oleh Bambang Setia Budi
Suara adzan menyusup di sela-sela keramaian pasar dan pertokoan di pusat kota Bandung. Suara yang tak lain berasal dari menara Masjid Agung Bandung itu sekan-akan hendak menyela segala kesibukan dan menyadarkan setiap telinga di setiap sudut pusat perbelanjaan di kota bunga tersebut akan salah satu kewajiban setiap muslim untuk menegakkan shalat.
Suara itu juga sekaligus mengingatkan khalayak akan eksistensi sebuah `Masjid Agung` di tengah-tengah keramaian kawasan ini. Benar, masjid ini memang memerlukan berbagai bahasa ungkapan (termasuk bahasa arsitektur) sehingga eksistensinya memang dirasakan di kawasan pusat kota ini.
Padahal, keberadaan Masjid Agung Bandung dulunya bukan hanya dirasakan di kawasan pusat kota saja, tetapi hampir ke seluruh penduduk kota Bandung. Halamannya luas, atapnya menjulang tinggi ke langit (bale nyungcung) nampak jelas keberadaan sebuah bangunan `Masjid Agung`. Bahkan gaung kohkol (kentongan) dan bedugnya saja terdengar hingga ke Dago Simpang, Manteos (Jl. Siliwangi), Terpedo (Wastukencana), Kebon the (Rancabadak), Bronbeek (Sukajadi) dan Cibarengkok. Semua terletak jauh di wilayah Bandung Utara. Pendeknya, gaungnya hingga terdengar hingga seantero kota. Begitu menurut tulisan-tulisan Kuncen Bandung Alm. Haryoto Kunto.
Masjid menjadi salah satu saksi dan sekaligus obyek sejarah perkembangan pusat kota ini sejak hampir dua abad yang lalu. Masjid menjadi obyek sejarah karena ia juga telah mengalami berkali-kali perubahan dan perombakan baik sedikit maupun banyak. Siapa sangka, penampilannya yang tersembunyi seperti sekarang ini telah mengalami berkali-kali perombakan. Tercatat paling sedikit tujuh kali perombakan sejak pertama kali didirikan yakni di abad ke-19 tiga kali perombakan dan di abad ke-20 empat kali perombakan.
Tulisan ini hendak mencoba menjelaskan berbagai perubahan dan perombakan secara kronologis baik sedikit maupun banyak (total). Di sini tidak difokuskan pada ke tujuh kali perombakan tersebut, namun paling tidak secara deskriptif akan dipaparkan kronologi perubahan dan perkembangannya sekaligus dengan berbagai latar belakang yang mengiringinya. Sebenarnya paling tidak terdapat dua kali perombakan yang bersifat total yakni pada tahun 1955 saat akan dilangsungkannya Konferensi Asia Afrika di Bandung dan pada tahun 1973 melalui SK Gubernur Kepala DATI I Jabar. Selengkapnya akan dipaprkan dalam tulisan singkat ini.
Akhirnya penulis berharap tulisan ini dapat memberi masukan sekecil apapun bagi pihak-pihak yang berwenang untuk mengelola dan merencanakan masa depan Masjid Agung Bandung yang lebih baik, karena konon dalam waktu dekat masjid akan mengalami renovasi (besar-besaran?) kembali.
Bale Nyungcung
Dari beberapa sumber sejarah, Masjid Agung Bandung didirikan pada tahun 1810. Memang banyak pula yang menyebut tahun 1812, namun sampai saat ini dapat diketahui secara pasti siapa yang membangun atau yang menggagas pertama kali. Saat itu masjid masih berupa bangunan panggung tradisional sederhana yang terbuat dari bambu dan beratap rumbia. Pada saat itu, masjid diperkirakan memiliki bentuk atap yang masih sangat sederhana.
Namun pada sekitar bangunan masjid sederhana itu, ada yang menarik yakni terdapatnya kolam kolam besar nan luas sebagai tempat mengambil air wudlu. Ini menjadi salah satu tanda bahwa bangunan tersebut adalah tempat ibadah, karena masjid-masjid jaman dulu biasanya memiliki kolam besar sebagai tempat wudlu di depan atau di sampingnya.
Ketika kawasan alun-alun Bandung mengalami kebakaran besar pada tahun 1825, kolam tempat mengambil air wudlu ini sangat bermanfaat bagi warga untuk memadamkan api sehingga berhasil dipadamkan.
Gb 1. Masjid Agung Bandung untuk pertama kalinya terekam dalam sebuah litho pelukis Inggris W. Spreat yang dibuat pada tahun 1852. Tampak atap masjid ”bale nyungcung”. (Sumber: Haryoto Kunto)
Menurut catatan Dr. Andries de Wilde, “Sang Tuan Tanah Bandung Raya” (1930), masjid agung di alun-alun berhadap-hadapan dan berpapasan dengan Bale bandung. Masjid terletak di sebelah barat alun-alun Kota Bandung, sedangkan Bale bandung yang berfungsi sebagai tempat pertemuan dan menerima tamu penting terletak di sebelah timur alun-alun alun-alun (Kunto, 1996).
Dari sini bisa kita lihat posisinya yang cukup penting dalam pusat kota pada waktu itu. Keberadaan masjid memang erat kaitannya dengan pembuatan alun-alun Kota Bandung, yakni sebagai salah satu pelengkap tata ruang pusat pemerintahan di Jaman pemerintahan kolonial Belanda.
Pada tahun 1826, bangunan masjid agung secara berangsur-angsur diganti dari bahan bilik dan bamboo menjadi bangunan berkonstruksi kayu. Di susul pada tahun 1850, bangnan-bangunan di sekitar alun-alun dan Groote postweg (sekarang jalan Asia-Afrika) direnovasi dan ditingkatkan kualitas bahan bangunannya. Bersamaan dengan itu, sebagai arsitek Bupati R.A. Wiranatakusumah IV (1846-1847), merenovasi bangunan masjid agung dan pendopo kabupaten. Perombakan pada masjid agung berupa penggantian material atap dengan genting dan dinding dengan tembok batu-bata.
Inilah penampilan bentuk dan ekspresi Masjid Agung Bandung pada tahun 1850-an yang untuk pertama kalinya terekam dalam sebuah gambar, yakni litho pelukis Inggris W. Spreat yang dibuat pada tahun 1852 (gb.1).
Di sini terlihat bahwa masjid agung beratap tumpang tiga, memiliki halaman luas, dikelilingi pohon bambu dan kelapa serta di depannya terdapat gerbang yang diapit dua pohon beringin. Dari lukisan itu dapat juga kita lihat bahwa masjid agung merupakan bangunan tunggal, berskala besar/monumental. dengan semacam pendopo di depannya. Secara umum, atap tumpang yang tinggi dan besar serta deretan kolom di sekeliling masjid memberi ciri penting yang dapat kita tangkap pada penampilan dan ekpresi bangunan masjid pada saat itu.
Khusus pada atap, di sini sudah memperlihatkan bentuk atap tumpang tiga yang tinggi seperti “Bale Nyungcung” yang makin terkenal di kemudian hari. Ekspresinya ditunjukkan dengan atap tinggi menjulang ke atas namun pada bagian ujung bawah setiap lapisan atap tumpukan berbelok ke arah mendatar/horizontal dengan cepat.
Bentuk dan ekspresi atap seperti itu, tampak makin terlihat pada tahun 1875 seperti yang ditunjukkan pada foto lama di tahun yang sama (lihat gb. 2). Selain lapisan atap tumpukan yang sudah `nyungcung`, pada bagian ujung bawah lapisan atap pertama juga makin jelas menunjukkan belokan atap ke arah lebih mendatar.
Gb. 2. Masjid Agung Bandung pada foto tahun 1875. Tampak jelas deretan kolom-kolom ”doric” Yunani. (Sumber: KITLV Leiden)
Selain atap, di sini juga memperlihatkan adanya beberapa perubahan lainnya seperti: adanya semacam tembok/pagar yang mengelilingi pendopo/serambi luar masjid setinggi satu hingga satu setengah meter. Ini boleh jadi bukan sekadar tembok/pagar, tetapi juga berfungsi sebagai tempat duduk-duduk dari pondasi yang ditinggikan yang sekaligus mampu menahan kolom-kolom/tiang-tiang. Dugaan ini bisa dilihat pada gambar, di mana kolom-kolom/tiang-tiang terlihat menunjukkan ukuran dan proporsi yang pendek dan bagian bawahnya diperbesar yang ditumpu pada `tembok` tersebut.
Memasuki pada abad ke-20, tepatnya pada tahun 1900 Masjid Agung Bandung mulai dikenal menjadi tempat ibadah yang representatif buat sebuah ibukota Priangan (Kunto, 1996). Masjid dilengkapi dengan cirri masjid tradisional tradisional yang sangat kental. Antara lain: denah empat persegi panjang, mihrab, pawestren, bedug dan kentongan, bangunan menghadap ke timur tepat, ada makam, benteng, dan tidak bermenara (Graaf, 1947).
Mendekati tahun 1930-an, masjid agung semakin terkenal dan sangat menonjol dalam fungsi, aktifitas, dan kegiatan-kegiatannya. Ini dibuktikan dengan ramai dan makmurnya masjid oleh para penduduk kota Bandung. Bahakn konon masjid agung pada saat itu mengalami semacam `zaman keemasan` sebagai pusat ibadan dan social penduduk kota (Kunto, 1996). Masjid dipakai orang untuk berakad nikah, menjadi tempat merayakan Mauludan, Rajaban, Shalat Ied dan belajar mengaji, serta menjadi baitul mal yang menerima zakat fitrah dan mengurus kesejahteraan umat.
Secara fisik, pada tahun 1930 inilah Masjid Agung Bandung mulai ditambahi dengan bangunan pendopo yang di sebelah ujung kanan dan kirinya dibuat menara pendek dan kembar. Sepasang menara kembar tersebut semakin memperkuat kesan simetri bangunan masjid.
Atap bangunannya pun berubah ekspresinya semakin `nyungcung` yang ditunjukkan dengan atap tinggi menjulang ke atas dengan sudut kemiringan semakin curam, dan begitu sebaliknya pada bagian ujung bawah setiap lapisan tumpukan berbelok ke arah mendatar/horizontal . Sepasang menara kembar di kiri dan kana bangunan tadi pun diberi pula atap yang sama bentuk dan ekpresinya `nyungcung` sehingga tampil serasi dan menarik (gb. 3).
Gb. 3. Masjid Agung Bandung pada foto tahun 1935. Terjadi perubahan pada atap yang semakin menjulang dan adanya penambahan menara kembar di depan masjid. (Sumber: Haryoto Kunto)
Dari segi bentuk dan ekspresi bangunan, mungkin pada penampilan bangunan pada saat itulah yang memperlihatkan bentuk paling anggun dan menarik dibandingkan sebelumnya. Lebih dari itu, inilah barangkali perkembangan bentuk terakhir dari masjid Agung Bandung ketika masih beratap `Bale Nyungcung`, karena pada perkembangan berikutnya bentuk atap seperti ini sudah tidak ditemui lagi.
Sementara itu, penggunaan tiang-tiang luar masjid juga semakin tampak jelas yang ditata mengikuti irama tertentu. Penggunaan tiang-tiang itu sedikit banyak mengindikasikan pengaruh idiom India `Gupta`. Tiang-tiang ini juga secara jelas menumpu pada `tembok/pagar` seperti telah dijelaskan di atas.
Pada masa ini pula bangunan masjid agung dan bahkan hampir seluruh bangunan sekeliling alun-alun diberi pagar tembok berlubang-lubang berornamen sisik ikan hasil rancangan arsitek Belanda terkenal Henry Maclaine Pont. Motif sisik ikan ini kemudian untuk beberapa saat menjadi ragam hias khas pagar-pagar di wilayah Priangan sehingga dapat dijumpai di mana-mana termasuk hingga Cianjur dan Garut.
Rombak Total Pertama
Soekarno setelah mendapat gelar Civiel Ingenieur (Ir.) dari Technische Hogheschool (THS atau ITB sekarang) di tahun 1925, pernah memiliki obsesi untuk membangun Masjid Agung Bandung yang megah bersama Ir. Rosseno (rekannya dalam mendirikan biro arsitek) yang konon akan memakan biaya satu setengah juta gulden.
Pengumpulan dananya direncanakan dengan cara menjual perangko dari seri setalen (25 sen), seketip (50 sen), dan serupiah (100 sen). Namun program tersebut gagal karena dijegal pemerintah Belanda dengan aturan pelarangan pengumpulan fonds (dana). Bahkan Asisten Wedana yang telah menyetujui program tersebut juga ditekan pemerinta kolonial Belanda.
Awal tahun 1954, Gubernur Jawa Barat mengadakan rapat Panitia Perbaikan Masjid Agung Bandung dalam rangka Konferensi Asia Afrika di Gedung pakuan. Presiden Soekarno sempat memaparkan gagasannya pada kesempatan itu. Bahkan pada pertemuan itu pula diperlihatkan pada hadirin gambar bestek Masjid Agung Bandung garapan Soekarno.
Mengingat terbatasnya anggaran biaya Negara dan waktu pembangunan yang amat mendesak, maka hanya sedikit saja gagasan Soekarno yang dapat terlaksana. Itupun hanya menyangkut gubahan massa yang terdiri dari satu bangunan induk dengan kubah “bawang” yang dilengkapi dengan menara tunggal. Agaknya kehadiran kubah bawang di atas Masjid Agung Bandung pada periode 1955-1970, mungkin sekali atas usulan Soekarno (Kunto, 1996).
Pada tahun 1955 ini, penampilan masjid jelas mengalami perubahan yang luar biasa disbanding dengan perubahan-perubahan sebelumnya ini. Tampak depan juga dirubah total. Kedua menara kecil di kanan dan di kiri masjid dibongkar. Serambi diperluas ke depan yang menyebabkan halaman menjadi lebih sempit, bahkan hampir seperti tidak lagi memiliki halaman depan! Ruang panjang kiri dan kanan (pawestren) dijadikan satu bangunan induk, sehingga bangunan masjid menjadi sebuah massa tunggal. Bangunan baru ini dilengkapi menara berpuncak kubah bawang di sebelah selatan masjid. Perubahan yang paling spektakuler adalah bentuk atap bangunan induk yang sudah lebih dari seabad berbentuk `Bale Nyungcung` diganti dengan kubah segi empat bergaya Timur-tengah (gb. 4).
Gb 4. Foto Masjid Agung Bandung pada tahun 1955, sesaat sebelum diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika. Di sini terjadi perubahan besar-besaran, dari atap bale nyungcung ke atap kubah. (Sumber: Haryoto Kunto)
Perubahan atap dari `bale Nyungcung` ke atap kubah segi empat seperti ini juga semakin memperkuat legitimasi penggunaan bentuk kubah bergaya Timur-tengah itu di pulau Jawa sebagai simbol sebuah masjid yang nantinya semakin kuat pada masa-masa mendatang. Karena pada sekitar tahun itu pula beberapa masjid di pulau Jawa dibangun juga dengan atap kubah seperti Masjid Syuhada (1952) di Yogyakarta dan Masjid Al-Azhar (1956) di Kebayoran Baru, Jakarta.
Masjid Agung Bandung dalam penampilan seperti itulah saat dilangsungkannya Konferensi Asia Afrika di Kota Bandung. Masjid digunakan sebagai tempat shalat para tamu-tamu dari luar negeri, sejak saat itu Masjid Agung bandung mulai dikenal oleh dunia Islam meskipun bentuknya sudah jauh meninggalkan aslinya yang beratap `Bale Nyungcung`
Rombak Total Kedua
Pada perkembangannya atap kubah hasil perombakan tahun 1955 tersebut pernah rusak karena tertiup angin dan diperbaiki pada tahun 1965. Kemudian dipernaiki kembali bersamaan dengan perbaikan beberapa bagian masjid serta penambahan ruangan untuk kegiatan pendidikan (madrasah dan TK) dan poliklinik pada tahun 1967/1968. Akhirnya kubah bawang yang sudah diperbaiki itu pun akhirnya diganti dan sekaligus diubah dengan yang bukan kubah bawang lagi pada tahun 1970-1973. Artinya Atap kubah bawang itu hanya bertahan selama kurang lebih 15 tahun.
Pada tahun 1973 ini dilakukan perombakan total kembali berdasarkan SK Gubernur Kepala DATI I Jabar tahun 1973. Bangunan yang baru memiliki wajah dan bentuk yang sama sekali berbeda dengan bentuk masa sebelumnya. Hasil renovasi ini diresmikan pada tahun 1974 (gb. 5).
Gb 5. Masjid Agung Bandung pada penampilan di tahun 1974. Terjadi renovasi lagi secara besar-besaran. (Sumber: Haryoto Kunto)
Masjid diperluas lantainya (lagi), bahkan mulai dibangun bertingkat. Dibangun pula lantai basemen untuk tempat wudlu, sedangkan lantai dasar dipakai untuk ruang shalat utama dan kantor DKM. Sementara lantai di bagian atas difungsikan sebagai mezanin untuk tempat shalat yang berhubungan langsung dengan serambi luar. Serambi luar ini dihubungkan dengan jembatan beton ke arah alun-alun Bandung yang dapat kita lihat pada tampak muka masjid.
Menara yang lama dibongkar diganti dengan yang baru yang lebih tinggi di halaman depan sebelah kiri. Menara yang baru ini diberi ornamen shading dari logam yang konon sedang tren pada saat itu. Perubahan drastis terjadi kembali pada atap yakni atap kubah langsung diganti dengan atap yang merujuk kembali atap tumpang tetapi berbeda tampilan dan ekspresinya, katanya model joglo, sebutan sebagian orang.
Bangunan yang ada sekarang ini sebagian besar adalah hasil perombakan total pada tahun 1973 tersebut. Sayang, jembatan beton tersebut tampak kurang berfungsi sebagaimana mestinya sebuah jembatan untuk orang. Jembatan ini hampir selalu ditutup pagar, supaya orang tidak lewat/masuk dari arah alun-alun. Barangkali jembatan ini lebih tepat untuk menghubungkan massa bangunan dengan keberadaan alun-alun di sebelah timur bangunan dari pada sebagai jembatan penyeberangan atau menuju masjid. Artinya ia lebih tepat jika dibaca sebagai komposisi arsitektural katimbang diharapkan manfaatnya.
Pada akhir tahun 1980, penampilan masjid dirubah dengan selain diberikan finishing bahan dan detail-detail di dalam bangunan, juga ditambah fasade dinding pagar dan gerbang yang dilengkapi dengan pintu-pintu besi (gb. 6). Pagar dan gerbang ini cukup tinggi sehingga berkesan monumental. Elemen ini sangat tebal (tiga lapis?) sehingga juga berkesan masif seperti laiknya benteng yang tak ingin ditembus kecuali melalui pintu-pintu besi yang juga berskala monumental tersebut.
Gb. 6. Masjid Agung Bandung pada foto tahun 2001. (Foto: Indra Yudha)
Kenyataannya elemen pagar dan gerbang ini menjadi sangat mendominasi penampilan Masjid Agung Bandung pada saat ini. Dari jarak dekat, fasade atau tampak muka bangunan masjid tergantikan semuanya oleh tampak dinding pagar dan gerbang tersebut. Bahkan bangunan masjidnya sendiri nyaris tak terlihat, tertutup oleh elemen pagar dan gerbang tersebut, apalagi jika kita melihatnya dari jarak dekat seperti ini. Elemen ini sebenarnya cukup unik dan menarik namun juga berakibat penampilan masjid menjadi terlalu tertutup dan kurang mengundang bagi khalayak yang melintas di depannya.
Penambahan lainnya yang tak kalah menarik adalah adanya rangka besi berbentuk kubah pada puncak menara masjid. Boleh jadi karena dianggap tidak mudah untuk mengenali bahwa bangunan tersebut adalah masjid bagi orang kebanyakan karena tertutup pagar dan gerbang, maka penambahan kubah pada puncak menara tersebut dianggap dapat memberi tanda/simbol yang mempermudah pengidentifikasian oleh masyarakat kebanyakan dari mana-mana. Lebih unik lagi, hampir setiap rangka besi kubah diberi rangkaian lampu-lampu, sehingga pada malam hari nyala terang lampu yang membentuk gubahan bentuk kubah itu dapat dengan mudah dikenali oleh khalayak umum sebagai bangunan masjid dengan baik.
****
Bambang Setia Budi
Staf Pengajar Arsitektur ITB
published @Pikiran Rakyat, 3 Januari 2001
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment