India subkontinen. Sementara di Tanah Arab sendiri, wilayah Afrika, dan Eropa, termasuk Asia relatif sangat jarang menggunakannya kecuali pada masjid-masjid yang baru/modern.

Tanya:
2. Mengenai interior masjid, bagaimana gambaran umum interior sebuah masjid? Ruang-ruang apa saja yang ada di dalamnya, tatanan ruangnya, serta dekorasi yang diperbolehkan dalam masjid yang seperti apa.

Jawab:
Untuk interior masjid ini, bisa dijelaskan dari unsur-unsur yang biasa ada di dalam sebuah ruang/bangunan masjid. Mungkin saya bisa bedakan menjadi dua, yakni unsur yang sifatnya "generik" dan tambahan. Yang "generik" ini maksudnya unsur atau elemen yang selalu ada di masjid dimana pun karena ini memang ada tuntutannya syar`i-nya. Sementara yang tambahan adalah yang tidak selalu ada dan tergantung pada kondisi atau tradisi di wilayah masing-masing.

Yang selalu dan mesti ada itu menurut saya adalah ruang sholat itu sendiri, dinding kiblat dan mimbar. Ruang sholat sudah tentu mesti ada dimanapun karena masjid adalah tempat/ruang untuk sholat. Dinding kiblat ini juga sangat penting untuk memberi arah/orientasi sholat agar menghadap kiblat. Rasulullah SAW selalu memberi batas sujud ketika beliau sholat di ruang terbuka. Ini menandai arah kiblat dan sekaligus batas sujud. Sementara mimbar (sekaligus tempat duduknya dengan 3 buah anak tangga), telah beberapa diungkap dalam hadits bahwa mimbarnya terbuat dari kayu pada saat itu. Ada kisah yang menarik yakni ketika mimbar kayu yang biasa dipakai beliau SAW untuk berkhutbah ini hendak diganti, kata beliau SAW bahwa ia (sang mimbar) menangis, dan diceritakanlah hal ini kepada para sahabatnya.

Kalau mengikuti rekonstruksi masjid Nabi dari Prof. Cresswell, sebenarnya selain ruang shalat ada lagi tempat/ruang yang disebut sebagai Suffa, ruang ini biasa dipakai untuk berteduh, belajar mengajar (tempat Rasulullah SAW memberikan pengajaran), dan bahkan disebutkan juga untuk tidur dan berkumpul para homeless (orang miskin). Ini bisa dimengerti karena masjid Nabi SAW memang tidak pakai atap, kecuali di daerah Suffa ini, yakni ruangan dengan penutup atap yang terkenal dari pelepah daun kurma.

Yang lainnya, saya kira semua adalah tambahan karena adanya kebutuhan-kebutuhan baru atau tradisi masyarakat setempat; seperti menara, maqsura, dikka, kolam wudhu, air mancur, pendopo dll. Khusus untuk Mihrab - di mana terdapat cukup banyak artikel perdebatan mengenai elemen ini - saya lebih cenderung memasukkan sebagai ruang tambahan juga, meskipun hampir semua masjid kini menggunakan mihrab bahkan menjadi ruang terpenting. Karena orisinalnya, mihrab tidak ada pada Masjid Nabi SAW, dan tidak (belum) saya temukan hadits Rasulullah SAW menceritakan soal mihrab ini. Hanya pada perkembangan lanjutlah ruangan ini menjadi ada dan bahkan telah seakan menjadi bagian paling penting di dalam interior masjid.

Satu lagi untuk dekorasi, sebaiknya tidak berlebihan yang justru bisa mengganggu kekhusyukan shalat itu sendiri. Ada pendapat yang menentang keras upaya menghiasi ruangan dalam masjid, namun tidak sedikit dari masyarakat yang menghiasnya dengan berlebihan. Nah kalau saya cenderung mengambil pilihan tengah di antara keduanya. Telah banyak fatwa para ulama tentang hal ini. Salah satunya silahkan bisa dilihat pendapat Ust. Dr. Yusuf Al-Qaradhawi tentang ini. Wallahualam.

No comments: