Wednesday, November 02, 2005

MENGGAGAS MASJID AGUNG BANDUNG MASA DEPAN

oleh Bambang Setia Budi


Letak Masjid Agung Bandung yang berada di tengah-tengah kegiatan komersial yang amat padat, merupakan ciri utama yang dimiliki Masjid Agung bandung. Di tengah hiruk-pikuk kawasan perbelanjaan atau `shopping`, perkantoran, perbankan, hiburan, dan segala macam bisnis lainnya termasuk tempat berjubelnya kaki lima yang merampas hampir seluruh trotoar pejalan kaki, masjid agung berada di sana.

Tanpa disadari, hari demi hari tampilan masjid semakin seperti tenggelam dalam lautan hiruk pikuk segala macam aktifitas tersebut di atas. Apalagi setelah dibangunnya pagar yang tinggi di depan/sebelah timur bangunan masjid, maka masjid agung seperti hendak menghindar dari tekanan-tekanan dari luar yang boleh jadi memang mengganggu. Faktor keamanan misalnya, memang suatu hal yang perlu diselesaikan. Tetapi inilah kenyataan itu!

Dalam tampilan dan ekspresi masjid di tengah-tengah makin padatnya aktifitas bisnis seperti itu, masjid agung memang seperti ibarat seorang sufi yang hendak mengucilkan diri karena khawatir akan dosa dan godaan-godaan dunia. Maka ia perlu membentengi dirinya, kalau perlu tidak bergaul/berhubungan dengan dunia `luar` darinya dengan benteng tinggi nan kokoh yang dimiliki.

Untung saja ia bukan seperti sufi yang lari dari kenyataan hidup, sampai pergi untuk meninggalkan dunia, lari ke hutan-hutan hingga mati di sana. Dengan kata lain, untung saja lokasi masjid agung tidak dipindahkan dari lokasi tersebut karena tekanan sosial ekonomi. Karena walau bagaimanapun, letak masjid agung sejak hampir dua abad yang lalu tetap di situ. Posisinya tidak berubah kecuali perubahan bentuk dan bongkar pasang secara fisik.

Setting seperti itu, sebenarnya bisa menjadi kendala tetapi juga sekaligus tantangan tersendiri dalam perencanaan ke depannya. Bagaimanapun setting lokasi seperti itu jarang dijumpai kesamaannya dengan masjid-masjid agung lainnya di Indonesia. Memang sudah demikian adanya, bahwa masyarakat Kota Bandung ditakdirkan memiliki masjid agung di tengah-tengah `urban mass` atau pusat kota. Bukankah ini merupakan tantangan menarik bagi rancangan di masa depannya?

Mari Menengok Preseden Sejarah

Jika kita menengok pada sejarah Islam, boleh jadi ungkapan bahwa agama Islam adalah agama `urban` barangkali ada benarnya. Maksudnya, ia justru berkembang pesat di kota-kota meski tanpa mengesampingkan desa-desa. Terbukti hadirnya pun di `kota` Mekah dan bahkan semakin berkembang pesat di `kota` Medinah. Mengapa tidak berkembang di kampung Badui Arab misalnya, karena penyebarannya barangkali justru bisa sangat lambat yang berlawanan dengan apa yang kita lihat selama ini.

Madinah sendiri secara leksikal berarti `kota`. Intelektual Muslim Nurcholish Madjid dalam `Islam, Doktrin, dan Peradaban (1992), menyebutkan Madinah berarti pula sebagai peradaban (madaniyah, tamaddun, civilization), pola di suatu tempat (hadlarah, sedentary), dan pola budaya masyarakat (tsaqofah, culture).

Dulu yang dilakukan Nabi Muhammad SAW pertama kali ketika hijrah ke Madinah adalah membangun masjid. Setelah itu membangun pasar dan pusat komersial, sebagaimana yang dijelaskan dalam sejarah bahwa pasar-pasar itu mampu menggeser pasar-pasar yang telah ada khususnya empat pasar Yahudi di Madinah. Bukankah ini juga menjadi pelajaran berharga bahwa edua aktifitas itu (masjid dan pasar) tidak dipisah-pisahkan dan justru harus diseimbangkan.

Eleanor Sims (1995) dalam Trade and Travel: Markets and Caravanserais menyebutkan bahwa bazaar dan masjid tumbuh bersama, kedua-duanya adalah tiang dalam kehidupan kota Islam, terpisah tetapi berdampingan secara harmoni.

Begitu pula dalam preseden sejarah, bahwa masjid-masjid besar di dunia Islam seringkali muncul pasar di sekitarnya. Memang sangat alamiah, ketika banyak orang ke masjid seperti shalat Jum`at misalnya, maka terbentuklah pasar dengan sendirinya. Terdapat pula di dalam Al-Qur`an yang menyebutkan bahwa setelah ditunaikannya shalat Jum`at, maka disuruh setiap hamba itu untuk bergegas-gegas, mencari karunia-Nya.

Dari konsep itu, tentu gagasan Masjid Agung Bandung masa depan sebaiknya perlu diintegrasikan keberadaan dengan lingkungan sekitarnya. Jadi tidak memisahkan diri atau malah meninggalkan lokasinya sekarang ini (dipindah).Yang berarti juga bahwa masjid harus diintegrasikan keberadaannya dengan hiruk-pikuknya aktifitas komersial. Tentu bukan berarti digabung, tetapi diintegrasikan secara serasi, harmoni dan seirama. Syiar-syiarnya juga harus lebih ditampakkan. Berarti pula bahwa ciri religius dalam ruang dan bentuk arsitektur serta ruang kotanya perlu lebih diekspresikan sehingga tampil menjadi sentral kawasan pusat kota khususnya dan Kota bandung pada umumnya.

Dalam perjalanan sejarah yang hampir melampaui masa dua abad, Masjid Agung Bandung pernah mengalami `zaman keemasan` yakni ketika dipimpin oleh ulama yang juga sastrawan dan filosof Hoofd Penghulu Bandung Haji Hasan Mustafa.

Masjid Agung di tahun 1930-an tersebut paling menonjol fungsinya sebagai pusat ibadah dan social penduduk kota. Gaung kohkol dan bedugnya masih terdengar di seantero penjuru kota. Masjid menjadi tempat merayakan Mauludan, Rajaban, Shalat Ied dan belajar mengaji. Ia juga menjadi tempat baitul mal yang menerima zakat fitrah dan mengurusi kesejahteraan umat (Kunto, 1996:13). Istilah ke `Bale Nyungcung` orang berakad nikah, juga sangat terkenal pada saat itu. Semoga masjid agung masa depan kembali menduduki fungsinya seperti itu bahkan lebih ditingkatkan lagi.

Berbagai Peran Strategis

Baik secara fisik maupun non-fisik, Masjid Agung bandung mestinya memang mampu memiliki berbagai peran strategis bagi kawasan sekitarnya, bahkan Kota Bandung dan penduduknya. Sudah semestinya masjid ini direncanakan dengan baik dan seksama, baik menyangkut fisik (ruang dan bentuk arsitekturnya), hingga rancangan non fisik seperti aspek-aspek manajemen pengelolaannya.

Peran-peran di bawah ini diungkapkan sekadar sebagai awal sebuah diskursus, yang diharapkan bisa menjadi bahan renungan kembali dan pemikiran kembali, hingga akhirnya diambil langkah-langkah lebih lanjut sebagai upaya-upaya perbaikan dari kekurangan-kekurangan yang telah ada. Beberapa peran yang dimiliki tersebut antara lain:

Pertama, Masjid Agung Bandung sebagai Pembentuk Ruang Kota. Di sini, keberadaan Masjid agung bandung selain akan memberi penunjuk arah bagi orientasi kawasan, juga akan mampu memberi warna tersendiri bagi pembentukan ruang-ruang kota. Apalagi dalam setting masjid yang unik di tengah-tengah kawasan komersial ini.

Dengan arah orientasinya yang khas (kiblat) maka bentuk-bentuk ruang kota yang tercipta pun akan menjadi khas karena keberadaannya. Sehingga, sebagai pembentuk ruang kota, masjid ini di masa depan diharapkan bisa menjadi `sentral` dari kawasan ini. Bagi pemerintah daerah kota Bandung, usaha ini tentu menarik karena selain memberikan kekhasan dari pembentukan ruang-ruang kota, juga menjadi ciri religius sebuah kota.

Kedua, Masjid Agung Bandung sebagai symbol/Icon. Keberadaan masjid di tengah-tengah kawasan komersial ini diharapkan mampu memberikan cirri dan symbol religiusitas secara fisik. Melalui ekspresi religiusitas yang kuat, ia akan mampu memberikan legitimasi tersebut dan meningkatkan syiarnya. Memang symbol saja tidak cukup, artinya harus juga diikuti dengan esensi, aktifitas, manajemen pengelolaan, pelayanan, dan sebagainya.

Ketiga, Masjid Agung Bandung sebagai oase kawasan. Di tengah-tengah kawasan hiruk-pikuk aktifitas komersial sebagaimana telah banyak diilustrasikan di atas, masjid agung bisa menjadi oase di tengah-tengah kawasan tersebut. Oase ini bisa berarti oase psikologis, fikiran, bahkan juga oase fisik.

Di tengah-tengah situasi itu, dan melalui suara adzan yang merdu menyusup lembut di antara hiruk-pikuk itu, hamba Allah berhenti sejenak melepaskan segala kepenatan, kebisingan, persaingan, dan segala hal yang bersifat duniawi untuk bersujud di hadapan-Nya. Lalu didapatinya suatu kesegaran baru, untuk berangkat menuju aktifitas rutinnya kembali. Di sinilah terciptanya keseimbangan yang dapat dicapai dengan adanya masjid. Betapa pentingnya oase ini dan betapa diperlukannya oase itu di sini.

Keempat, Masjid Agung Bandung sebagai orientasi. Masjid agung yang dibangun sesuai dengan arah orientasi yang benar yakni ke arah Kiblat, menjadikan masjid ini bisa menjadi petunjuk arah orientasi secara fisik bagi bangunan, ruang kawasan hingga kota.

Ketika seseorang kehilangan arah orientasi di dalam kota karena terdapat banyaknya gedung-gedung tinggi dalam kawasan bisnis ini, maka masjid mampu menunjukkan dan menjelaskan melalui arah orientasinya. Hal ini disebabkan karena masjid berbeda dengan bangunan religius lainnya, masjid memiliki pedoman yang menyebabkannya harus berorientasi pada satu arah yakni Kiblat (Ka`bah).

Kelima, Masjid Agung Bandung sebagai ruh/ecclesia kawasan, kota dan seluruh penduduknya. Keberadaan masjid bisa menjadi pemberi ruh/jiwa yang menguatkan spiritualitas kawasan, kota dan masyarakat Bandung. Aktifitas yang dikelola di masjid dengan baik akan memberikan suntikan berharga bagi mereka. Patut ditingkatkan berbagai majlis ta`lim maupun kegiatan-kegiatan lainnya terutama pada saat-saat ramainya kawasan ini.

Keenam, Masjid Agung Bandung sebagai generator aktifitas ekonomi. Di sadari atau tidak keberadaan Masjid Agung Bandung memungkinkan peningkatan pertumbuhan aktifitas ekonomi karena adanya kebutuhan-kebutuhan baru. Jika masjid memiliki berbagai fasilitas yang representatif dan yang lebih penting mampu dikelola dengan baik, sehingga masjid menjadi lebih ramai dikunjungi orang, maka dengan bertambahnya jumlah manusia yang dating, otomastis akan bertambah banyak pula berbagai macam kebutuhan. Selanjutnya aktifitas jual beli juga akan meningkat atau bertambah ramai. Karena pada dasranya antara masjid dan bazaar (pasar) memang tumbuh bersama.

Ketujuh, Masjid Agung bandung sebagai media. Di masjid tidak ada perbedaan tingkat, pangkat, jabatan, keturunan, kekayaan, warna kulit, dan segala macam atribut lainnya. Semua manusia berkeddudukan sama sisi Tuhan, seperti ajaran Islam itu sendiri yang tidak pernah membedakan hal-hal tersebut kecuali perbedaan itu terletak pada ketaqwaan di antara mereka. Siapa pun yang berangkat lebih dulu maka ia berhak menempati barisan/shaf paling depan, sehingga menjadi paling mulia pada saat shalat Jum`at misalnya.

Kondisi lingkungan di luar masjid yang selama ini tidak pernah atau sulit diperolehnya titik temu antara dua kutub yang berbeda, maka sangat mungkin tercapai di dalam masjid dengan karakter seperti itu. Misalnya, suatu kesempatan bisa terjadi direktur bertemu dengan para pegawainya, antara atasan dan bawahan bisa bertemu dalam suasana kebersamaan yang tidak ada perbedaan di antara mereka karena semua sama sebagai hamba Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dari pertemuan itu, akan sangat mungkin terjadinya komunikasi yang baik dengan landasan kebersamaan Iman, kemudian berbicara dari hati ke hati untuk memecahkan persoalan bersama. Komunikasi itu tidak dalam suasana batasan-batasan psikologis, atau bahkan perintah, instruksi dan struktural lainnya yang kadang kala sering menghambat komunikasi tersebut. Oleh karena itu, masjid Agung mampu menjadi media komunikasi sosial ini. Ia mampu menjadi media pemecahan masalah bersama yang terjadi di luar masjid khususnya dalam kawasan bisnis ini.

Kesemuanya peran itu menjadikan masjid Agung Bandung jelas memiliki peran yang sangat strategis bagi kawasan pusat kota khususnya, dan seluruh Kota Bandung beserta penduduknya pada umumnya. Maka tak ada pilihan lain baginya kecuali jadikan ia landmark kawasan tersebut. Optimalkan peran-peran yang dimungkinkannya baik secara fisik maupun non fisik, sehingga mampu meningkatkan syiar dan ciri religius Kota Bandung.

Semoga hal ini menjadi tambahan masukan bagi pihak-pihak yang berwenang untuk menangani dan mengelola Masjid Agung Bandung di masa yang akan datang. Bagaimanapun harus dimulai dari sekarang, seperti perencanaan yang matang baik fisik maupun non fisik Masjid Agung Bandung di masa depan. Masyarakat Bandung dan semua pihak menunggu serta berharap hasil yang terbaik. Kita tunggu!

***

Bambang Setia Budi
Staf Pengajar Departemen Arsitektur ITB

Published @ Pikiran Rakyat
6 Februari 2001

No comments: