Thursday, November 03, 2005

MASJID CIPAGANTI, MASJID PERTAMA DI LINGKUNGAN EROPA

oleh Bambang Setia Budi


Meskipun saat ini sudah tidak kentara, perencanaan dan perkembangan Bandung tempo doeloe
dibagi dalam dua bagian dengan jelas yakni Bandung Utara dan Selatan. Pembagian ini ditandai dengan jalur rel kereta api yang melintang ke arah Timur dan Barat.

Bandung Selatan atau wilayah sebelah Selatan rel kereta api dulunya diperuntukan bagi masyarakat pribumi dengan bagian khusus pusat pemerintahan, elit pribumi, alun-alun, dan masjid. Wilayah masyarakat pribumi ini cenderung berkarakter kurang teratur, sarana-prasarana kota yang minim, kualitas lingkungan yang rendah, dan lain lain.

Sementara di Bandung Utara atau wilayah sisi sebelah Utara rel kereta api dulunya adalah untuk orang-orang Belanda dan sebagian kecil para elit pribumi. Pemukiman orang-orang Belanda ini jelas lebih teratur, nyaman, lahan yang luas, dan memiliki kualitas lingkungan yang jauh lebih baik.

Dari segi bangunannya, hingga kini banyak kita jumpai bangunan-bangunan kolonial yang merupakan ciri utama arsitektur peninggalan Belanda. Bukan hanya bangunan-bangunan kantor atau publik lainnya, namun sampai bentuk rumah yang ditinggalkan semua masih tetap bergaya Eropa yang sampai saat ini dapat kita saksikan jejak-jejaknya. Kota Bandung tempo doeloe memang lebih dikenal sebagai sebuah kota `koloni` permukiman orang Barat, atau yang bisa disebut dalam bahasa Belanda sebagai `Een Westerns Enclave` (Kunto: 1996).

Masyarakat eksklusif Barat di Bandung Utara itu tetap berusaha mempertahankan suasana lingkungan hidup seperti di Eropa sana baik menyangkut gaya hidup, menu dan jenis makanan, cara berpakaian, dan lain-lain. Komunitas masyarakat Barat itu seakan-akan menjadi `Kapal Asing` yang mengapung di atas `Samudera` kehidupan masyarakat pribumi.

Dipandang dari religi, hampir keseluruhan dari mereka beragama Nasrani. Maka tak heran jika banyak kita jumpai bangunan-bangunan gereja yang merupakan karya dan bangunan peninggalan mereka. Sebaliknya sedikit yang beragama Islam kecuali segelintir dari mereka dan sebagian para elit pribumi yang tinggal di sana, maka wajar pula kalau cukup langka dijumpai masjid-masjid. Dan salah satu masjid tua yang dibangun di Bandung bagian Utara yang hingga kini masih dapat kita saksikan adalah Masjid Raya Cipaganti.

Masjid termasuk bangunan yang sudah berumur hampir 70 tahun yang lalu, dan pernah dipakai sebagai markas pejuang menentang penjajah sehingga memiliki nilai sejarah yang tinggi, juga memiliki gaya seni arsitektur yang cukup unik yang memberi kekayaan bentuk keragaman arsitektur masjid di Jawa khususnya di wilayah Priangan.






Tusuk Sate - Bangunan masjid terletak persis di lahan `tusuk sate` antara Jl. Cipaganti dengan Jalan Sastra. Adanya deretan pepohonan di sepanjang tepi Jalan Sastra memberi vista menarik yang membingkai bangunan masjid. (Sumber: Masjid2000 Pusat Dokumentasi Masjid Nusantara, Fotografer: Yessika Abdassah).



Karya Profesor Kemal C.P. Wolff Schoemaker

Masjid yang sering disebut Masjid Kaum Cipaganti ini terletak di daerah yang dulunya merupakan kompleks pemukiman bangsa Eropa di wilayah Bandung Utara. Masjid didesain oleh arsitek Belanda kenamaan, Prof. Kemal C.P. Wolf Schoemaker. Sedangkan peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Asta Kandjeng Bupati Bandung, Raden Tumenggung Hasan Soemadipradja yang didampingi oleh Patih Bandung, Raden Rc. Wirijadinata pada tanggal 11 Syawal 1351 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 7 Februari 1933 Masehi.

Masjid yang kini beralamat di Jalan Cipaganti 85 dan terletak di lahan `tusuk sate` antara Jalan Cipaganti dengan Jalan Sastra ini konon merupakan masjid pertama yang didirikan di lingkungan permukiman bangsa Eropa. Ini berarti merupakan masjid pertama di tengah-tengah `Een Westerns Enclave` seperti telah diuraikan di atas.

Sekarang ini, masjid menjadi persinggahan bagi para wisatawan yang datang ke Bandung karena lokasinya yang strategis seperti di pinggir jalan kelas satu atau protokol (Jalan Cipaganti), berdekatan dengan pusat perbelanjaan Cihampelas dan berada pada jalur utama menuju ke Lembang. Lokasi masjid menjadi sangat mudah dicapai oleh lalu lintas manusia baik yang berkendaraan maupun yang berjalan kaki.

Profesor Kemal C.P. Wolff Schoemaker sendiri adalah salah seorang arsitek terkemuka Belanda yang telah banyak berkarya di Indonesia. Semasa hidupnya sebagai arsitek di Indonesia, ia menjadi Profesor di ITB Bandung. Hasil karyanya kecuali bangunan, juga berupa karya tulis. Tidak sedikit tulisan dari hasil penelitiannya mengenai kebudayaan Indonesia khususnya tentang arsitektur tradisional termasuk candi-candi. Schoemaker memang merupakan arsitek yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang arsitektur dan budaya setempat khususnya Jawa.

Masjid Cipaganti ini merupakan salah satu dari sekian banyak karyanya di kota Bandung selain Hotel Preanger, Villa Isolla, Laboratorium Boscha, dan lain-lain. Bangunan yang masih asli karya beliau adalah bangunan di tengah yang beratap tajug tumpang dua, sedangkan bangunan yang memanjang di kiri dan kanannya adalah bangunan perluasan yang dibangun pada tahun 1954 dan 1976.

Dari pemikiran dan gagasan-gagasannya, Masjid Raya Cipaganti merupakan desain masjid yang modern meski tetap tidak meninggalkan prinsip-prinsip tradisional. Hal ini ditunjang oleh latar belakang pengetahuan sang arsitek yang luas dan mendalam terhadap arsitektur dan budaya Jawa tersebut.

Paduan Gaya Seni Bangunan Jawa-Eropa

Secara umum, bentuk masjid mengambil seni bangunan tradisional Jawa seperti atap tajug tumpang dua limasan dengan atap-atap tambahan di setiap sisi dan penggunaan konstruksi empat kolom saka guru di tengah-tengah ruangan shalat. Dalam detail-detail arsitektural dan ornamen-ornamen floral seperti bunga atau `sulur-suluran` juga memperlihatkan pengambilan unsur-unsur dekorasi tradisional Jawa. Ini menunjukkan upaya sang arsitek dalam menafsir dan menghadirkan ungkapan-ungkapan lokal khususnya budaya Jawa dalam arsitektur masjidnya.










Kaligrafi - Salah satu kolom saka guru yang dihias ornamen corak floral dan kaligrafi (sumber: Masjid2000 Pusat Dokumentasi Masjid Nusantara, Fotografer: Yessika Abdassah)


Namun, konstruksi atap bangunannya memakai teknik bangunan kolonial, yang nampak jelas dari penggunaan kuda-kuda segitiga pada interior atap tajug-nya. Begitu pula dalam peletakan bangunan di dalam tapak. Penataan bangunan masjid dalam posisi `tusuk sate` jarang dijumpai pada masjid-masjid lokal/tradisional. Hal ini juga dengan jelas memperlihatkan pendekatan Eropa dalam penataan massa bangunan di dalam tapaknya.

Di sisi lain, pada sepanjang Jalan Sastra - jalan di depan Masjid Raya Cipaganti yang menghubungkan antara Jalan Cihampelas dengan Jalan Cipaganti - sengaja dibuat sangat rimbun dengan adanya deretan pepohonan di sepanjang jalan tersebut. Deretan pepohonan sepanjang Jalan Sastra ini terlihat membentuk sebuah vista yang sangat menarik sepanjang mata memandang di tengah dan searah jalan.

Akibat penataan massa bangunan dalam tapak yang persis `tusuk sate` tersebut,, bangunan masjid akan tampak paling indah jika dilihat dari Jalan Sastra karena masjid menjadi persis di tengah-tengah vista deretan pepohonan. Bangunan masjid menjadi seakan-akan berada di tengah-tengah `frame` pepohonan alami. Teknik perencanaan tapak seperti inilah yang diperkenalkan oleh sang arsitek pada bangunan masjid ini. Dan hal tersebut menjadi salah satu keunikan yang jarang kita jumpai pada masjid-masjid lainnya di Jawa.

Perpaduan antar gaya seni bangunan yang lokal dengan yang pendatang atau kolonial merupakan hal yang biasa pada arsitektur di wilayah di mana dahulunya pernah dijajah. Perpaduan tersebut bahkan seringkali tidak hanya pada bangunan atau arsitektur tetapi juga pada perencanaan kotanya.

Kota Bandung dan juga kota-kota di Priangan pada umumnya, termasuk dalam wilayah demikian, sehingga dapat disebut juga sebagai `dual city`, yakni jenis kota yang khas terdapat di daerah-daerah yang dahulunya pernah dijajah. Di model kota seperti ini, wajah kota termasuk arsitektur di dalamnya sering dibangun dengan dua gaya, yaitu gaya Barat/kolonial dan gaya pribumi tradisional.

Kota-kota seperti ini menggambarkan campuran yang unik antara bentuk urban berbudaya Eropa/Barat dengan penduduk dan budaya pribumi (Sunda, Jawa atau Islam). Kota Bandung memang paling tepat menggambarkan kota jenis demikian, bahkan Bandung tempo doeloe terkenal dalam sebutan `Parijs van Java`. Tak heran jika dalam sebuah kongres mengenai Arsitektur Modern yang diselenggarakan di Swiss tahun 1928, disebutkan bahwa Bandung dengan jelas merupakan prototipe kota kolonial (Lubis, 2000: 4).

Selain dua gaya tersebut, samar-samar terlihat pula pengaruh gaya Timur-Tengah misalnya pada elemen relung atau busur dan dekorasi kaligrafi. Mungkin karena bangunan ini berfungsi sebagai masjid maka ungkapan-ungkapan Arab/Timur-Tengah - tanpa menyebut secara persis negeri mana - mencoba digunakan untuk menguatkan identitas bahwa bangunan tersebut adalah masjid sebagai tempat ibadah umat Islam.

Penggunaan relung-relung jenis tapal kuda atau yang dikenal sebagai horseshoe arches nampak pada pintu utama masuk dan menuju mihrab tempat seorang imam memimpin shalat. Namun yang menarik adalah pada detail-detail relung ini, terutama pada ujung-ujung pengakhiran beberapa elemen dekorasi di mana terlihat pengaruh detail-detail seni dekorasi bangunan Jawa. Artinya samar-samar gaya Timur-Tengah ini juga dipadu dengan seni dekorasi tradisional Jawa. Ini perlu dibedakan dengan relung-relung non-struktural pada bangunan perluasan ke kiri dan ke kanan masjid.

Sedangkan elemen dekorasi berupa kaligrafi -yang sebagian besar bergaya Kufi- terlihat di beberapa tempat seperti pada keempat kolom saka guru, relung tapal kuda, mihrab atau pada dinding penghalang yang berada tepat setelah pintu masuk utama. Sebagai catatan, dinding penghalang yang berada tepat setelah pintu masuk seperti itu biasanya digunakan pada pintu-pintu masuk bangunan-bangunan Hindu. Di masjid ini, dinding tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki paduan tekstur, corak, hiasan, dan warna yang menarik (hijau).

Satu lagi yang menarik dari unsur bangunan ini adalah elemen lampu yang menggantung pada langit-langit di tengah-tengah ruang utama shalat. Lampu antik yang terbuat dari logam berwarna kuning tersebut masih asli sejak zaman kolonial. Dengan elemen penggantung juga dari logam, lampu hingga saat ini masih terpelihara dengan baik.










Lampu Antik - Tampak lampu antik dari material logam berwarna kuning yang menggantung di tengah-tengah ruang shalat utama. (Sumber Masjid2000 Pusat Dokumentasi Masjid Nusantara, Fotografer: Yessika Abdassah)



Tempat Pembinaan Para Pejuang PETA dan Masyarakat Sekitar

Selama masa perjuangan hingga tahun 1950-an, masjid banyak berperan sebagai tempat pembinaan terhadap putra-putra bangsa yang patriotik, cinta tanah air, dan memiliki keimanan yang tinggi kepada Allah SWT. Mereka yang telah terbina banyak yang turut berjuang dan berjihad dengan gigih melawan penjajah Belanda. Banyak di antara mereka yang kemudian ikut bergabung dengan barisan Pembela Tanah Air (PETA). Hingga pada saat itu, sebagai tempat para pejuang dari kalangan santri ini, kemudian dibangunlah sebuah asrama yang berada tak jauh dari masjid.

Selain itu, masjid juga banyak berperan untuk pemenuhan kebutuhan rohani masyarakat sekitar. Masyarakat mengenal masjid ini karena peranannya yang dirasakan oleh masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan spiritual mereka.

Di samping Masjid Agung Bandung pada waktu itu, banyak dari berbagai lapisan masyarakat yang melakukan akad nikah di masjid ini. Para pengantin baru banyak yang merasa nikmat dan memiliki kenangan tersendiri dengan masjid ini yang senantiasa dipimpin oleh seorang Khalifah – sebutan ulama pengurus masjid pada waktu itu – di bawah pengawasan penghulu ulama tingkat kabupaten.


Masjid Cipaganti - Tampak masjid dari arah Jalan Cipaganti. Bangunan masjid awalnya hanya massa di tengah yang beratap tumpuk dua, namun kini telah mengalami perluasan ke kiri dan ke kanan sejak tahun 1954 dan 1976 (Sumber: Masjid2000 Pusat Dokumentasi Masjid Nusantara, Fotografer: Indra Yudha).


Masjid pernah mengalami dua kali perombakan. Pada tahun 1954 bangunan masjid diperluas ke sebelah kanan dan ke kiri disebabkan fungsi dan peranannya yang semakin dirasakan oleh masyarakat sekitarnya. Berbagai macam kegiatan telah marak diselenggarakan di masjid ini seperti pengajian untuk anak-anak, remaja, dewasa atau orang tua bahkan terdapat pengajian khusus ibu-ibu yang mengundang ratusan ibu-ibu muslimat lainnya. Masjid memang telah makmur dari sejak dulu sehingga perlu perluasan.

Bahkan karena mengingat semakin besarnya populasi masyarakat yang memanfaatkan masjid ini, pada tahun 1976 dilakukan pemugaran bangunan masjid tahap kedua. Setelah dipugar, kini selain berfungsi sebagai tempat ibadah, dikembangkan pula kegiatan-kegiatan lain seperti pengajian untuk anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua, serta kegiatan pendidikan sekolah taman kanak-kanak.

***

Bambang Setia Budi
Staf Departemen Arsitektur ITB

Published @ Pikiran Rakyat
19 Juni 2001

No comments: