oleh Bambang Setia Budi
KATA angke menurut sejarawan Perancis Denys Lombard berasal dari kata Tionghoa yang berarti Riviere qui deborde yakni kali yang (suka) banjir. Di Jakarta Barat terdapat sebuah kali yang dinamakan Kali Angke yang dulunya memang sering banjir.
Mungkin karena letaknya berada di dekat kali yang sering banjir tersebut, maka masjid yang memiliki nama resmi Masjid Al-Anwar ini lebih populer di masyarakat dengan nama Masjid Angke. Masjid ini konon memang sering kebanjiran sehingga ketinggian lantai ruang shalat dinaikkan lima anak tangga dari lantai ruang luarnya. Namun, letak masjid ini sebenarnya menarik yakni berada di sekitar kampung warga etnis yang bersejarah baik bagi masyarakat Bali, Banten, dan terutama masyarakat Cina.
Masjid Angke - Tampak bangunan masjid yang beratap susun dua dari sebelah selatan masjid. Pada ujung atap bangunan terlihat melengkung ke atas yang memperlihatkan pengaruh langgam seni bangunan Cina. (Sumber: masjid2000.org, fotografer: Amin Budiarjo)
Saat ini, bangunan masjid tua yang sangat menarik ini berlokasi di sebelah selatan Jalan Tubagus Angke (dahulu Bacherachts-gracht), Kampung Rawa Bebek, Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Berdasarkan sumber Oud Batavia karya Dr F Dehan, masjid didirikan pada hari Kamis, tanggal 26 Sya'ban 1174 H yang bertepatan dengan tanggal 2 April 1761 M oleh seorang wanita keturunan Cina Muslim dari Tartar yang bersuamikan orang Banten.
Menurut sejarawan Heuken dalam bukunya Historical Sights of Jakarta, kampung di sekitar Masjid Angke dulu disebut Kampung Goesti yang dihuni orang Bali di bawah pimpinan Kapten Goesti Ketut Badudu. Kampung tersebut didirikan tahun 1709. Banyak orang Bali tinggal di Batavia, sebagian dijual oleh raja mereka sebagai budak, yang lain masuk dinas militer karena begitu mahir menggunakan tombak, dan kelompok lain lagi datang dengan sukarela untuk bercocok padi. Selama puluhan tahun orang-orang Bali menjadi kelompok terbesar kedua dari antara penduduk Batavia (A Heuken SJ, 1997:166).
Selain orang-orang Bali, kampung sekitar masjid dulunya juga banyak dihuni masyarakat Banten dan etnis Cina. Mereka pernah tinggal bersama di sini sejak peristiwa pembunuhan massal masyarakat keturunan Cina oleh Belanda. Bahkan jika kita berkunjung ke tempat tersebut saat ini, akan kita lihat masih banyak warga etnis Cina yang tinggal di perkampungan tersebut.
***
SEJARAH pendirian masjid ini berkaitan erat dengan peristiwa di zaman Jenderal Adrian Valckenier (1737-1741), di mana beberapa kali terjadi ketegangan antara VOC dengan rakyat dan orang Cina. Ketegangan memuncak pada tahun 1740 ketika orang-orang Cina bersenjata menyusup dan menyerang Batavia. Karena kejadian ini, sang jenderal menjadi sangat marah dan memerintahkan untuk membunuhi orang-orang Cina secara massal.
Namun, peristiwa ini diketahui Pemerintah Belanda sehingga sang jenderal dimintai pertanggungjawabannya dan dianggap sebagai gubernur jenderal tercela. Akibatnya, ia kemudian dipenjarakan Pemerintah Belanda pada tahun 1741. Dan tak lama kemudian sang jenderal pun akhirnya meninggal dunia.
Sewaktu terjadi pembunuhan massal itu, sebagian orang Cina yang sempat bersembunyi dilindungi oleh orang-orang Islam dari Banten, dan hidup bersama hingga tahun 1751. Mereka inilah yang kemudian mendirikan Masjid Angke pada tahun 1761 sebagai tempat beribadah dan markas para pejuang menentang penjajah Belanda. Masjid konon juga sering dipakai sebagai tempat perundingan para pejuang dari Banten dan Cirebon.
Saka Guru - Meskipun tidak lagi menggunakan material kayu, namun konstruksi seperti ini mengingatkan pada masjid-masjid tradisional di Jawa. (Sumber: masjid2000.org, Fotografer: Amin Budiarjo)
Yang menarik dari penampilan masjid ini adalah langgam arsitekturnya yang merupakan perpaduan antara Jawa, Cina dan Eropa. Langgam arsitektur Jawa dapat ditelusuri dari denah bangunan persegi, bentuk atap tumpang, dan sistem struktur saka guru. Bagaimanapun bentuk bangunan bujur sangkar dan atap tumpang seperti itu dengan jelas menunjukkan bentuk masjid tradisional Jawa. Termasuk sistem konstruksi empat saka guru di tengah ruang shalat yang menopang atap yang meskipun tidak menggunakan material kayu tetapi material beton/bata pada kolomnya, tetapi tetap memperlihatkan kesamaannya dengan sistem konstruksi masjid-masjid tradisional di Jawa.
Langgam Cina dapat dilihat pada detail konstruksi pada skur atap bangunan yang mengingatkan pada skur bangunan Cina atau klenteng. Skur kayu bertumpuk seperti ini memang merupakan pengaruh budaya Cina yang juga banyak ditemukan di pantai utara Jawa antara abad ke-14 dan ke-18. Sedangkan bentuk dan detail pada ujung-ujung atap bangunan juga memperlihatkan langgam Cina, meski ada yang berpendapat bahwa hal ini merupakan pengaruh seni bangunan Bali yakni punggel.
Sedangkan langgam Eropa dapat diamati terutama pada bukaan-bukaan seperti pintu, jendela dan lubang angin. Pintu-pintu di sini dicirikan dengan ukuran yang tinggi dan besar dan berdaun pintu ganda. Sedangkan jendelanya juga besar dan lebar-lebar, namun jeruji kayu ulir sebagai pengisi jendela seperti itu lebih menampakkan kemiripan dengan jendela khas rumah tradisional Betawi dan umum dipakai pada masjid-masjid kuno di Jakarta yang dibangun pada sekitar abad ke-18.
Masjid yang berbentuk bangunan tunggal dan kini menempati lahan seluas kurang lebih 500 m2 ini memiliki banyak elemen menarik. Elemen masjid yang paling unik yang dijumpai pada masjid ini adalah elemen Mimbar. Sebuah tempat khutbah berbentuk ceruk yang mirip seni sculpture tersebut menjadi aksen penting di dalam ruang shalat. Hiasan pada kiri dan kanan cerukan ini sangat serasi dengan tangga-tangga melingkar dari material marmer berwarna merah yang menuju ke kursi mimbar. Pola hiasan ini kembali diulang pada pengapit setiap pintu masuk terutama pada pintu utama (timur), yang diberi bingkai ukiran kayu. Bentuk mimbar memang sangat unik yang jarang dijumpai pada masjid-masjid lainnya di Jawa.
Selain itu, elemen ragam hias juga menjadi daya tarik tersendiri pada masjid yang pernah diperbaiki beberapa kali namun tetap menunjukkan ciri khasnya ini. Beberapa ragam hias yang menarik di antaranya adalah detail ukiran kayu corak floral natural dan kaligrafi pada kusen atau pintu utama, anak-anak tangga pintu masuk utama yang terbuat dari batu-batu candi berwarna merah, hiasan pada kanan dan kiri cerukan mimbar, dan hiasan pipit gantil pada setiap ujung atap bangunan masjid. Yang disebut terakhir ini sekilas nampak seperti ornamen "emprit gantil" pada konstruksi rumah-rumah tinggal di Jawa namun jika dilihat detailnya dengan jelas memperlihatkan sentuhan langgam Cina.
Mimbar - Mimbar merupakan elemen paling menarik dalam bangunan masjid ini yang tidak dijumpai pada masjid-masjid di Jawa lainnya. Mimbar berbentuk ceruk ini berdiri sendiri sehingga menjadi seni sculpture dan aksen tersendiri pada ruang shalat. (Sumber: masjid2000.org, Fotografer: Amin Budiarjo)
***
DARI segi penggunaan ruang, masjid juga memiliki keunikan yakni sudah terdapatnya semacam mezanin yang memanfaatkan ruang di bawah atap tumpukan. Mezanin yang bisa dicapai dari anak tangga di sebelah timur salah satu kolom saka guru ini konon dulunya dipakai untuk mengumandangkan adzan, itikaf dan tempat pertemuan-pertemuan penting. Mezanin seperti ini juga terdapat di Masjid Al-Mansyur di Jalan Sawah Lio Jakarta Barat yang telah berdiri sejak tahun 1717.
Di dekat masjid terdapat makam putra Sultan Pontianak Pangeran Hamid Al-Qadri yang dibuang ke Batavia pada masa Pemerintahan Hindia Belanda karena mengadakan pemberontakan pada sekitar tahun 1800-an. Makamnya terbuat dari batu pualam dan terdapat tulisan yang menyebutkan usia sultan yakni meninggal dunia dalam usia 64 tahun 35 hari. Ia meninggal pada tahun 1854. Namun nisan yang konon tertua adalah nisan Ny Chen, seorang wanita keturunan Tionghoa Muslim, dan kini disimpan di samping masjid.
****
Bambang Setia Budi
Staf Pengajar Departemen Arsitektur ITB
Published @ Kompas, 23 September 2001
Thursday, November 10, 2005
Thursday, November 03, 2005
MASJID CIPAGANTI, MASJID PERTAMA DI LINGKUNGAN EROPA
oleh Bambang Setia Budi
Meskipun saat ini sudah tidak kentara, perencanaan dan perkembangan Bandung tempo doeloe dibagi dalam dua bagian dengan jelas yakni Bandung Utara dan Selatan. Pembagian ini ditandai dengan jalur rel kereta api yang melintang ke arah Timur dan Barat.
Bandung Selatan atau wilayah sebelah Selatan rel kereta api dulunya diperuntukan bagi masyarakat pribumi dengan bagian khusus pusat pemerintahan, elit pribumi, alun-alun, dan masjid. Wilayah masyarakat pribumi ini cenderung berkarakter kurang teratur, sarana-prasarana kota yang minim, kualitas lingkungan yang rendah, dan lain lain.
Sementara di Bandung Utara atau wilayah sisi sebelah Utara rel kereta api dulunya adalah untuk orang-orang Belanda dan sebagian kecil para elit pribumi. Pemukiman orang-orang Belanda ini jelas lebih teratur, nyaman, lahan yang luas, dan memiliki kualitas lingkungan yang jauh lebih baik.
Dari segi bangunannya, hingga kini banyak kita jumpai bangunan-bangunan kolonial yang merupakan ciri utama arsitektur peninggalan Belanda. Bukan hanya bangunan-bangunan kantor atau publik lainnya, namun sampai bentuk rumah yang ditinggalkan semua masih tetap bergaya Eropa yang sampai saat ini dapat kita saksikan jejak-jejaknya. Kota Bandung tempo doeloe memang lebih dikenal sebagai sebuah kota `koloni` permukiman orang Barat, atau yang bisa disebut dalam bahasa Belanda sebagai `Een Westerns Enclave` (Kunto: 1996).
Masyarakat eksklusif Barat di Bandung Utara itu tetap berusaha mempertahankan suasana lingkungan hidup seperti di Eropa sana baik menyangkut gaya hidup, menu dan jenis makanan, cara berpakaian, dan lain-lain. Komunitas masyarakat Barat itu seakan-akan menjadi `Kapal Asing` yang mengapung di atas `Samudera` kehidupan masyarakat pribumi.
Dipandang dari religi, hampir keseluruhan dari mereka beragama Nasrani. Maka tak heran jika banyak kita jumpai bangunan-bangunan gereja yang merupakan karya dan bangunan peninggalan mereka. Sebaliknya sedikit yang beragama Islam kecuali segelintir dari mereka dan sebagian para elit pribumi yang tinggal di sana, maka wajar pula kalau cukup langka dijumpai masjid-masjid. Dan salah satu masjid tua yang dibangun di Bandung bagian Utara yang hingga kini masih dapat kita saksikan adalah Masjid Raya Cipaganti.
Masjid termasuk bangunan yang sudah berumur hampir 70 tahun yang lalu, dan pernah dipakai sebagai markas pejuang menentang penjajah sehingga memiliki nilai sejarah yang tinggi, juga memiliki gaya seni arsitektur yang cukup unik yang memberi kekayaan bentuk keragaman arsitektur masjid di Jawa khususnya di wilayah Priangan.
Tusuk Sate - Bangunan masjid terletak persis di lahan `tusuk sate` antara Jl. Cipaganti dengan Jalan Sastra. Adanya deretan pepohonan di sepanjang tepi Jalan Sastra memberi vista menarik yang membingkai bangunan masjid. (Sumber: Masjid2000 Pusat Dokumentasi Masjid Nusantara, Fotografer: Yessika Abdassah).
Karya Profesor Kemal C.P. Wolff Schoemaker
Masjid yang sering disebut Masjid Kaum Cipaganti ini terletak di daerah yang dulunya merupakan kompleks pemukiman bangsa Eropa di wilayah Bandung Utara. Masjid didesain oleh arsitek Belanda kenamaan, Prof. Kemal C.P. Wolf Schoemaker. Sedangkan peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Asta Kandjeng Bupati Bandung, Raden Tumenggung Hasan Soemadipradja yang didampingi oleh Patih Bandung, Raden Rc. Wirijadinata pada tanggal 11 Syawal 1351 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 7 Februari 1933 Masehi.
Masjid yang kini beralamat di Jalan Cipaganti 85 dan terletak di lahan `tusuk sate` antara Jalan Cipaganti dengan Jalan Sastra ini konon merupakan masjid pertama yang didirikan di lingkungan permukiman bangsa Eropa. Ini berarti merupakan masjid pertama di tengah-tengah `Een Westerns Enclave` seperti telah diuraikan di atas.
Sekarang ini, masjid menjadi persinggahan bagi para wisatawan yang datang ke Bandung karena lokasinya yang strategis seperti di pinggir jalan kelas satu atau protokol (Jalan Cipaganti), berdekatan dengan pusat perbelanjaan Cihampelas dan berada pada jalur utama menuju ke Lembang. Lokasi masjid menjadi sangat mudah dicapai oleh lalu lintas manusia baik yang berkendaraan maupun yang berjalan kaki.
Profesor Kemal C.P. Wolff Schoemaker sendiri adalah salah seorang arsitek terkemuka Belanda yang telah banyak berkarya di Indonesia. Semasa hidupnya sebagai arsitek di Indonesia, ia menjadi Profesor di ITB Bandung. Hasil karyanya kecuali bangunan, juga berupa karya tulis. Tidak sedikit tulisan dari hasil penelitiannya mengenai kebudayaan Indonesia khususnya tentang arsitektur tradisional termasuk candi-candi. Schoemaker memang merupakan arsitek yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang arsitektur dan budaya setempat khususnya Jawa.
Masjid Cipaganti ini merupakan salah satu dari sekian banyak karyanya di kota Bandung selain Hotel Preanger, Villa Isolla, Laboratorium Boscha, dan lain-lain. Bangunan yang masih asli karya beliau adalah bangunan di tengah yang beratap tajug tumpang dua, sedangkan bangunan yang memanjang di kiri dan kanannya adalah bangunan perluasan yang dibangun pada tahun 1954 dan 1976.
Dari pemikiran dan gagasan-gagasannya, Masjid Raya Cipaganti merupakan desain masjid yang modern meski tetap tidak meninggalkan prinsip-prinsip tradisional. Hal ini ditunjang oleh latar belakang pengetahuan sang arsitek yang luas dan mendalam terhadap arsitektur dan budaya Jawa tersebut.
Paduan Gaya Seni Bangunan Jawa-Eropa
Secara umum, bentuk masjid mengambil seni bangunan tradisional Jawa seperti atap tajug tumpang dua limasan dengan atap-atap tambahan di setiap sisi dan penggunaan konstruksi empat kolom saka guru di tengah-tengah ruangan shalat. Dalam detail-detail arsitektural dan ornamen-ornamen floral seperti bunga atau `sulur-suluran` juga memperlihatkan pengambilan unsur-unsur dekorasi tradisional Jawa. Ini menunjukkan upaya sang arsitek dalam menafsir dan menghadirkan ungkapan-ungkapan lokal khususnya budaya Jawa dalam arsitektur masjidnya.
Kaligrafi - Salah satu kolom saka guru yang dihias ornamen corak floral dan kaligrafi (sumber: Masjid2000 Pusat Dokumentasi Masjid Nusantara, Fotografer: Yessika Abdassah)
Namun, konstruksi atap bangunannya memakai teknik bangunan kolonial, yang nampak jelas dari penggunaan kuda-kuda segitiga pada interior atap tajug-nya. Begitu pula dalam peletakan bangunan di dalam tapak. Penataan bangunan masjid dalam posisi `tusuk sate` jarang dijumpai pada masjid-masjid lokal/tradisional. Hal ini juga dengan jelas memperlihatkan pendekatan Eropa dalam penataan massa bangunan di dalam tapaknya.
Di sisi lain, pada sepanjang Jalan Sastra - jalan di depan Masjid Raya Cipaganti yang menghubungkan antara Jalan Cihampelas dengan Jalan Cipaganti - sengaja dibuat sangat rimbun dengan adanya deretan pepohonan di sepanjang jalan tersebut. Deretan pepohonan sepanjang Jalan Sastra ini terlihat membentuk sebuah vista yang sangat menarik sepanjang mata memandang di tengah dan searah jalan.
Akibat penataan massa bangunan dalam tapak yang persis `tusuk sate` tersebut,, bangunan masjid akan tampak paling indah jika dilihat dari Jalan Sastra karena masjid menjadi persis di tengah-tengah vista deretan pepohonan. Bangunan masjid menjadi seakan-akan berada di tengah-tengah `frame` pepohonan alami. Teknik perencanaan tapak seperti inilah yang diperkenalkan oleh sang arsitek pada bangunan masjid ini. Dan hal tersebut menjadi salah satu keunikan yang jarang kita jumpai pada masjid-masjid lainnya di Jawa.
Perpaduan antar gaya seni bangunan yang lokal dengan yang pendatang atau kolonial merupakan hal yang biasa pada arsitektur di wilayah di mana dahulunya pernah dijajah. Perpaduan tersebut bahkan seringkali tidak hanya pada bangunan atau arsitektur tetapi juga pada perencanaan kotanya.
Kota Bandung dan juga kota-kota di Priangan pada umumnya, termasuk dalam wilayah demikian, sehingga dapat disebut juga sebagai `dual city`, yakni jenis kota yang khas terdapat di daerah-daerah yang dahulunya pernah dijajah. Di model kota seperti ini, wajah kota termasuk arsitektur di dalamnya sering dibangun dengan dua gaya, yaitu gaya Barat/kolonial dan gaya pribumi tradisional.
Kota-kota seperti ini menggambarkan campuran yang unik antara bentuk urban berbudaya Eropa/Barat dengan penduduk dan budaya pribumi (Sunda, Jawa atau Islam). Kota Bandung memang paling tepat menggambarkan kota jenis demikian, bahkan Bandung tempo doeloe terkenal dalam sebutan `Parijs van Java`. Tak heran jika dalam sebuah kongres mengenai Arsitektur Modern yang diselenggarakan di Swiss tahun 1928, disebutkan bahwa Bandung dengan jelas merupakan prototipe kota kolonial (Lubis, 2000: 4).
Selain dua gaya tersebut, samar-samar terlihat pula pengaruh gaya Timur-Tengah misalnya pada elemen relung atau busur dan dekorasi kaligrafi. Mungkin karena bangunan ini berfungsi sebagai masjid maka ungkapan-ungkapan Arab/Timur-Tengah - tanpa menyebut secara persis negeri mana - mencoba digunakan untuk menguatkan identitas bahwa bangunan tersebut adalah masjid sebagai tempat ibadah umat Islam.
Penggunaan relung-relung jenis tapal kuda atau yang dikenal sebagai horseshoe arches nampak pada pintu utama masuk dan menuju mihrab tempat seorang imam memimpin shalat. Namun yang menarik adalah pada detail-detail relung ini, terutama pada ujung-ujung pengakhiran beberapa elemen dekorasi di mana terlihat pengaruh detail-detail seni dekorasi bangunan Jawa. Artinya samar-samar gaya Timur-Tengah ini juga dipadu dengan seni dekorasi tradisional Jawa. Ini perlu dibedakan dengan relung-relung non-struktural pada bangunan perluasan ke kiri dan ke kanan masjid.
Sedangkan elemen dekorasi berupa kaligrafi -yang sebagian besar bergaya Kufi- terlihat di beberapa tempat seperti pada keempat kolom saka guru, relung tapal kuda, mihrab atau pada dinding penghalang yang berada tepat setelah pintu masuk utama. Sebagai catatan, dinding penghalang yang berada tepat setelah pintu masuk seperti itu biasanya digunakan pada pintu-pintu masuk bangunan-bangunan Hindu. Di masjid ini, dinding tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki paduan tekstur, corak, hiasan, dan warna yang menarik (hijau).
Satu lagi yang menarik dari unsur bangunan ini adalah elemen lampu yang menggantung pada langit-langit di tengah-tengah ruang utama shalat. Lampu antik yang terbuat dari logam berwarna kuning tersebut masih asli sejak zaman kolonial. Dengan elemen penggantung juga dari logam, lampu hingga saat ini masih terpelihara dengan baik.
Lampu Antik - Tampak lampu antik dari material logam berwarna kuning yang menggantung di tengah-tengah ruang shalat utama. (Sumber Masjid2000 Pusat Dokumentasi Masjid Nusantara, Fotografer: Yessika Abdassah)
Tempat Pembinaan Para Pejuang PETA dan Masyarakat Sekitar
Selama masa perjuangan hingga tahun 1950-an, masjid banyak berperan sebagai tempat pembinaan terhadap putra-putra bangsa yang patriotik, cinta tanah air, dan memiliki keimanan yang tinggi kepada Allah SWT. Mereka yang telah terbina banyak yang turut berjuang dan berjihad dengan gigih melawan penjajah Belanda. Banyak di antara mereka yang kemudian ikut bergabung dengan barisan Pembela Tanah Air (PETA). Hingga pada saat itu, sebagai tempat para pejuang dari kalangan santri ini, kemudian dibangunlah sebuah asrama yang berada tak jauh dari masjid.
Selain itu, masjid juga banyak berperan untuk pemenuhan kebutuhan rohani masyarakat sekitar. Masyarakat mengenal masjid ini karena peranannya yang dirasakan oleh masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan spiritual mereka.
Di samping Masjid Agung Bandung pada waktu itu, banyak dari berbagai lapisan masyarakat yang melakukan akad nikah di masjid ini. Para pengantin baru banyak yang merasa nikmat dan memiliki kenangan tersendiri dengan masjid ini yang senantiasa dipimpin oleh seorang Khalifah – sebutan ulama pengurus masjid pada waktu itu – di bawah pengawasan penghulu ulama tingkat kabupaten.
Masjid Cipaganti - Tampak masjid dari arah Jalan Cipaganti. Bangunan masjid awalnya hanya massa di tengah yang beratap tumpuk dua, namun kini telah mengalami perluasan ke kiri dan ke kanan sejak tahun 1954 dan 1976 (Sumber: Masjid2000 Pusat Dokumentasi Masjid Nusantara, Fotografer: Indra Yudha).
Masjid pernah mengalami dua kali perombakan. Pada tahun 1954 bangunan masjid diperluas ke sebelah kanan dan ke kiri disebabkan fungsi dan peranannya yang semakin dirasakan oleh masyarakat sekitarnya. Berbagai macam kegiatan telah marak diselenggarakan di masjid ini seperti pengajian untuk anak-anak, remaja, dewasa atau orang tua bahkan terdapat pengajian khusus ibu-ibu yang mengundang ratusan ibu-ibu muslimat lainnya. Masjid memang telah makmur dari sejak dulu sehingga perlu perluasan.
Bahkan karena mengingat semakin besarnya populasi masyarakat yang memanfaatkan masjid ini, pada tahun 1976 dilakukan pemugaran bangunan masjid tahap kedua. Setelah dipugar, kini selain berfungsi sebagai tempat ibadah, dikembangkan pula kegiatan-kegiatan lain seperti pengajian untuk anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua, serta kegiatan pendidikan sekolah taman kanak-kanak.
***
Bambang Setia Budi
Staf Departemen Arsitektur ITB
Published @ Pikiran Rakyat
19 Juni 2001
Meskipun saat ini sudah tidak kentara, perencanaan dan perkembangan Bandung tempo doeloe dibagi dalam dua bagian dengan jelas yakni Bandung Utara dan Selatan. Pembagian ini ditandai dengan jalur rel kereta api yang melintang ke arah Timur dan Barat.
Bandung Selatan atau wilayah sebelah Selatan rel kereta api dulunya diperuntukan bagi masyarakat pribumi dengan bagian khusus pusat pemerintahan, elit pribumi, alun-alun, dan masjid. Wilayah masyarakat pribumi ini cenderung berkarakter kurang teratur, sarana-prasarana kota yang minim, kualitas lingkungan yang rendah, dan lain lain.
Sementara di Bandung Utara atau wilayah sisi sebelah Utara rel kereta api dulunya adalah untuk orang-orang Belanda dan sebagian kecil para elit pribumi. Pemukiman orang-orang Belanda ini jelas lebih teratur, nyaman, lahan yang luas, dan memiliki kualitas lingkungan yang jauh lebih baik.
Dari segi bangunannya, hingga kini banyak kita jumpai bangunan-bangunan kolonial yang merupakan ciri utama arsitektur peninggalan Belanda. Bukan hanya bangunan-bangunan kantor atau publik lainnya, namun sampai bentuk rumah yang ditinggalkan semua masih tetap bergaya Eropa yang sampai saat ini dapat kita saksikan jejak-jejaknya. Kota Bandung tempo doeloe memang lebih dikenal sebagai sebuah kota `koloni` permukiman orang Barat, atau yang bisa disebut dalam bahasa Belanda sebagai `Een Westerns Enclave` (Kunto: 1996).
Masyarakat eksklusif Barat di Bandung Utara itu tetap berusaha mempertahankan suasana lingkungan hidup seperti di Eropa sana baik menyangkut gaya hidup, menu dan jenis makanan, cara berpakaian, dan lain-lain. Komunitas masyarakat Barat itu seakan-akan menjadi `Kapal Asing` yang mengapung di atas `Samudera` kehidupan masyarakat pribumi.
Dipandang dari religi, hampir keseluruhan dari mereka beragama Nasrani. Maka tak heran jika banyak kita jumpai bangunan-bangunan gereja yang merupakan karya dan bangunan peninggalan mereka. Sebaliknya sedikit yang beragama Islam kecuali segelintir dari mereka dan sebagian para elit pribumi yang tinggal di sana, maka wajar pula kalau cukup langka dijumpai masjid-masjid. Dan salah satu masjid tua yang dibangun di Bandung bagian Utara yang hingga kini masih dapat kita saksikan adalah Masjid Raya Cipaganti.
Masjid termasuk bangunan yang sudah berumur hampir 70 tahun yang lalu, dan pernah dipakai sebagai markas pejuang menentang penjajah sehingga memiliki nilai sejarah yang tinggi, juga memiliki gaya seni arsitektur yang cukup unik yang memberi kekayaan bentuk keragaman arsitektur masjid di Jawa khususnya di wilayah Priangan.
Tusuk Sate - Bangunan masjid terletak persis di lahan `tusuk sate` antara Jl. Cipaganti dengan Jalan Sastra. Adanya deretan pepohonan di sepanjang tepi Jalan Sastra memberi vista menarik yang membingkai bangunan masjid. (Sumber: Masjid2000 Pusat Dokumentasi Masjid Nusantara, Fotografer: Yessika Abdassah).
Karya Profesor Kemal C.P. Wolff Schoemaker
Masjid yang sering disebut Masjid Kaum Cipaganti ini terletak di daerah yang dulunya merupakan kompleks pemukiman bangsa Eropa di wilayah Bandung Utara. Masjid didesain oleh arsitek Belanda kenamaan, Prof. Kemal C.P. Wolf Schoemaker. Sedangkan peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Asta Kandjeng Bupati Bandung, Raden Tumenggung Hasan Soemadipradja yang didampingi oleh Patih Bandung, Raden Rc. Wirijadinata pada tanggal 11 Syawal 1351 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 7 Februari 1933 Masehi.
Masjid yang kini beralamat di Jalan Cipaganti 85 dan terletak di lahan `tusuk sate` antara Jalan Cipaganti dengan Jalan Sastra ini konon merupakan masjid pertama yang didirikan di lingkungan permukiman bangsa Eropa. Ini berarti merupakan masjid pertama di tengah-tengah `Een Westerns Enclave` seperti telah diuraikan di atas.
Sekarang ini, masjid menjadi persinggahan bagi para wisatawan yang datang ke Bandung karena lokasinya yang strategis seperti di pinggir jalan kelas satu atau protokol (Jalan Cipaganti), berdekatan dengan pusat perbelanjaan Cihampelas dan berada pada jalur utama menuju ke Lembang. Lokasi masjid menjadi sangat mudah dicapai oleh lalu lintas manusia baik yang berkendaraan maupun yang berjalan kaki.
Profesor Kemal C.P. Wolff Schoemaker sendiri adalah salah seorang arsitek terkemuka Belanda yang telah banyak berkarya di Indonesia. Semasa hidupnya sebagai arsitek di Indonesia, ia menjadi Profesor di ITB Bandung. Hasil karyanya kecuali bangunan, juga berupa karya tulis. Tidak sedikit tulisan dari hasil penelitiannya mengenai kebudayaan Indonesia khususnya tentang arsitektur tradisional termasuk candi-candi. Schoemaker memang merupakan arsitek yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang arsitektur dan budaya setempat khususnya Jawa.
Masjid Cipaganti ini merupakan salah satu dari sekian banyak karyanya di kota Bandung selain Hotel Preanger, Villa Isolla, Laboratorium Boscha, dan lain-lain. Bangunan yang masih asli karya beliau adalah bangunan di tengah yang beratap tajug tumpang dua, sedangkan bangunan yang memanjang di kiri dan kanannya adalah bangunan perluasan yang dibangun pada tahun 1954 dan 1976.
Dari pemikiran dan gagasan-gagasannya, Masjid Raya Cipaganti merupakan desain masjid yang modern meski tetap tidak meninggalkan prinsip-prinsip tradisional. Hal ini ditunjang oleh latar belakang pengetahuan sang arsitek yang luas dan mendalam terhadap arsitektur dan budaya Jawa tersebut.
Paduan Gaya Seni Bangunan Jawa-Eropa
Secara umum, bentuk masjid mengambil seni bangunan tradisional Jawa seperti atap tajug tumpang dua limasan dengan atap-atap tambahan di setiap sisi dan penggunaan konstruksi empat kolom saka guru di tengah-tengah ruangan shalat. Dalam detail-detail arsitektural dan ornamen-ornamen floral seperti bunga atau `sulur-suluran` juga memperlihatkan pengambilan unsur-unsur dekorasi tradisional Jawa. Ini menunjukkan upaya sang arsitek dalam menafsir dan menghadirkan ungkapan-ungkapan lokal khususnya budaya Jawa dalam arsitektur masjidnya.
Kaligrafi - Salah satu kolom saka guru yang dihias ornamen corak floral dan kaligrafi (sumber: Masjid2000 Pusat Dokumentasi Masjid Nusantara, Fotografer: Yessika Abdassah)
Namun, konstruksi atap bangunannya memakai teknik bangunan kolonial, yang nampak jelas dari penggunaan kuda-kuda segitiga pada interior atap tajug-nya. Begitu pula dalam peletakan bangunan di dalam tapak. Penataan bangunan masjid dalam posisi `tusuk sate` jarang dijumpai pada masjid-masjid lokal/tradisional. Hal ini juga dengan jelas memperlihatkan pendekatan Eropa dalam penataan massa bangunan di dalam tapaknya.
Di sisi lain, pada sepanjang Jalan Sastra - jalan di depan Masjid Raya Cipaganti yang menghubungkan antara Jalan Cihampelas dengan Jalan Cipaganti - sengaja dibuat sangat rimbun dengan adanya deretan pepohonan di sepanjang jalan tersebut. Deretan pepohonan sepanjang Jalan Sastra ini terlihat membentuk sebuah vista yang sangat menarik sepanjang mata memandang di tengah dan searah jalan.
Akibat penataan massa bangunan dalam tapak yang persis `tusuk sate` tersebut,, bangunan masjid akan tampak paling indah jika dilihat dari Jalan Sastra karena masjid menjadi persis di tengah-tengah vista deretan pepohonan. Bangunan masjid menjadi seakan-akan berada di tengah-tengah `frame` pepohonan alami. Teknik perencanaan tapak seperti inilah yang diperkenalkan oleh sang arsitek pada bangunan masjid ini. Dan hal tersebut menjadi salah satu keunikan yang jarang kita jumpai pada masjid-masjid lainnya di Jawa.
Perpaduan antar gaya seni bangunan yang lokal dengan yang pendatang atau kolonial merupakan hal yang biasa pada arsitektur di wilayah di mana dahulunya pernah dijajah. Perpaduan tersebut bahkan seringkali tidak hanya pada bangunan atau arsitektur tetapi juga pada perencanaan kotanya.
Kota Bandung dan juga kota-kota di Priangan pada umumnya, termasuk dalam wilayah demikian, sehingga dapat disebut juga sebagai `dual city`, yakni jenis kota yang khas terdapat di daerah-daerah yang dahulunya pernah dijajah. Di model kota seperti ini, wajah kota termasuk arsitektur di dalamnya sering dibangun dengan dua gaya, yaitu gaya Barat/kolonial dan gaya pribumi tradisional.
Kota-kota seperti ini menggambarkan campuran yang unik antara bentuk urban berbudaya Eropa/Barat dengan penduduk dan budaya pribumi (Sunda, Jawa atau Islam). Kota Bandung memang paling tepat menggambarkan kota jenis demikian, bahkan Bandung tempo doeloe terkenal dalam sebutan `Parijs van Java`. Tak heran jika dalam sebuah kongres mengenai Arsitektur Modern yang diselenggarakan di Swiss tahun 1928, disebutkan bahwa Bandung dengan jelas merupakan prototipe kota kolonial (Lubis, 2000: 4).
Selain dua gaya tersebut, samar-samar terlihat pula pengaruh gaya Timur-Tengah misalnya pada elemen relung atau busur dan dekorasi kaligrafi. Mungkin karena bangunan ini berfungsi sebagai masjid maka ungkapan-ungkapan Arab/Timur-Tengah - tanpa menyebut secara persis negeri mana - mencoba digunakan untuk menguatkan identitas bahwa bangunan tersebut adalah masjid sebagai tempat ibadah umat Islam.
Penggunaan relung-relung jenis tapal kuda atau yang dikenal sebagai horseshoe arches nampak pada pintu utama masuk dan menuju mihrab tempat seorang imam memimpin shalat. Namun yang menarik adalah pada detail-detail relung ini, terutama pada ujung-ujung pengakhiran beberapa elemen dekorasi di mana terlihat pengaruh detail-detail seni dekorasi bangunan Jawa. Artinya samar-samar gaya Timur-Tengah ini juga dipadu dengan seni dekorasi tradisional Jawa. Ini perlu dibedakan dengan relung-relung non-struktural pada bangunan perluasan ke kiri dan ke kanan masjid.
Sedangkan elemen dekorasi berupa kaligrafi -yang sebagian besar bergaya Kufi- terlihat di beberapa tempat seperti pada keempat kolom saka guru, relung tapal kuda, mihrab atau pada dinding penghalang yang berada tepat setelah pintu masuk utama. Sebagai catatan, dinding penghalang yang berada tepat setelah pintu masuk seperti itu biasanya digunakan pada pintu-pintu masuk bangunan-bangunan Hindu. Di masjid ini, dinding tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki paduan tekstur, corak, hiasan, dan warna yang menarik (hijau).
Satu lagi yang menarik dari unsur bangunan ini adalah elemen lampu yang menggantung pada langit-langit di tengah-tengah ruang utama shalat. Lampu antik yang terbuat dari logam berwarna kuning tersebut masih asli sejak zaman kolonial. Dengan elemen penggantung juga dari logam, lampu hingga saat ini masih terpelihara dengan baik.
Lampu Antik - Tampak lampu antik dari material logam berwarna kuning yang menggantung di tengah-tengah ruang shalat utama. (Sumber Masjid2000 Pusat Dokumentasi Masjid Nusantara, Fotografer: Yessika Abdassah)
Tempat Pembinaan Para Pejuang PETA dan Masyarakat Sekitar
Selama masa perjuangan hingga tahun 1950-an, masjid banyak berperan sebagai tempat pembinaan terhadap putra-putra bangsa yang patriotik, cinta tanah air, dan memiliki keimanan yang tinggi kepada Allah SWT. Mereka yang telah terbina banyak yang turut berjuang dan berjihad dengan gigih melawan penjajah Belanda. Banyak di antara mereka yang kemudian ikut bergabung dengan barisan Pembela Tanah Air (PETA). Hingga pada saat itu, sebagai tempat para pejuang dari kalangan santri ini, kemudian dibangunlah sebuah asrama yang berada tak jauh dari masjid.
Selain itu, masjid juga banyak berperan untuk pemenuhan kebutuhan rohani masyarakat sekitar. Masyarakat mengenal masjid ini karena peranannya yang dirasakan oleh masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan spiritual mereka.
Di samping Masjid Agung Bandung pada waktu itu, banyak dari berbagai lapisan masyarakat yang melakukan akad nikah di masjid ini. Para pengantin baru banyak yang merasa nikmat dan memiliki kenangan tersendiri dengan masjid ini yang senantiasa dipimpin oleh seorang Khalifah – sebutan ulama pengurus masjid pada waktu itu – di bawah pengawasan penghulu ulama tingkat kabupaten.
Masjid Cipaganti - Tampak masjid dari arah Jalan Cipaganti. Bangunan masjid awalnya hanya massa di tengah yang beratap tumpuk dua, namun kini telah mengalami perluasan ke kiri dan ke kanan sejak tahun 1954 dan 1976 (Sumber: Masjid2000 Pusat Dokumentasi Masjid Nusantara, Fotografer: Indra Yudha).
Masjid pernah mengalami dua kali perombakan. Pada tahun 1954 bangunan masjid diperluas ke sebelah kanan dan ke kiri disebabkan fungsi dan peranannya yang semakin dirasakan oleh masyarakat sekitarnya. Berbagai macam kegiatan telah marak diselenggarakan di masjid ini seperti pengajian untuk anak-anak, remaja, dewasa atau orang tua bahkan terdapat pengajian khusus ibu-ibu yang mengundang ratusan ibu-ibu muslimat lainnya. Masjid memang telah makmur dari sejak dulu sehingga perlu perluasan.
Bahkan karena mengingat semakin besarnya populasi masyarakat yang memanfaatkan masjid ini, pada tahun 1976 dilakukan pemugaran bangunan masjid tahap kedua. Setelah dipugar, kini selain berfungsi sebagai tempat ibadah, dikembangkan pula kegiatan-kegiatan lain seperti pengajian untuk anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua, serta kegiatan pendidikan sekolah taman kanak-kanak.
***
Bambang Setia Budi
Staf Departemen Arsitektur ITB
Published @ Pikiran Rakyat
19 Juni 2001
Wednesday, November 02, 2005
MENGGAGAS MASJID AGUNG BANDUNG MASA DEPAN
oleh Bambang Setia Budi
Letak Masjid Agung Bandung yang berada di tengah-tengah kegiatan komersial yang amat padat, merupakan ciri utama yang dimiliki Masjid Agung bandung. Di tengah hiruk-pikuk kawasan perbelanjaan atau `shopping`, perkantoran, perbankan, hiburan, dan segala macam bisnis lainnya termasuk tempat berjubelnya kaki lima yang merampas hampir seluruh trotoar pejalan kaki, masjid agung berada di sana.
Tanpa disadari, hari demi hari tampilan masjid semakin seperti tenggelam dalam lautan hiruk pikuk segala macam aktifitas tersebut di atas. Apalagi setelah dibangunnya pagar yang tinggi di depan/sebelah timur bangunan masjid, maka masjid agung seperti hendak menghindar dari tekanan-tekanan dari luar yang boleh jadi memang mengganggu. Faktor keamanan misalnya, memang suatu hal yang perlu diselesaikan. Tetapi inilah kenyataan itu!
Dalam tampilan dan ekspresi masjid di tengah-tengah makin padatnya aktifitas bisnis seperti itu, masjid agung memang seperti ibarat seorang sufi yang hendak mengucilkan diri karena khawatir akan dosa dan godaan-godaan dunia. Maka ia perlu membentengi dirinya, kalau perlu tidak bergaul/berhubungan dengan dunia `luar` darinya dengan benteng tinggi nan kokoh yang dimiliki.
Untung saja ia bukan seperti sufi yang lari dari kenyataan hidup, sampai pergi untuk meninggalkan dunia, lari ke hutan-hutan hingga mati di sana. Dengan kata lain, untung saja lokasi masjid agung tidak dipindahkan dari lokasi tersebut karena tekanan sosial ekonomi. Karena walau bagaimanapun, letak masjid agung sejak hampir dua abad yang lalu tetap di situ. Posisinya tidak berubah kecuali perubahan bentuk dan bongkar pasang secara fisik.
Setting seperti itu, sebenarnya bisa menjadi kendala tetapi juga sekaligus tantangan tersendiri dalam perencanaan ke depannya. Bagaimanapun setting lokasi seperti itu jarang dijumpai kesamaannya dengan masjid-masjid agung lainnya di Indonesia. Memang sudah demikian adanya, bahwa masyarakat Kota Bandung ditakdirkan memiliki masjid agung di tengah-tengah `urban mass` atau pusat kota. Bukankah ini merupakan tantangan menarik bagi rancangan di masa depannya?
Mari Menengok Preseden Sejarah
Jika kita menengok pada sejarah Islam, boleh jadi ungkapan bahwa agama Islam adalah agama `urban` barangkali ada benarnya. Maksudnya, ia justru berkembang pesat di kota-kota meski tanpa mengesampingkan desa-desa. Terbukti hadirnya pun di `kota` Mekah dan bahkan semakin berkembang pesat di `kota` Medinah. Mengapa tidak berkembang di kampung Badui Arab misalnya, karena penyebarannya barangkali justru bisa sangat lambat yang berlawanan dengan apa yang kita lihat selama ini.
Madinah sendiri secara leksikal berarti `kota`. Intelektual Muslim Nurcholish Madjid dalam `Islam, Doktrin, dan Peradaban (1992), menyebutkan Madinah berarti pula sebagai peradaban (madaniyah, tamaddun, civilization), pola di suatu tempat (hadlarah, sedentary), dan pola budaya masyarakat (tsaqofah, culture).
Dulu yang dilakukan Nabi Muhammad SAW pertama kali ketika hijrah ke Madinah adalah membangun masjid. Setelah itu membangun pasar dan pusat komersial, sebagaimana yang dijelaskan dalam sejarah bahwa pasar-pasar itu mampu menggeser pasar-pasar yang telah ada khususnya empat pasar Yahudi di Madinah. Bukankah ini juga menjadi pelajaran berharga bahwa edua aktifitas itu (masjid dan pasar) tidak dipisah-pisahkan dan justru harus diseimbangkan.
Eleanor Sims (1995) dalam Trade and Travel: Markets and Caravanserais menyebutkan bahwa bazaar dan masjid tumbuh bersama, kedua-duanya adalah tiang dalam kehidupan kota Islam, terpisah tetapi berdampingan secara harmoni.
Begitu pula dalam preseden sejarah, bahwa masjid-masjid besar di dunia Islam seringkali muncul pasar di sekitarnya. Memang sangat alamiah, ketika banyak orang ke masjid seperti shalat Jum`at misalnya, maka terbentuklah pasar dengan sendirinya. Terdapat pula di dalam Al-Qur`an yang menyebutkan bahwa setelah ditunaikannya shalat Jum`at, maka disuruh setiap hamba itu untuk bergegas-gegas, mencari karunia-Nya.
Dari konsep itu, tentu gagasan Masjid Agung Bandung masa depan sebaiknya perlu diintegrasikan keberadaan dengan lingkungan sekitarnya. Jadi tidak memisahkan diri atau malah meninggalkan lokasinya sekarang ini (dipindah).Yang berarti juga bahwa masjid harus diintegrasikan keberadaannya dengan hiruk-pikuknya aktifitas komersial. Tentu bukan berarti digabung, tetapi diintegrasikan secara serasi, harmoni dan seirama. Syiar-syiarnya juga harus lebih ditampakkan. Berarti pula bahwa ciri religius dalam ruang dan bentuk arsitektur serta ruang kotanya perlu lebih diekspresikan sehingga tampil menjadi sentral kawasan pusat kota khususnya dan Kota bandung pada umumnya.
Dalam perjalanan sejarah yang hampir melampaui masa dua abad, Masjid Agung Bandung pernah mengalami `zaman keemasan` yakni ketika dipimpin oleh ulama yang juga sastrawan dan filosof Hoofd Penghulu Bandung Haji Hasan Mustafa.
Masjid Agung di tahun 1930-an tersebut paling menonjol fungsinya sebagai pusat ibadah dan social penduduk kota. Gaung kohkol dan bedugnya masih terdengar di seantero penjuru kota. Masjid menjadi tempat merayakan Mauludan, Rajaban, Shalat Ied dan belajar mengaji. Ia juga menjadi tempat baitul mal yang menerima zakat fitrah dan mengurusi kesejahteraan umat (Kunto, 1996:13). Istilah ke `Bale Nyungcung` orang berakad nikah, juga sangat terkenal pada saat itu. Semoga masjid agung masa depan kembali menduduki fungsinya seperti itu bahkan lebih ditingkatkan lagi.
Berbagai Peran Strategis
Baik secara fisik maupun non-fisik, Masjid Agung bandung mestinya memang mampu memiliki berbagai peran strategis bagi kawasan sekitarnya, bahkan Kota Bandung dan penduduknya. Sudah semestinya masjid ini direncanakan dengan baik dan seksama, baik menyangkut fisik (ruang dan bentuk arsitekturnya), hingga rancangan non fisik seperti aspek-aspek manajemen pengelolaannya.
Peran-peran di bawah ini diungkapkan sekadar sebagai awal sebuah diskursus, yang diharapkan bisa menjadi bahan renungan kembali dan pemikiran kembali, hingga akhirnya diambil langkah-langkah lebih lanjut sebagai upaya-upaya perbaikan dari kekurangan-kekurangan yang telah ada. Beberapa peran yang dimiliki tersebut antara lain:
Pertama, Masjid Agung Bandung sebagai Pembentuk Ruang Kota. Di sini, keberadaan Masjid agung bandung selain akan memberi penunjuk arah bagi orientasi kawasan, juga akan mampu memberi warna tersendiri bagi pembentukan ruang-ruang kota. Apalagi dalam setting masjid yang unik di tengah-tengah kawasan komersial ini.
Dengan arah orientasinya yang khas (kiblat) maka bentuk-bentuk ruang kota yang tercipta pun akan menjadi khas karena keberadaannya. Sehingga, sebagai pembentuk ruang kota, masjid ini di masa depan diharapkan bisa menjadi `sentral` dari kawasan ini. Bagi pemerintah daerah kota Bandung, usaha ini tentu menarik karena selain memberikan kekhasan dari pembentukan ruang-ruang kota, juga menjadi ciri religius sebuah kota.
Kedua, Masjid Agung Bandung sebagai symbol/Icon. Keberadaan masjid di tengah-tengah kawasan komersial ini diharapkan mampu memberikan cirri dan symbol religiusitas secara fisik. Melalui ekspresi religiusitas yang kuat, ia akan mampu memberikan legitimasi tersebut dan meningkatkan syiarnya. Memang symbol saja tidak cukup, artinya harus juga diikuti dengan esensi, aktifitas, manajemen pengelolaan, pelayanan, dan sebagainya.
Ketiga, Masjid Agung Bandung sebagai oase kawasan. Di tengah-tengah kawasan hiruk-pikuk aktifitas komersial sebagaimana telah banyak diilustrasikan di atas, masjid agung bisa menjadi oase di tengah-tengah kawasan tersebut. Oase ini bisa berarti oase psikologis, fikiran, bahkan juga oase fisik.
Di tengah-tengah situasi itu, dan melalui suara adzan yang merdu menyusup lembut di antara hiruk-pikuk itu, hamba Allah berhenti sejenak melepaskan segala kepenatan, kebisingan, persaingan, dan segala hal yang bersifat duniawi untuk bersujud di hadapan-Nya. Lalu didapatinya suatu kesegaran baru, untuk berangkat menuju aktifitas rutinnya kembali. Di sinilah terciptanya keseimbangan yang dapat dicapai dengan adanya masjid. Betapa pentingnya oase ini dan betapa diperlukannya oase itu di sini.
Keempat, Masjid Agung Bandung sebagai orientasi. Masjid agung yang dibangun sesuai dengan arah orientasi yang benar yakni ke arah Kiblat, menjadikan masjid ini bisa menjadi petunjuk arah orientasi secara fisik bagi bangunan, ruang kawasan hingga kota.
Ketika seseorang kehilangan arah orientasi di dalam kota karena terdapat banyaknya gedung-gedung tinggi dalam kawasan bisnis ini, maka masjid mampu menunjukkan dan menjelaskan melalui arah orientasinya. Hal ini disebabkan karena masjid berbeda dengan bangunan religius lainnya, masjid memiliki pedoman yang menyebabkannya harus berorientasi pada satu arah yakni Kiblat (Ka`bah).
Kelima, Masjid Agung Bandung sebagai ruh/ecclesia kawasan, kota dan seluruh penduduknya. Keberadaan masjid bisa menjadi pemberi ruh/jiwa yang menguatkan spiritualitas kawasan, kota dan masyarakat Bandung. Aktifitas yang dikelola di masjid dengan baik akan memberikan suntikan berharga bagi mereka. Patut ditingkatkan berbagai majlis ta`lim maupun kegiatan-kegiatan lainnya terutama pada saat-saat ramainya kawasan ini.
Keenam, Masjid Agung Bandung sebagai generator aktifitas ekonomi. Di sadari atau tidak keberadaan Masjid Agung Bandung memungkinkan peningkatan pertumbuhan aktifitas ekonomi karena adanya kebutuhan-kebutuhan baru. Jika masjid memiliki berbagai fasilitas yang representatif dan yang lebih penting mampu dikelola dengan baik, sehingga masjid menjadi lebih ramai dikunjungi orang, maka dengan bertambahnya jumlah manusia yang dating, otomastis akan bertambah banyak pula berbagai macam kebutuhan. Selanjutnya aktifitas jual beli juga akan meningkat atau bertambah ramai. Karena pada dasranya antara masjid dan bazaar (pasar) memang tumbuh bersama.
Ketujuh, Masjid Agung bandung sebagai media. Di masjid tidak ada perbedaan tingkat, pangkat, jabatan, keturunan, kekayaan, warna kulit, dan segala macam atribut lainnya. Semua manusia berkeddudukan sama sisi Tuhan, seperti ajaran Islam itu sendiri yang tidak pernah membedakan hal-hal tersebut kecuali perbedaan itu terletak pada ketaqwaan di antara mereka. Siapa pun yang berangkat lebih dulu maka ia berhak menempati barisan/shaf paling depan, sehingga menjadi paling mulia pada saat shalat Jum`at misalnya.
Kondisi lingkungan di luar masjid yang selama ini tidak pernah atau sulit diperolehnya titik temu antara dua kutub yang berbeda, maka sangat mungkin tercapai di dalam masjid dengan karakter seperti itu. Misalnya, suatu kesempatan bisa terjadi direktur bertemu dengan para pegawainya, antara atasan dan bawahan bisa bertemu dalam suasana kebersamaan yang tidak ada perbedaan di antara mereka karena semua sama sebagai hamba Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dari pertemuan itu, akan sangat mungkin terjadinya komunikasi yang baik dengan landasan kebersamaan Iman, kemudian berbicara dari hati ke hati untuk memecahkan persoalan bersama. Komunikasi itu tidak dalam suasana batasan-batasan psikologis, atau bahkan perintah, instruksi dan struktural lainnya yang kadang kala sering menghambat komunikasi tersebut. Oleh karena itu, masjid Agung mampu menjadi media komunikasi sosial ini. Ia mampu menjadi media pemecahan masalah bersama yang terjadi di luar masjid khususnya dalam kawasan bisnis ini.
Kesemuanya peran itu menjadikan masjid Agung Bandung jelas memiliki peran yang sangat strategis bagi kawasan pusat kota khususnya, dan seluruh Kota Bandung beserta penduduknya pada umumnya. Maka tak ada pilihan lain baginya kecuali jadikan ia landmark kawasan tersebut. Optimalkan peran-peran yang dimungkinkannya baik secara fisik maupun non fisik, sehingga mampu meningkatkan syiar dan ciri religius Kota Bandung.
Semoga hal ini menjadi tambahan masukan bagi pihak-pihak yang berwenang untuk menangani dan mengelola Masjid Agung Bandung di masa yang akan datang. Bagaimanapun harus dimulai dari sekarang, seperti perencanaan yang matang baik fisik maupun non fisik Masjid Agung Bandung di masa depan. Masyarakat Bandung dan semua pihak menunggu serta berharap hasil yang terbaik. Kita tunggu!
***
Bambang Setia Budi
Staf Pengajar Departemen Arsitektur ITB
Published @ Pikiran Rakyat
6 Februari 2001
Letak Masjid Agung Bandung yang berada di tengah-tengah kegiatan komersial yang amat padat, merupakan ciri utama yang dimiliki Masjid Agung bandung. Di tengah hiruk-pikuk kawasan perbelanjaan atau `shopping`, perkantoran, perbankan, hiburan, dan segala macam bisnis lainnya termasuk tempat berjubelnya kaki lima yang merampas hampir seluruh trotoar pejalan kaki, masjid agung berada di sana.
Tanpa disadari, hari demi hari tampilan masjid semakin seperti tenggelam dalam lautan hiruk pikuk segala macam aktifitas tersebut di atas. Apalagi setelah dibangunnya pagar yang tinggi di depan/sebelah timur bangunan masjid, maka masjid agung seperti hendak menghindar dari tekanan-tekanan dari luar yang boleh jadi memang mengganggu. Faktor keamanan misalnya, memang suatu hal yang perlu diselesaikan. Tetapi inilah kenyataan itu!
Dalam tampilan dan ekspresi masjid di tengah-tengah makin padatnya aktifitas bisnis seperti itu, masjid agung memang seperti ibarat seorang sufi yang hendak mengucilkan diri karena khawatir akan dosa dan godaan-godaan dunia. Maka ia perlu membentengi dirinya, kalau perlu tidak bergaul/berhubungan dengan dunia `luar` darinya dengan benteng tinggi nan kokoh yang dimiliki.
Untung saja ia bukan seperti sufi yang lari dari kenyataan hidup, sampai pergi untuk meninggalkan dunia, lari ke hutan-hutan hingga mati di sana. Dengan kata lain, untung saja lokasi masjid agung tidak dipindahkan dari lokasi tersebut karena tekanan sosial ekonomi. Karena walau bagaimanapun, letak masjid agung sejak hampir dua abad yang lalu tetap di situ. Posisinya tidak berubah kecuali perubahan bentuk dan bongkar pasang secara fisik.
Setting seperti itu, sebenarnya bisa menjadi kendala tetapi juga sekaligus tantangan tersendiri dalam perencanaan ke depannya. Bagaimanapun setting lokasi seperti itu jarang dijumpai kesamaannya dengan masjid-masjid agung lainnya di Indonesia. Memang sudah demikian adanya, bahwa masyarakat Kota Bandung ditakdirkan memiliki masjid agung di tengah-tengah `urban mass` atau pusat kota. Bukankah ini merupakan tantangan menarik bagi rancangan di masa depannya?
Mari Menengok Preseden Sejarah
Jika kita menengok pada sejarah Islam, boleh jadi ungkapan bahwa agama Islam adalah agama `urban` barangkali ada benarnya. Maksudnya, ia justru berkembang pesat di kota-kota meski tanpa mengesampingkan desa-desa. Terbukti hadirnya pun di `kota` Mekah dan bahkan semakin berkembang pesat di `kota` Medinah. Mengapa tidak berkembang di kampung Badui Arab misalnya, karena penyebarannya barangkali justru bisa sangat lambat yang berlawanan dengan apa yang kita lihat selama ini.
Madinah sendiri secara leksikal berarti `kota`. Intelektual Muslim Nurcholish Madjid dalam `Islam, Doktrin, dan Peradaban (1992), menyebutkan Madinah berarti pula sebagai peradaban (madaniyah, tamaddun, civilization), pola di suatu tempat (hadlarah, sedentary), dan pola budaya masyarakat (tsaqofah, culture).
Dulu yang dilakukan Nabi Muhammad SAW pertama kali ketika hijrah ke Madinah adalah membangun masjid. Setelah itu membangun pasar dan pusat komersial, sebagaimana yang dijelaskan dalam sejarah bahwa pasar-pasar itu mampu menggeser pasar-pasar yang telah ada khususnya empat pasar Yahudi di Madinah. Bukankah ini juga menjadi pelajaran berharga bahwa edua aktifitas itu (masjid dan pasar) tidak dipisah-pisahkan dan justru harus diseimbangkan.
Eleanor Sims (1995) dalam Trade and Travel: Markets and Caravanserais menyebutkan bahwa bazaar dan masjid tumbuh bersama, kedua-duanya adalah tiang dalam kehidupan kota Islam, terpisah tetapi berdampingan secara harmoni.
Begitu pula dalam preseden sejarah, bahwa masjid-masjid besar di dunia Islam seringkali muncul pasar di sekitarnya. Memang sangat alamiah, ketika banyak orang ke masjid seperti shalat Jum`at misalnya, maka terbentuklah pasar dengan sendirinya. Terdapat pula di dalam Al-Qur`an yang menyebutkan bahwa setelah ditunaikannya shalat Jum`at, maka disuruh setiap hamba itu untuk bergegas-gegas, mencari karunia-Nya.
Dari konsep itu, tentu gagasan Masjid Agung Bandung masa depan sebaiknya perlu diintegrasikan keberadaan dengan lingkungan sekitarnya. Jadi tidak memisahkan diri atau malah meninggalkan lokasinya sekarang ini (dipindah).Yang berarti juga bahwa masjid harus diintegrasikan keberadaannya dengan hiruk-pikuknya aktifitas komersial. Tentu bukan berarti digabung, tetapi diintegrasikan secara serasi, harmoni dan seirama. Syiar-syiarnya juga harus lebih ditampakkan. Berarti pula bahwa ciri religius dalam ruang dan bentuk arsitektur serta ruang kotanya perlu lebih diekspresikan sehingga tampil menjadi sentral kawasan pusat kota khususnya dan Kota bandung pada umumnya.
Dalam perjalanan sejarah yang hampir melampaui masa dua abad, Masjid Agung Bandung pernah mengalami `zaman keemasan` yakni ketika dipimpin oleh ulama yang juga sastrawan dan filosof Hoofd Penghulu Bandung Haji Hasan Mustafa.
Masjid Agung di tahun 1930-an tersebut paling menonjol fungsinya sebagai pusat ibadah dan social penduduk kota. Gaung kohkol dan bedugnya masih terdengar di seantero penjuru kota. Masjid menjadi tempat merayakan Mauludan, Rajaban, Shalat Ied dan belajar mengaji. Ia juga menjadi tempat baitul mal yang menerima zakat fitrah dan mengurusi kesejahteraan umat (Kunto, 1996:13). Istilah ke `Bale Nyungcung` orang berakad nikah, juga sangat terkenal pada saat itu. Semoga masjid agung masa depan kembali menduduki fungsinya seperti itu bahkan lebih ditingkatkan lagi.
Berbagai Peran Strategis
Baik secara fisik maupun non-fisik, Masjid Agung bandung mestinya memang mampu memiliki berbagai peran strategis bagi kawasan sekitarnya, bahkan Kota Bandung dan penduduknya. Sudah semestinya masjid ini direncanakan dengan baik dan seksama, baik menyangkut fisik (ruang dan bentuk arsitekturnya), hingga rancangan non fisik seperti aspek-aspek manajemen pengelolaannya.
Peran-peran di bawah ini diungkapkan sekadar sebagai awal sebuah diskursus, yang diharapkan bisa menjadi bahan renungan kembali dan pemikiran kembali, hingga akhirnya diambil langkah-langkah lebih lanjut sebagai upaya-upaya perbaikan dari kekurangan-kekurangan yang telah ada. Beberapa peran yang dimiliki tersebut antara lain:
Pertama, Masjid Agung Bandung sebagai Pembentuk Ruang Kota. Di sini, keberadaan Masjid agung bandung selain akan memberi penunjuk arah bagi orientasi kawasan, juga akan mampu memberi warna tersendiri bagi pembentukan ruang-ruang kota. Apalagi dalam setting masjid yang unik di tengah-tengah kawasan komersial ini.
Dengan arah orientasinya yang khas (kiblat) maka bentuk-bentuk ruang kota yang tercipta pun akan menjadi khas karena keberadaannya. Sehingga, sebagai pembentuk ruang kota, masjid ini di masa depan diharapkan bisa menjadi `sentral` dari kawasan ini. Bagi pemerintah daerah kota Bandung, usaha ini tentu menarik karena selain memberikan kekhasan dari pembentukan ruang-ruang kota, juga menjadi ciri religius sebuah kota.
Kedua, Masjid Agung Bandung sebagai symbol/Icon. Keberadaan masjid di tengah-tengah kawasan komersial ini diharapkan mampu memberikan cirri dan symbol religiusitas secara fisik. Melalui ekspresi religiusitas yang kuat, ia akan mampu memberikan legitimasi tersebut dan meningkatkan syiarnya. Memang symbol saja tidak cukup, artinya harus juga diikuti dengan esensi, aktifitas, manajemen pengelolaan, pelayanan, dan sebagainya.
Ketiga, Masjid Agung Bandung sebagai oase kawasan. Di tengah-tengah kawasan hiruk-pikuk aktifitas komersial sebagaimana telah banyak diilustrasikan di atas, masjid agung bisa menjadi oase di tengah-tengah kawasan tersebut. Oase ini bisa berarti oase psikologis, fikiran, bahkan juga oase fisik.
Di tengah-tengah situasi itu, dan melalui suara adzan yang merdu menyusup lembut di antara hiruk-pikuk itu, hamba Allah berhenti sejenak melepaskan segala kepenatan, kebisingan, persaingan, dan segala hal yang bersifat duniawi untuk bersujud di hadapan-Nya. Lalu didapatinya suatu kesegaran baru, untuk berangkat menuju aktifitas rutinnya kembali. Di sinilah terciptanya keseimbangan yang dapat dicapai dengan adanya masjid. Betapa pentingnya oase ini dan betapa diperlukannya oase itu di sini.
Keempat, Masjid Agung Bandung sebagai orientasi. Masjid agung yang dibangun sesuai dengan arah orientasi yang benar yakni ke arah Kiblat, menjadikan masjid ini bisa menjadi petunjuk arah orientasi secara fisik bagi bangunan, ruang kawasan hingga kota.
Ketika seseorang kehilangan arah orientasi di dalam kota karena terdapat banyaknya gedung-gedung tinggi dalam kawasan bisnis ini, maka masjid mampu menunjukkan dan menjelaskan melalui arah orientasinya. Hal ini disebabkan karena masjid berbeda dengan bangunan religius lainnya, masjid memiliki pedoman yang menyebabkannya harus berorientasi pada satu arah yakni Kiblat (Ka`bah).
Kelima, Masjid Agung Bandung sebagai ruh/ecclesia kawasan, kota dan seluruh penduduknya. Keberadaan masjid bisa menjadi pemberi ruh/jiwa yang menguatkan spiritualitas kawasan, kota dan masyarakat Bandung. Aktifitas yang dikelola di masjid dengan baik akan memberikan suntikan berharga bagi mereka. Patut ditingkatkan berbagai majlis ta`lim maupun kegiatan-kegiatan lainnya terutama pada saat-saat ramainya kawasan ini.
Keenam, Masjid Agung Bandung sebagai generator aktifitas ekonomi. Di sadari atau tidak keberadaan Masjid Agung Bandung memungkinkan peningkatan pertumbuhan aktifitas ekonomi karena adanya kebutuhan-kebutuhan baru. Jika masjid memiliki berbagai fasilitas yang representatif dan yang lebih penting mampu dikelola dengan baik, sehingga masjid menjadi lebih ramai dikunjungi orang, maka dengan bertambahnya jumlah manusia yang dating, otomastis akan bertambah banyak pula berbagai macam kebutuhan. Selanjutnya aktifitas jual beli juga akan meningkat atau bertambah ramai. Karena pada dasranya antara masjid dan bazaar (pasar) memang tumbuh bersama.
Ketujuh, Masjid Agung bandung sebagai media. Di masjid tidak ada perbedaan tingkat, pangkat, jabatan, keturunan, kekayaan, warna kulit, dan segala macam atribut lainnya. Semua manusia berkeddudukan sama sisi Tuhan, seperti ajaran Islam itu sendiri yang tidak pernah membedakan hal-hal tersebut kecuali perbedaan itu terletak pada ketaqwaan di antara mereka. Siapa pun yang berangkat lebih dulu maka ia berhak menempati barisan/shaf paling depan, sehingga menjadi paling mulia pada saat shalat Jum`at misalnya.
Kondisi lingkungan di luar masjid yang selama ini tidak pernah atau sulit diperolehnya titik temu antara dua kutub yang berbeda, maka sangat mungkin tercapai di dalam masjid dengan karakter seperti itu. Misalnya, suatu kesempatan bisa terjadi direktur bertemu dengan para pegawainya, antara atasan dan bawahan bisa bertemu dalam suasana kebersamaan yang tidak ada perbedaan di antara mereka karena semua sama sebagai hamba Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dari pertemuan itu, akan sangat mungkin terjadinya komunikasi yang baik dengan landasan kebersamaan Iman, kemudian berbicara dari hati ke hati untuk memecahkan persoalan bersama. Komunikasi itu tidak dalam suasana batasan-batasan psikologis, atau bahkan perintah, instruksi dan struktural lainnya yang kadang kala sering menghambat komunikasi tersebut. Oleh karena itu, masjid Agung mampu menjadi media komunikasi sosial ini. Ia mampu menjadi media pemecahan masalah bersama yang terjadi di luar masjid khususnya dalam kawasan bisnis ini.
Kesemuanya peran itu menjadikan masjid Agung Bandung jelas memiliki peran yang sangat strategis bagi kawasan pusat kota khususnya, dan seluruh Kota Bandung beserta penduduknya pada umumnya. Maka tak ada pilihan lain baginya kecuali jadikan ia landmark kawasan tersebut. Optimalkan peran-peran yang dimungkinkannya baik secara fisik maupun non fisik, sehingga mampu meningkatkan syiar dan ciri religius Kota Bandung.
Semoga hal ini menjadi tambahan masukan bagi pihak-pihak yang berwenang untuk menangani dan mengelola Masjid Agung Bandung di masa yang akan datang. Bagaimanapun harus dimulai dari sekarang, seperti perencanaan yang matang baik fisik maupun non fisik Masjid Agung Bandung di masa depan. Masyarakat Bandung dan semua pihak menunggu serta berharap hasil yang terbaik. Kita tunggu!
***
Bambang Setia Budi
Staf Pengajar Departemen Arsitektur ITB
Published @ Pikiran Rakyat
6 Februari 2001
Tuesday, November 01, 2005
TINJAUAN ARSITEKTUR MASJID AGUNG BANDUNG DARI MASA KE MASA
oleh Bambang Setia Budi
Suara adzan menyusup di sela-sela keramaian pasar dan pertokoan di pusat kota Bandung. Suara yang tak lain berasal dari menara Masjid Agung Bandung itu sekan-akan hendak menyela segala kesibukan dan menyadarkan setiap telinga di setiap sudut pusat perbelanjaan di kota bunga tersebut akan salah satu kewajiban setiap muslim untuk menegakkan shalat.
Suara itu juga sekaligus mengingatkan khalayak akan eksistensi sebuah `Masjid Agung` di tengah-tengah keramaian kawasan ini. Benar, masjid ini memang memerlukan berbagai bahasa ungkapan (termasuk bahasa arsitektur) sehingga eksistensinya memang dirasakan di kawasan pusat kota ini.
Padahal, keberadaan Masjid Agung Bandung dulunya bukan hanya dirasakan di kawasan pusat kota saja, tetapi hampir ke seluruh penduduk kota Bandung. Halamannya luas, atapnya menjulang tinggi ke langit (bale nyungcung) nampak jelas keberadaan sebuah bangunan `Masjid Agung`. Bahkan gaung kohkol (kentongan) dan bedugnya saja terdengar hingga ke Dago Simpang, Manteos (Jl. Siliwangi), Terpedo (Wastukencana), Kebon the (Rancabadak), Bronbeek (Sukajadi) dan Cibarengkok. Semua terletak jauh di wilayah Bandung Utara. Pendeknya, gaungnya hingga terdengar hingga seantero kota. Begitu menurut tulisan-tulisan Kuncen Bandung Alm. Haryoto Kunto.
Masjid menjadi salah satu saksi dan sekaligus obyek sejarah perkembangan pusat kota ini sejak hampir dua abad yang lalu. Masjid menjadi obyek sejarah karena ia juga telah mengalami berkali-kali perubahan dan perombakan baik sedikit maupun banyak. Siapa sangka, penampilannya yang tersembunyi seperti sekarang ini telah mengalami berkali-kali perombakan. Tercatat paling sedikit tujuh kali perombakan sejak pertama kali didirikan yakni di abad ke-19 tiga kali perombakan dan di abad ke-20 empat kali perombakan.
Tulisan ini hendak mencoba menjelaskan berbagai perubahan dan perombakan secara kronologis baik sedikit maupun banyak (total). Di sini tidak difokuskan pada ke tujuh kali perombakan tersebut, namun paling tidak secara deskriptif akan dipaparkan kronologi perubahan dan perkembangannya sekaligus dengan berbagai latar belakang yang mengiringinya. Sebenarnya paling tidak terdapat dua kali perombakan yang bersifat total yakni pada tahun 1955 saat akan dilangsungkannya Konferensi Asia Afrika di Bandung dan pada tahun 1973 melalui SK Gubernur Kepala DATI I Jabar. Selengkapnya akan dipaprkan dalam tulisan singkat ini.
Akhirnya penulis berharap tulisan ini dapat memberi masukan sekecil apapun bagi pihak-pihak yang berwenang untuk mengelola dan merencanakan masa depan Masjid Agung Bandung yang lebih baik, karena konon dalam waktu dekat masjid akan mengalami renovasi (besar-besaran?) kembali.
Bale Nyungcung
Dari beberapa sumber sejarah, Masjid Agung Bandung didirikan pada tahun 1810. Memang banyak pula yang menyebut tahun 1812, namun sampai saat ini dapat diketahui secara pasti siapa yang membangun atau yang menggagas pertama kali. Saat itu masjid masih berupa bangunan panggung tradisional sederhana yang terbuat dari bambu dan beratap rumbia. Pada saat itu, masjid diperkirakan memiliki bentuk atap yang masih sangat sederhana.
Namun pada sekitar bangunan masjid sederhana itu, ada yang menarik yakni terdapatnya kolam kolam besar nan luas sebagai tempat mengambil air wudlu. Ini menjadi salah satu tanda bahwa bangunan tersebut adalah tempat ibadah, karena masjid-masjid jaman dulu biasanya memiliki kolam besar sebagai tempat wudlu di depan atau di sampingnya.
Ketika kawasan alun-alun Bandung mengalami kebakaran besar pada tahun 1825, kolam tempat mengambil air wudlu ini sangat bermanfaat bagi warga untuk memadamkan api sehingga berhasil dipadamkan.
Gb 1. Masjid Agung Bandung untuk pertama kalinya terekam dalam sebuah litho pelukis Inggris W. Spreat yang dibuat pada tahun 1852. Tampak atap masjid ”bale nyungcung”. (Sumber: Haryoto Kunto)
Menurut catatan Dr. Andries de Wilde, “Sang Tuan Tanah Bandung Raya” (1930), masjid agung di alun-alun berhadap-hadapan dan berpapasan dengan Bale bandung. Masjid terletak di sebelah barat alun-alun Kota Bandung, sedangkan Bale bandung yang berfungsi sebagai tempat pertemuan dan menerima tamu penting terletak di sebelah timur alun-alun alun-alun (Kunto, 1996).
Dari sini bisa kita lihat posisinya yang cukup penting dalam pusat kota pada waktu itu. Keberadaan masjid memang erat kaitannya dengan pembuatan alun-alun Kota Bandung, yakni sebagai salah satu pelengkap tata ruang pusat pemerintahan di Jaman pemerintahan kolonial Belanda.
Pada tahun 1826, bangunan masjid agung secara berangsur-angsur diganti dari bahan bilik dan bamboo menjadi bangunan berkonstruksi kayu. Di susul pada tahun 1850, bangnan-bangunan di sekitar alun-alun dan Groote postweg (sekarang jalan Asia-Afrika) direnovasi dan ditingkatkan kualitas bahan bangunannya. Bersamaan dengan itu, sebagai arsitek Bupati R.A. Wiranatakusumah IV (1846-1847), merenovasi bangunan masjid agung dan pendopo kabupaten. Perombakan pada masjid agung berupa penggantian material atap dengan genting dan dinding dengan tembok batu-bata.
Inilah penampilan bentuk dan ekspresi Masjid Agung Bandung pada tahun 1850-an yang untuk pertama kalinya terekam dalam sebuah gambar, yakni litho pelukis Inggris W. Spreat yang dibuat pada tahun 1852 (gb.1).
Di sini terlihat bahwa masjid agung beratap tumpang tiga, memiliki halaman luas, dikelilingi pohon bambu dan kelapa serta di depannya terdapat gerbang yang diapit dua pohon beringin. Dari lukisan itu dapat juga kita lihat bahwa masjid agung merupakan bangunan tunggal, berskala besar/monumental. dengan semacam pendopo di depannya. Secara umum, atap tumpang yang tinggi dan besar serta deretan kolom di sekeliling masjid memberi ciri penting yang dapat kita tangkap pada penampilan dan ekpresi bangunan masjid pada saat itu.
Khusus pada atap, di sini sudah memperlihatkan bentuk atap tumpang tiga yang tinggi seperti “Bale Nyungcung” yang makin terkenal di kemudian hari. Ekspresinya ditunjukkan dengan atap tinggi menjulang ke atas namun pada bagian ujung bawah setiap lapisan atap tumpukan berbelok ke arah mendatar/horizontal dengan cepat.
Bentuk dan ekspresi atap seperti itu, tampak makin terlihat pada tahun 1875 seperti yang ditunjukkan pada foto lama di tahun yang sama (lihat gb. 2). Selain lapisan atap tumpukan yang sudah `nyungcung`, pada bagian ujung bawah lapisan atap pertama juga makin jelas menunjukkan belokan atap ke arah lebih mendatar.
Gb. 2. Masjid Agung Bandung pada foto tahun 1875. Tampak jelas deretan kolom-kolom ”doric” Yunani. (Sumber: KITLV Leiden)
Selain atap, di sini juga memperlihatkan adanya beberapa perubahan lainnya seperti: adanya semacam tembok/pagar yang mengelilingi pendopo/serambi luar masjid setinggi satu hingga satu setengah meter. Ini boleh jadi bukan sekadar tembok/pagar, tetapi juga berfungsi sebagai tempat duduk-duduk dari pondasi yang ditinggikan yang sekaligus mampu menahan kolom-kolom/tiang-tiang. Dugaan ini bisa dilihat pada gambar, di mana kolom-kolom/tiang-tiang terlihat menunjukkan ukuran dan proporsi yang pendek dan bagian bawahnya diperbesar yang ditumpu pada `tembok` tersebut.
Memasuki pada abad ke-20, tepatnya pada tahun 1900 Masjid Agung Bandung mulai dikenal menjadi tempat ibadah yang representatif buat sebuah ibukota Priangan (Kunto, 1996). Masjid dilengkapi dengan cirri masjid tradisional tradisional yang sangat kental. Antara lain: denah empat persegi panjang, mihrab, pawestren, bedug dan kentongan, bangunan menghadap ke timur tepat, ada makam, benteng, dan tidak bermenara (Graaf, 1947).
Mendekati tahun 1930-an, masjid agung semakin terkenal dan sangat menonjol dalam fungsi, aktifitas, dan kegiatan-kegiatannya. Ini dibuktikan dengan ramai dan makmurnya masjid oleh para penduduk kota Bandung. Bahakn konon masjid agung pada saat itu mengalami semacam `zaman keemasan` sebagai pusat ibadan dan social penduduk kota (Kunto, 1996). Masjid dipakai orang untuk berakad nikah, menjadi tempat merayakan Mauludan, Rajaban, Shalat Ied dan belajar mengaji, serta menjadi baitul mal yang menerima zakat fitrah dan mengurus kesejahteraan umat.
Secara fisik, pada tahun 1930 inilah Masjid Agung Bandung mulai ditambahi dengan bangunan pendopo yang di sebelah ujung kanan dan kirinya dibuat menara pendek dan kembar. Sepasang menara kembar tersebut semakin memperkuat kesan simetri bangunan masjid.
Atap bangunannya pun berubah ekspresinya semakin `nyungcung` yang ditunjukkan dengan atap tinggi menjulang ke atas dengan sudut kemiringan semakin curam, dan begitu sebaliknya pada bagian ujung bawah setiap lapisan tumpukan berbelok ke arah mendatar/horizontal . Sepasang menara kembar di kiri dan kana bangunan tadi pun diberi pula atap yang sama bentuk dan ekpresinya `nyungcung` sehingga tampil serasi dan menarik (gb. 3).
Gb. 3. Masjid Agung Bandung pada foto tahun 1935. Terjadi perubahan pada atap yang semakin menjulang dan adanya penambahan menara kembar di depan masjid. (Sumber: Haryoto Kunto)
Dari segi bentuk dan ekspresi bangunan, mungkin pada penampilan bangunan pada saat itulah yang memperlihatkan bentuk paling anggun dan menarik dibandingkan sebelumnya. Lebih dari itu, inilah barangkali perkembangan bentuk terakhir dari masjid Agung Bandung ketika masih beratap `Bale Nyungcung`, karena pada perkembangan berikutnya bentuk atap seperti ini sudah tidak ditemui lagi.
Sementara itu, penggunaan tiang-tiang luar masjid juga semakin tampak jelas yang ditata mengikuti irama tertentu. Penggunaan tiang-tiang itu sedikit banyak mengindikasikan pengaruh idiom India `Gupta`. Tiang-tiang ini juga secara jelas menumpu pada `tembok/pagar` seperti telah dijelaskan di atas.
Pada masa ini pula bangunan masjid agung dan bahkan hampir seluruh bangunan sekeliling alun-alun diberi pagar tembok berlubang-lubang berornamen sisik ikan hasil rancangan arsitek Belanda terkenal Henry Maclaine Pont. Motif sisik ikan ini kemudian untuk beberapa saat menjadi ragam hias khas pagar-pagar di wilayah Priangan sehingga dapat dijumpai di mana-mana termasuk hingga Cianjur dan Garut.
Rombak Total Pertama
Soekarno setelah mendapat gelar Civiel Ingenieur (Ir.) dari Technische Hogheschool (THS atau ITB sekarang) di tahun 1925, pernah memiliki obsesi untuk membangun Masjid Agung Bandung yang megah bersama Ir. Rosseno (rekannya dalam mendirikan biro arsitek) yang konon akan memakan biaya satu setengah juta gulden.
Pengumpulan dananya direncanakan dengan cara menjual perangko dari seri setalen (25 sen), seketip (50 sen), dan serupiah (100 sen). Namun program tersebut gagal karena dijegal pemerintah Belanda dengan aturan pelarangan pengumpulan fonds (dana). Bahkan Asisten Wedana yang telah menyetujui program tersebut juga ditekan pemerinta kolonial Belanda.
Awal tahun 1954, Gubernur Jawa Barat mengadakan rapat Panitia Perbaikan Masjid Agung Bandung dalam rangka Konferensi Asia Afrika di Gedung pakuan. Presiden Soekarno sempat memaparkan gagasannya pada kesempatan itu. Bahkan pada pertemuan itu pula diperlihatkan pada hadirin gambar bestek Masjid Agung Bandung garapan Soekarno.
Mengingat terbatasnya anggaran biaya Negara dan waktu pembangunan yang amat mendesak, maka hanya sedikit saja gagasan Soekarno yang dapat terlaksana. Itupun hanya menyangkut gubahan massa yang terdiri dari satu bangunan induk dengan kubah “bawang” yang dilengkapi dengan menara tunggal. Agaknya kehadiran kubah bawang di atas Masjid Agung Bandung pada periode 1955-1970, mungkin sekali atas usulan Soekarno (Kunto, 1996).
Pada tahun 1955 ini, penampilan masjid jelas mengalami perubahan yang luar biasa disbanding dengan perubahan-perubahan sebelumnya ini. Tampak depan juga dirubah total. Kedua menara kecil di kanan dan di kiri masjid dibongkar. Serambi diperluas ke depan yang menyebabkan halaman menjadi lebih sempit, bahkan hampir seperti tidak lagi memiliki halaman depan! Ruang panjang kiri dan kanan (pawestren) dijadikan satu bangunan induk, sehingga bangunan masjid menjadi sebuah massa tunggal. Bangunan baru ini dilengkapi menara berpuncak kubah bawang di sebelah selatan masjid. Perubahan yang paling spektakuler adalah bentuk atap bangunan induk yang sudah lebih dari seabad berbentuk `Bale Nyungcung` diganti dengan kubah segi empat bergaya Timur-tengah (gb. 4).
Gb 4. Foto Masjid Agung Bandung pada tahun 1955, sesaat sebelum diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika. Di sini terjadi perubahan besar-besaran, dari atap bale nyungcung ke atap kubah. (Sumber: Haryoto Kunto)
Perubahan atap dari `bale Nyungcung` ke atap kubah segi empat seperti ini juga semakin memperkuat legitimasi penggunaan bentuk kubah bergaya Timur-tengah itu di pulau Jawa sebagai simbol sebuah masjid yang nantinya semakin kuat pada masa-masa mendatang. Karena pada sekitar tahun itu pula beberapa masjid di pulau Jawa dibangun juga dengan atap kubah seperti Masjid Syuhada (1952) di Yogyakarta dan Masjid Al-Azhar (1956) di Kebayoran Baru, Jakarta.
Masjid Agung Bandung dalam penampilan seperti itulah saat dilangsungkannya Konferensi Asia Afrika di Kota Bandung. Masjid digunakan sebagai tempat shalat para tamu-tamu dari luar negeri, sejak saat itu Masjid Agung bandung mulai dikenal oleh dunia Islam meskipun bentuknya sudah jauh meninggalkan aslinya yang beratap `Bale Nyungcung`
Rombak Total Kedua
Pada perkembangannya atap kubah hasil perombakan tahun 1955 tersebut pernah rusak karena tertiup angin dan diperbaiki pada tahun 1965. Kemudian dipernaiki kembali bersamaan dengan perbaikan beberapa bagian masjid serta penambahan ruangan untuk kegiatan pendidikan (madrasah dan TK) dan poliklinik pada tahun 1967/1968. Akhirnya kubah bawang yang sudah diperbaiki itu pun akhirnya diganti dan sekaligus diubah dengan yang bukan kubah bawang lagi pada tahun 1970-1973. Artinya Atap kubah bawang itu hanya bertahan selama kurang lebih 15 tahun.
Pada tahun 1973 ini dilakukan perombakan total kembali berdasarkan SK Gubernur Kepala DATI I Jabar tahun 1973. Bangunan yang baru memiliki wajah dan bentuk yang sama sekali berbeda dengan bentuk masa sebelumnya. Hasil renovasi ini diresmikan pada tahun 1974 (gb. 5).
Gb 5. Masjid Agung Bandung pada penampilan di tahun 1974. Terjadi renovasi lagi secara besar-besaran. (Sumber: Haryoto Kunto)
Masjid diperluas lantainya (lagi), bahkan mulai dibangun bertingkat. Dibangun pula lantai basemen untuk tempat wudlu, sedangkan lantai dasar dipakai untuk ruang shalat utama dan kantor DKM. Sementara lantai di bagian atas difungsikan sebagai mezanin untuk tempat shalat yang berhubungan langsung dengan serambi luar. Serambi luar ini dihubungkan dengan jembatan beton ke arah alun-alun Bandung yang dapat kita lihat pada tampak muka masjid.
Menara yang lama dibongkar diganti dengan yang baru yang lebih tinggi di halaman depan sebelah kiri. Menara yang baru ini diberi ornamen shading dari logam yang konon sedang tren pada saat itu. Perubahan drastis terjadi kembali pada atap yakni atap kubah langsung diganti dengan atap yang merujuk kembali atap tumpang tetapi berbeda tampilan dan ekspresinya, katanya model joglo, sebutan sebagian orang.
Bangunan yang ada sekarang ini sebagian besar adalah hasil perombakan total pada tahun 1973 tersebut. Sayang, jembatan beton tersebut tampak kurang berfungsi sebagaimana mestinya sebuah jembatan untuk orang. Jembatan ini hampir selalu ditutup pagar, supaya orang tidak lewat/masuk dari arah alun-alun. Barangkali jembatan ini lebih tepat untuk menghubungkan massa bangunan dengan keberadaan alun-alun di sebelah timur bangunan dari pada sebagai jembatan penyeberangan atau menuju masjid. Artinya ia lebih tepat jika dibaca sebagai komposisi arsitektural katimbang diharapkan manfaatnya.
Pada akhir tahun 1980, penampilan masjid dirubah dengan selain diberikan finishing bahan dan detail-detail di dalam bangunan, juga ditambah fasade dinding pagar dan gerbang yang dilengkapi dengan pintu-pintu besi (gb. 6). Pagar dan gerbang ini cukup tinggi sehingga berkesan monumental. Elemen ini sangat tebal (tiga lapis?) sehingga juga berkesan masif seperti laiknya benteng yang tak ingin ditembus kecuali melalui pintu-pintu besi yang juga berskala monumental tersebut.
Gb. 6. Masjid Agung Bandung pada foto tahun 2001. (Foto: Indra Yudha)
Kenyataannya elemen pagar dan gerbang ini menjadi sangat mendominasi penampilan Masjid Agung Bandung pada saat ini. Dari jarak dekat, fasade atau tampak muka bangunan masjid tergantikan semuanya oleh tampak dinding pagar dan gerbang tersebut. Bahkan bangunan masjidnya sendiri nyaris tak terlihat, tertutup oleh elemen pagar dan gerbang tersebut, apalagi jika kita melihatnya dari jarak dekat seperti ini. Elemen ini sebenarnya cukup unik dan menarik namun juga berakibat penampilan masjid menjadi terlalu tertutup dan kurang mengundang bagi khalayak yang melintas di depannya.
Penambahan lainnya yang tak kalah menarik adalah adanya rangka besi berbentuk kubah pada puncak menara masjid. Boleh jadi karena dianggap tidak mudah untuk mengenali bahwa bangunan tersebut adalah masjid bagi orang kebanyakan karena tertutup pagar dan gerbang, maka penambahan kubah pada puncak menara tersebut dianggap dapat memberi tanda/simbol yang mempermudah pengidentifikasian oleh masyarakat kebanyakan dari mana-mana. Lebih unik lagi, hampir setiap rangka besi kubah diberi rangkaian lampu-lampu, sehingga pada malam hari nyala terang lampu yang membentuk gubahan bentuk kubah itu dapat dengan mudah dikenali oleh khalayak umum sebagai bangunan masjid dengan baik.
****
Bambang Setia Budi
Staf Pengajar Arsitektur ITB
published @Pikiran Rakyat, 3 Januari 2001
Suara adzan menyusup di sela-sela keramaian pasar dan pertokoan di pusat kota Bandung. Suara yang tak lain berasal dari menara Masjid Agung Bandung itu sekan-akan hendak menyela segala kesibukan dan menyadarkan setiap telinga di setiap sudut pusat perbelanjaan di kota bunga tersebut akan salah satu kewajiban setiap muslim untuk menegakkan shalat.
Suara itu juga sekaligus mengingatkan khalayak akan eksistensi sebuah `Masjid Agung` di tengah-tengah keramaian kawasan ini. Benar, masjid ini memang memerlukan berbagai bahasa ungkapan (termasuk bahasa arsitektur) sehingga eksistensinya memang dirasakan di kawasan pusat kota ini.
Padahal, keberadaan Masjid Agung Bandung dulunya bukan hanya dirasakan di kawasan pusat kota saja, tetapi hampir ke seluruh penduduk kota Bandung. Halamannya luas, atapnya menjulang tinggi ke langit (bale nyungcung) nampak jelas keberadaan sebuah bangunan `Masjid Agung`. Bahkan gaung kohkol (kentongan) dan bedugnya saja terdengar hingga ke Dago Simpang, Manteos (Jl. Siliwangi), Terpedo (Wastukencana), Kebon the (Rancabadak), Bronbeek (Sukajadi) dan Cibarengkok. Semua terletak jauh di wilayah Bandung Utara. Pendeknya, gaungnya hingga terdengar hingga seantero kota. Begitu menurut tulisan-tulisan Kuncen Bandung Alm. Haryoto Kunto.
Masjid menjadi salah satu saksi dan sekaligus obyek sejarah perkembangan pusat kota ini sejak hampir dua abad yang lalu. Masjid menjadi obyek sejarah karena ia juga telah mengalami berkali-kali perubahan dan perombakan baik sedikit maupun banyak. Siapa sangka, penampilannya yang tersembunyi seperti sekarang ini telah mengalami berkali-kali perombakan. Tercatat paling sedikit tujuh kali perombakan sejak pertama kali didirikan yakni di abad ke-19 tiga kali perombakan dan di abad ke-20 empat kali perombakan.
Tulisan ini hendak mencoba menjelaskan berbagai perubahan dan perombakan secara kronologis baik sedikit maupun banyak (total). Di sini tidak difokuskan pada ke tujuh kali perombakan tersebut, namun paling tidak secara deskriptif akan dipaparkan kronologi perubahan dan perkembangannya sekaligus dengan berbagai latar belakang yang mengiringinya. Sebenarnya paling tidak terdapat dua kali perombakan yang bersifat total yakni pada tahun 1955 saat akan dilangsungkannya Konferensi Asia Afrika di Bandung dan pada tahun 1973 melalui SK Gubernur Kepala DATI I Jabar. Selengkapnya akan dipaprkan dalam tulisan singkat ini.
Akhirnya penulis berharap tulisan ini dapat memberi masukan sekecil apapun bagi pihak-pihak yang berwenang untuk mengelola dan merencanakan masa depan Masjid Agung Bandung yang lebih baik, karena konon dalam waktu dekat masjid akan mengalami renovasi (besar-besaran?) kembali.
Bale Nyungcung
Dari beberapa sumber sejarah, Masjid Agung Bandung didirikan pada tahun 1810. Memang banyak pula yang menyebut tahun 1812, namun sampai saat ini dapat diketahui secara pasti siapa yang membangun atau yang menggagas pertama kali. Saat itu masjid masih berupa bangunan panggung tradisional sederhana yang terbuat dari bambu dan beratap rumbia. Pada saat itu, masjid diperkirakan memiliki bentuk atap yang masih sangat sederhana.
Namun pada sekitar bangunan masjid sederhana itu, ada yang menarik yakni terdapatnya kolam kolam besar nan luas sebagai tempat mengambil air wudlu. Ini menjadi salah satu tanda bahwa bangunan tersebut adalah tempat ibadah, karena masjid-masjid jaman dulu biasanya memiliki kolam besar sebagai tempat wudlu di depan atau di sampingnya.
Ketika kawasan alun-alun Bandung mengalami kebakaran besar pada tahun 1825, kolam tempat mengambil air wudlu ini sangat bermanfaat bagi warga untuk memadamkan api sehingga berhasil dipadamkan.
Gb 1. Masjid Agung Bandung untuk pertama kalinya terekam dalam sebuah litho pelukis Inggris W. Spreat yang dibuat pada tahun 1852. Tampak atap masjid ”bale nyungcung”. (Sumber: Haryoto Kunto)
Menurut catatan Dr. Andries de Wilde, “Sang Tuan Tanah Bandung Raya” (1930), masjid agung di alun-alun berhadap-hadapan dan berpapasan dengan Bale bandung. Masjid terletak di sebelah barat alun-alun Kota Bandung, sedangkan Bale bandung yang berfungsi sebagai tempat pertemuan dan menerima tamu penting terletak di sebelah timur alun-alun alun-alun (Kunto, 1996).
Dari sini bisa kita lihat posisinya yang cukup penting dalam pusat kota pada waktu itu. Keberadaan masjid memang erat kaitannya dengan pembuatan alun-alun Kota Bandung, yakni sebagai salah satu pelengkap tata ruang pusat pemerintahan di Jaman pemerintahan kolonial Belanda.
Pada tahun 1826, bangunan masjid agung secara berangsur-angsur diganti dari bahan bilik dan bamboo menjadi bangunan berkonstruksi kayu. Di susul pada tahun 1850, bangnan-bangunan di sekitar alun-alun dan Groote postweg (sekarang jalan Asia-Afrika) direnovasi dan ditingkatkan kualitas bahan bangunannya. Bersamaan dengan itu, sebagai arsitek Bupati R.A. Wiranatakusumah IV (1846-1847), merenovasi bangunan masjid agung dan pendopo kabupaten. Perombakan pada masjid agung berupa penggantian material atap dengan genting dan dinding dengan tembok batu-bata.
Inilah penampilan bentuk dan ekspresi Masjid Agung Bandung pada tahun 1850-an yang untuk pertama kalinya terekam dalam sebuah gambar, yakni litho pelukis Inggris W. Spreat yang dibuat pada tahun 1852 (gb.1).
Di sini terlihat bahwa masjid agung beratap tumpang tiga, memiliki halaman luas, dikelilingi pohon bambu dan kelapa serta di depannya terdapat gerbang yang diapit dua pohon beringin. Dari lukisan itu dapat juga kita lihat bahwa masjid agung merupakan bangunan tunggal, berskala besar/monumental. dengan semacam pendopo di depannya. Secara umum, atap tumpang yang tinggi dan besar serta deretan kolom di sekeliling masjid memberi ciri penting yang dapat kita tangkap pada penampilan dan ekpresi bangunan masjid pada saat itu.
Khusus pada atap, di sini sudah memperlihatkan bentuk atap tumpang tiga yang tinggi seperti “Bale Nyungcung” yang makin terkenal di kemudian hari. Ekspresinya ditunjukkan dengan atap tinggi menjulang ke atas namun pada bagian ujung bawah setiap lapisan atap tumpukan berbelok ke arah mendatar/horizontal dengan cepat.
Bentuk dan ekspresi atap seperti itu, tampak makin terlihat pada tahun 1875 seperti yang ditunjukkan pada foto lama di tahun yang sama (lihat gb. 2). Selain lapisan atap tumpukan yang sudah `nyungcung`, pada bagian ujung bawah lapisan atap pertama juga makin jelas menunjukkan belokan atap ke arah lebih mendatar.
Gb. 2. Masjid Agung Bandung pada foto tahun 1875. Tampak jelas deretan kolom-kolom ”doric” Yunani. (Sumber: KITLV Leiden)
Selain atap, di sini juga memperlihatkan adanya beberapa perubahan lainnya seperti: adanya semacam tembok/pagar yang mengelilingi pendopo/serambi luar masjid setinggi satu hingga satu setengah meter. Ini boleh jadi bukan sekadar tembok/pagar, tetapi juga berfungsi sebagai tempat duduk-duduk dari pondasi yang ditinggikan yang sekaligus mampu menahan kolom-kolom/tiang-tiang. Dugaan ini bisa dilihat pada gambar, di mana kolom-kolom/tiang-tiang terlihat menunjukkan ukuran dan proporsi yang pendek dan bagian bawahnya diperbesar yang ditumpu pada `tembok` tersebut.
Memasuki pada abad ke-20, tepatnya pada tahun 1900 Masjid Agung Bandung mulai dikenal menjadi tempat ibadah yang representatif buat sebuah ibukota Priangan (Kunto, 1996). Masjid dilengkapi dengan cirri masjid tradisional tradisional yang sangat kental. Antara lain: denah empat persegi panjang, mihrab, pawestren, bedug dan kentongan, bangunan menghadap ke timur tepat, ada makam, benteng, dan tidak bermenara (Graaf, 1947).
Mendekati tahun 1930-an, masjid agung semakin terkenal dan sangat menonjol dalam fungsi, aktifitas, dan kegiatan-kegiatannya. Ini dibuktikan dengan ramai dan makmurnya masjid oleh para penduduk kota Bandung. Bahakn konon masjid agung pada saat itu mengalami semacam `zaman keemasan` sebagai pusat ibadan dan social penduduk kota (Kunto, 1996). Masjid dipakai orang untuk berakad nikah, menjadi tempat merayakan Mauludan, Rajaban, Shalat Ied dan belajar mengaji, serta menjadi baitul mal yang menerima zakat fitrah dan mengurus kesejahteraan umat.
Secara fisik, pada tahun 1930 inilah Masjid Agung Bandung mulai ditambahi dengan bangunan pendopo yang di sebelah ujung kanan dan kirinya dibuat menara pendek dan kembar. Sepasang menara kembar tersebut semakin memperkuat kesan simetri bangunan masjid.
Atap bangunannya pun berubah ekspresinya semakin `nyungcung` yang ditunjukkan dengan atap tinggi menjulang ke atas dengan sudut kemiringan semakin curam, dan begitu sebaliknya pada bagian ujung bawah setiap lapisan tumpukan berbelok ke arah mendatar/horizontal . Sepasang menara kembar di kiri dan kana bangunan tadi pun diberi pula atap yang sama bentuk dan ekpresinya `nyungcung` sehingga tampil serasi dan menarik (gb. 3).
Gb. 3. Masjid Agung Bandung pada foto tahun 1935. Terjadi perubahan pada atap yang semakin menjulang dan adanya penambahan menara kembar di depan masjid. (Sumber: Haryoto Kunto)
Dari segi bentuk dan ekspresi bangunan, mungkin pada penampilan bangunan pada saat itulah yang memperlihatkan bentuk paling anggun dan menarik dibandingkan sebelumnya. Lebih dari itu, inilah barangkali perkembangan bentuk terakhir dari masjid Agung Bandung ketika masih beratap `Bale Nyungcung`, karena pada perkembangan berikutnya bentuk atap seperti ini sudah tidak ditemui lagi.
Sementara itu, penggunaan tiang-tiang luar masjid juga semakin tampak jelas yang ditata mengikuti irama tertentu. Penggunaan tiang-tiang itu sedikit banyak mengindikasikan pengaruh idiom India `Gupta`. Tiang-tiang ini juga secara jelas menumpu pada `tembok/pagar` seperti telah dijelaskan di atas.
Pada masa ini pula bangunan masjid agung dan bahkan hampir seluruh bangunan sekeliling alun-alun diberi pagar tembok berlubang-lubang berornamen sisik ikan hasil rancangan arsitek Belanda terkenal Henry Maclaine Pont. Motif sisik ikan ini kemudian untuk beberapa saat menjadi ragam hias khas pagar-pagar di wilayah Priangan sehingga dapat dijumpai di mana-mana termasuk hingga Cianjur dan Garut.
Rombak Total Pertama
Soekarno setelah mendapat gelar Civiel Ingenieur (Ir.) dari Technische Hogheschool (THS atau ITB sekarang) di tahun 1925, pernah memiliki obsesi untuk membangun Masjid Agung Bandung yang megah bersama Ir. Rosseno (rekannya dalam mendirikan biro arsitek) yang konon akan memakan biaya satu setengah juta gulden.
Pengumpulan dananya direncanakan dengan cara menjual perangko dari seri setalen (25 sen), seketip (50 sen), dan serupiah (100 sen). Namun program tersebut gagal karena dijegal pemerintah Belanda dengan aturan pelarangan pengumpulan fonds (dana). Bahkan Asisten Wedana yang telah menyetujui program tersebut juga ditekan pemerinta kolonial Belanda.
Awal tahun 1954, Gubernur Jawa Barat mengadakan rapat Panitia Perbaikan Masjid Agung Bandung dalam rangka Konferensi Asia Afrika di Gedung pakuan. Presiden Soekarno sempat memaparkan gagasannya pada kesempatan itu. Bahkan pada pertemuan itu pula diperlihatkan pada hadirin gambar bestek Masjid Agung Bandung garapan Soekarno.
Mengingat terbatasnya anggaran biaya Negara dan waktu pembangunan yang amat mendesak, maka hanya sedikit saja gagasan Soekarno yang dapat terlaksana. Itupun hanya menyangkut gubahan massa yang terdiri dari satu bangunan induk dengan kubah “bawang” yang dilengkapi dengan menara tunggal. Agaknya kehadiran kubah bawang di atas Masjid Agung Bandung pada periode 1955-1970, mungkin sekali atas usulan Soekarno (Kunto, 1996).
Pada tahun 1955 ini, penampilan masjid jelas mengalami perubahan yang luar biasa disbanding dengan perubahan-perubahan sebelumnya ini. Tampak depan juga dirubah total. Kedua menara kecil di kanan dan di kiri masjid dibongkar. Serambi diperluas ke depan yang menyebabkan halaman menjadi lebih sempit, bahkan hampir seperti tidak lagi memiliki halaman depan! Ruang panjang kiri dan kanan (pawestren) dijadikan satu bangunan induk, sehingga bangunan masjid menjadi sebuah massa tunggal. Bangunan baru ini dilengkapi menara berpuncak kubah bawang di sebelah selatan masjid. Perubahan yang paling spektakuler adalah bentuk atap bangunan induk yang sudah lebih dari seabad berbentuk `Bale Nyungcung` diganti dengan kubah segi empat bergaya Timur-tengah (gb. 4).
Gb 4. Foto Masjid Agung Bandung pada tahun 1955, sesaat sebelum diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika. Di sini terjadi perubahan besar-besaran, dari atap bale nyungcung ke atap kubah. (Sumber: Haryoto Kunto)
Perubahan atap dari `bale Nyungcung` ke atap kubah segi empat seperti ini juga semakin memperkuat legitimasi penggunaan bentuk kubah bergaya Timur-tengah itu di pulau Jawa sebagai simbol sebuah masjid yang nantinya semakin kuat pada masa-masa mendatang. Karena pada sekitar tahun itu pula beberapa masjid di pulau Jawa dibangun juga dengan atap kubah seperti Masjid Syuhada (1952) di Yogyakarta dan Masjid Al-Azhar (1956) di Kebayoran Baru, Jakarta.
Masjid Agung Bandung dalam penampilan seperti itulah saat dilangsungkannya Konferensi Asia Afrika di Kota Bandung. Masjid digunakan sebagai tempat shalat para tamu-tamu dari luar negeri, sejak saat itu Masjid Agung bandung mulai dikenal oleh dunia Islam meskipun bentuknya sudah jauh meninggalkan aslinya yang beratap `Bale Nyungcung`
Rombak Total Kedua
Pada perkembangannya atap kubah hasil perombakan tahun 1955 tersebut pernah rusak karena tertiup angin dan diperbaiki pada tahun 1965. Kemudian dipernaiki kembali bersamaan dengan perbaikan beberapa bagian masjid serta penambahan ruangan untuk kegiatan pendidikan (madrasah dan TK) dan poliklinik pada tahun 1967/1968. Akhirnya kubah bawang yang sudah diperbaiki itu pun akhirnya diganti dan sekaligus diubah dengan yang bukan kubah bawang lagi pada tahun 1970-1973. Artinya Atap kubah bawang itu hanya bertahan selama kurang lebih 15 tahun.
Pada tahun 1973 ini dilakukan perombakan total kembali berdasarkan SK Gubernur Kepala DATI I Jabar tahun 1973. Bangunan yang baru memiliki wajah dan bentuk yang sama sekali berbeda dengan bentuk masa sebelumnya. Hasil renovasi ini diresmikan pada tahun 1974 (gb. 5).
Gb 5. Masjid Agung Bandung pada penampilan di tahun 1974. Terjadi renovasi lagi secara besar-besaran. (Sumber: Haryoto Kunto)
Masjid diperluas lantainya (lagi), bahkan mulai dibangun bertingkat. Dibangun pula lantai basemen untuk tempat wudlu, sedangkan lantai dasar dipakai untuk ruang shalat utama dan kantor DKM. Sementara lantai di bagian atas difungsikan sebagai mezanin untuk tempat shalat yang berhubungan langsung dengan serambi luar. Serambi luar ini dihubungkan dengan jembatan beton ke arah alun-alun Bandung yang dapat kita lihat pada tampak muka masjid.
Menara yang lama dibongkar diganti dengan yang baru yang lebih tinggi di halaman depan sebelah kiri. Menara yang baru ini diberi ornamen shading dari logam yang konon sedang tren pada saat itu. Perubahan drastis terjadi kembali pada atap yakni atap kubah langsung diganti dengan atap yang merujuk kembali atap tumpang tetapi berbeda tampilan dan ekspresinya, katanya model joglo, sebutan sebagian orang.
Bangunan yang ada sekarang ini sebagian besar adalah hasil perombakan total pada tahun 1973 tersebut. Sayang, jembatan beton tersebut tampak kurang berfungsi sebagaimana mestinya sebuah jembatan untuk orang. Jembatan ini hampir selalu ditutup pagar, supaya orang tidak lewat/masuk dari arah alun-alun. Barangkali jembatan ini lebih tepat untuk menghubungkan massa bangunan dengan keberadaan alun-alun di sebelah timur bangunan dari pada sebagai jembatan penyeberangan atau menuju masjid. Artinya ia lebih tepat jika dibaca sebagai komposisi arsitektural katimbang diharapkan manfaatnya.
Pada akhir tahun 1980, penampilan masjid dirubah dengan selain diberikan finishing bahan dan detail-detail di dalam bangunan, juga ditambah fasade dinding pagar dan gerbang yang dilengkapi dengan pintu-pintu besi (gb. 6). Pagar dan gerbang ini cukup tinggi sehingga berkesan monumental. Elemen ini sangat tebal (tiga lapis?) sehingga juga berkesan masif seperti laiknya benteng yang tak ingin ditembus kecuali melalui pintu-pintu besi yang juga berskala monumental tersebut.
Gb. 6. Masjid Agung Bandung pada foto tahun 2001. (Foto: Indra Yudha)
Kenyataannya elemen pagar dan gerbang ini menjadi sangat mendominasi penampilan Masjid Agung Bandung pada saat ini. Dari jarak dekat, fasade atau tampak muka bangunan masjid tergantikan semuanya oleh tampak dinding pagar dan gerbang tersebut. Bahkan bangunan masjidnya sendiri nyaris tak terlihat, tertutup oleh elemen pagar dan gerbang tersebut, apalagi jika kita melihatnya dari jarak dekat seperti ini. Elemen ini sebenarnya cukup unik dan menarik namun juga berakibat penampilan masjid menjadi terlalu tertutup dan kurang mengundang bagi khalayak yang melintas di depannya.
Penambahan lainnya yang tak kalah menarik adalah adanya rangka besi berbentuk kubah pada puncak menara masjid. Boleh jadi karena dianggap tidak mudah untuk mengenali bahwa bangunan tersebut adalah masjid bagi orang kebanyakan karena tertutup pagar dan gerbang, maka penambahan kubah pada puncak menara tersebut dianggap dapat memberi tanda/simbol yang mempermudah pengidentifikasian oleh masyarakat kebanyakan dari mana-mana. Lebih unik lagi, hampir setiap rangka besi kubah diberi rangkaian lampu-lampu, sehingga pada malam hari nyala terang lampu yang membentuk gubahan bentuk kubah itu dapat dengan mudah dikenali oleh khalayak umum sebagai bangunan masjid dengan baik.
****
Bambang Setia Budi
Staf Pengajar Arsitektur ITB
published @Pikiran Rakyat, 3 Januari 2001
Test1
bismillahirrahmaanirrahiim... blog ini insyaAllah akan berisi artikel-artikel saya tentang arsitektur, kota dan lingkungan binaan khususnya pada masyarakat Muslim. Selain itu berbagai informasi dan diskusi terkait topik-topik di atas insyaAllah juga akan dipostingkan di sini. Semoga bermanfaat.
Subscribe to:
Posts (Atom)