Wednesday, June 07, 2006

MASJID AGUNG MANONJAYA, BUKTI SEJARAH PERKEMBANGAN TASIKMALAYA

Oleh Bambang Setia Budi


Artefak sejarah, menjadi penting artinya bagi bukti-bukti dan sumber-sumber sejarah. Tanpanya, kita akan menemui banyak kesulitan untu
k mengungkap dan menuliskan sejarah secara benar dan obyektif. Banyak bukti sejarah yang penting di sekitar kita, namun terkadang kita kurang memiliki perhatian atau kurang memperlakukannya sebagaimana mestinya.

Sejarah memang penting bagi kehidupan manusia. Dari sejarahlah kita dapat mengerti masa lalu yang berguna bagi masa yang akan datang. Kita akan memperoleh kesempatan untuk belajar contoh-contoh masa lampau, dari kegagalan da
n keberhasilannya, dari baik dan buruknya untuk modernitas kita saat ini dan masa yang akan datang.

Demikian pula sebaliknya, tanpa sejarah masa lampau berarti kita kehilangan barang berharga yang sangat penting bagi masa depan kehidupan kita. Sebagaimana dalam istilah Arab: “Man laa tarikha lahuu laa waqi` walaa mustaqbal lahu” artinya “Barangsiapa tidak punya sejarah maka dia tidak memiliki masa kini dan masa depan”.

Bagi manusia yang tidak mengenal sejarahnya, ibarat manusia yang hilang ingatan sehingga mudah
dibodohi orang. Pernyataan keras juga pernah dilontarkan seorang kritikus Jerman Gotthold Ephraim Lessing yang menyebutkan: “Tanpa sejarah……..setiap jam kita akan diancam bahaya diperdayakan oleh pembual-pembual bodoh, yang tidak jarang memuji sebagai penemuan baru apa yang telah diketahui dan diyakini oleh manusia beribu-ribu tahun yang lalu.” (dikutip dalam Mathys Joiles, “Lessing`s Conception of History”, Modern Philology, XLIII, 1946, hal. 185; Louis Gottschalk, “Understanding History: A Primer of Historical Method”, 1969).

Salah satu ba
ngunan yang telah menjadi artefak sejarah yang penting di belahan wilayah Priangan Timur, atau tepatnya menjadi bukti penting bagi perkembangan kota Tasikmalaya adalah sebuah bangunan masjid yang berdiri megah di Dusun Kaum Tengah, Desa Manonjaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Kondisi bangunan masjid kini perlu mendapat perhatian lebih besar dari seluruh lapisan masyarakat agar lebih terawat dan terjaga keasliannya.

Selain meny
ejarah, masjid juga memiliki gaya atau langgam arsitektur yang menarik pada masanya. Secara fungsi, masjid hingga kini masih terus dipakai dan dimanfaatkan untuk fasilitas ibadah umat Islam yang penting. Maka sudah selayaknya masjid ini dipelihara, dilindungi dan dilestarikan untuk pengetahuan, pendidikan, kebudayaan dan kemaslahatan umat di masa kini dan yang akan datang.

Bukti Adanya Kabupaten Sukapura

Pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Wiradadaha VIII dan Patih Danuningrat
, wilayah Kabupaten Sukapura meliputi 21 distrik yang disebut daerah Galunggung. Karena wilayah kekuasaannya terlalu luas, maka tahun 1831 daerah Sukapura atau Galunggung ini dibagi menjadi tiga bagian (Afdeeling/bagian dari Keresidenan) yaitu: Afdeeling Sukapura Kolot, Afdeeling Sukapura, dan Afdeeling Tasikmalaya.

Sukapura dalam pembagian tersebut termasuk dalam Afdeeling Sukapura, di mana batas Afdeeling Sukapura ialah sebelah Utara dengan Keresidenan Cirebon, sebelah Timur dengan K
eresidenan Banyumas yang dipisahkan sungai Citanduy, sebelah Selatan dengan Samudra Hindia, dan sebelah Barat dengan Afdeeling Sukapura Kolot dan Afdeeling Tasikmalaya. Pada tahun 1831 Afdeeling Sukapura mempunyai wilayah seluas 260.312,13 Ha dengan jumlah penduduk ibukota 4687 Pribumi, 22 Cina, dan 6 Timur Asing.

Setelah pembagian wilayah tersebut, tahun 1832 Bupati Raden Tumenggung Wiradadaha VIII memindahkan ibukota Kabupaten Sukapura - sesuai daerah yang langsung diperintahnya - yaitu dari Leuwiloa di Sukaraja ke Harjawinangun. Namun untuk sementara, pemerintahan berkedudukan di Pasir Panjang karena menunggu penyelesai
an pembangunan ibukota. Pemerintahan baru berjalan 2 tahun kemudian, setelah Patih Raden Tumenggung Danuningrat selesai membangun kota Harjawinangun (sekarang Manonjaya). Maka baru pada tahun 1834 secara resmi Ibukota Sukapura Pindah ke Harjawinangun/Manonjaya.

Beberapa alasan pemindahan ibukota kabupaten ini di antaranya agar memudahkan dalam menjalankan roda pemerintahan karena berdasarkan pembagian wilayah tersebut, daerah-daerah yang berada di bawah pengawasan Bupati Raden Tumenggung Wiradadaha VIII akan berlokasi di sebelah Timur Kota
Sukaraja, yang menyebabkan hubungan transportasi antar daerah menjadi sulit dalam menjalankan roda pemerintahan. Sedangkan alasan politis terkait dengan Perang Diponegoro (1825-1830) yang terjadi di wilayah Jawa Tengah yang mengakibatkan Belanda memperkuat benteng pertahanan di wilayah perbatasan agar tidak menyebar ke Jawa Barat.

Berdasarkan catatan sejarah, Harjawinangun selama 70 tahun pernah menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Sukapura (Dirapraja, 1972). Harjawinangun sebagai pusat pemerintahan telah berkembang dengan pesat, dan menjadi kota transit dalam jalur hubungan darat antara Jawa Tengah dari arah timur ke Jawa Barat. Sesuai dengan pertumbuha
n penduduk dan perkembangan kota Harjawinangun, maka tahun 1839 berdasarkan Besluit Gubernemen No. 22 tanggal 10 Januari 1839 nama Kota Harjawinangun dirubah menjadi Kota Manonjaya.

Masjid Manonjaya inilah - yang masih berdiri kokoh hingga kini - menjadi bukti sejarah adanya kabupaten Sukapura yang berarti pula bukti sejarah perkembangan Tasikmalaya sekarang. Bahkan masjid dari sejak dulunya telah dipakai sebagai `tetenger` untuk mengembangkan tata kota Harjawinangun. R. Memed Sastra Hadiprawira dalam Volk Almanak Soenda Parahyangan tanggal 12 November 1931 menyebutkan bahwa sewaktu pemindahan ibukota ke Harjawinangun, sebelumnya memang sudah ada masjid kecil dan bahkan oleh Raden Tumenggung Danuningrat ketika merencanakan tata ruang Kota Harjawinangun berpedoma
n pada masjid yang sudah ada tersebut. Dalam konteks ini, keberadaan masjid jelas merupakan satu kesatuan dengan pembangunan tata ruang kabupaten Sukapura pada waktu itu.




Foto Masjid Agung Manonjaya di tahun 1875
. Masjid memiliki nilai sejarah yang tinggi yakni sebagai bukti adanya
Kabupaten Sukapura di Harjawinangun. (Sumber: masjid2000.org, KITLV).



Dengan perkembangan kota Harjawinangun yang cukup pesat, keberadaan masjid di tengah kota tersebut sudah tidak dapat menampung jemaah baik penduduk setempat maupun para pendatang. Masjid Jami` Harjawinangun ketika itu tidak mencerminkan sebagaimana layaknya masjid agung bagi kabupaten Sukapura. Maka pada tahun 1837 ketika Raden Tumenggung Danuningrat yang men
ggantikan Raden Demang Anggadipa II sebagai Bupati Sukapura memperbesar masjid dan mengembangkan alun-alun. Masjid dibangun dengan atap tumpang yang bersusun tiga yang pada bagian atas/ujung atap diberi kemuncak (mustaka), dan empat buah tiang utama sebagai penyangga atapnya.

Pada tahun 1889 masjid ini dikembangkan kembali agar dapat menampung jemaah lebih banyak oleh Dalem Raden Tumenggung A Wiraatmaja. Pengembangan masjid diarahkan ke bagian timur dengan didirikannya bangunan serambi dan bangunan menara di k
anan dan kirinya yang dihubungkan dengan koridor. Bangunan serambi beratap tumpang dua sedangkan menara memiliki atap berbentuk segi delapan.

Sedangkan tahun 1901 pucuk pimpinan di Kabupaten Sukapura dipegang oleh Raden Wiratanuwangsa bergelar Raden Tumenggung Prawira Adiningrat (1901-1908) sebagai Bupati Sukapura XIII dan merupakan bupati pertama yang berkedudukan di Tasikmalaya. Akhirnya, pada tanggal 1 Oktober 1901, ibukota kabupaten Sukapura dipindahkan dari Manonjaya ke Tasikmalaya, pemindahan ibukota ini karena pertimbangan ekonomi bagi pemerintahan Hindia Belanda.

Pada masa pemerintahan oleh R.A. Adiningrat (1908-1937)/Bupati Sukapura XIV, tepatnya tahun 1913 nama Kabupaten Sukapura diganti menjadi Kabupaten Tasikmalaya dengan wilayah kekuasaannya meliputi 10 Distrik: Tasikmalaya, Ciawi, Manonjaya, Singaparna, Taraja, Karangnunggal, Cikatomas, Banjar, Pangandaran dan Cijulang. Pada tahun 1974 dan 1977 masjid ini diperbaiki oleh masyarakat setempat dan akhirnya pada 1991/1992 dipugar oleh Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Barat.

Berlanggam Campuran

Selain memiliki makna historis yang kuat seperti diuraikan di atas, masjid juga memiliki langgam seni bangunan yang unik dan menarik. Nampaknya, titik temu dalam banyak unsur seni bangunan tradisional/setempat dengan langgam `neoclassic` Eropa sangat menonjol dalam perwujudan arsitektur masjid ini.


Unsur seni bangunan tradisional dapat dilihat terutama pada penggunaan atap tumpang tiga, bentuk denah segi empat dan prinsip struktur saka guru di tengah-tengah ruang shalat. Meski untuk saka guru ini, terlihat perbedaan (keanehan!) dengan konstruksi saka guru masjid-masjid tradisional karena berjumlah 10 buah dan dua di antaranya terletak berjajar persis di depan mihrab. Bentuk dan materialnya pun berbeda dengan saka guru masjid-masjid tradisional pada umumnya. Di sini, tiang saka guru tidak lagi dari kayu, tetapi dari pasangan bata berbentuk segi delapan dengan diameter lebih dari 80 cm pada bagian bawah dan 50 cm
pada bagian atas yang diakhiri dengan kepala tiang berbentuk segi empat.

Selain itu, terdapat juga elemen-elemen tradisional khas masjid-masjid di Jawa seperti adanya pawestren/pawadonan (ruang shalat wanita) di sebelah selatan ruang shalat utama, serambi/pendopo di sebelah timur, hingga mustaka/memolo di puncak atap tertinggi yang konon peninggalan seorang ulama penyebar agama Islam di Tasikmalaya bernama Syeikh Abdul Muhyi dari Pamijahan. Mustaka/memolo inilah yang menjadi salah satu ciri penting atap masjid tradisional yang telah d
iadaptasikan dari elemen sakral bangunan-bangunan Hindu pra-Islam di Jawa.


Masjid Manonjaya - Bangunan masjid telah ditambahkan menara dan pendopo sejak tahun 1889. Langgam arsitektur masjid merupakan titik temu seni bangunan tradisional/setempat dengan langgam `neoclassic` Eropa. (Sumber: masjid2000.org, fotografer: Priatna DP)


Jika diamati lebih jauh, bentuk atap yang menjulang tinggi dengan bagian bawah tiap bagian tumpukan berbelok ke arah mendatar seperti itu lebih banyak ditemui pada atap tumpang bangunan masjid di wilayah Priangan tempo doeloe khususnya Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, maupun Tasikmalaya. Bentuk seperti itu, di Bandung tempo doeloe lebih dikenal dengan istilah atap `bale nyungcung` untuk menamai atap Masjid Agung Bandung pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Hal ini berbeda dengan atap-atap tumpang yang banyak berkembang di Jawa Tengah baik pesisir maupun pedalaman di mana atap tumpangnya lebih berbentuk piramid/limasan seperti terdapat pada Masjid Agung Demak (1479), Masjid Agung Surakarta (1757), atau Masjid Agung Yogyakarta (1773).

Titik temu dengan langgam `neo classic` Eropa mulai terlihat pada elemen serambi/pendopo yakni penggunaan kolom-kolom berjajar yang mirip kolom-kolom `doric` Yunani dan menara kembar berjajar yang mendominasi penampilan bangunan masjid. Pembentukan fasade dengan kolom-kolom berjajar pada serambi/pendopo yang menumpang pasangan bata seperti itu bukanlah merupakan ciri asli dari arsitektur masjid tradisional di Jawa. Ini jelas merupakan tradisi baru yang muncul dari pengaruh langgam Eropa yang populer pada masjid-masjid di wilayah Priangan tempo doeloe sepanjang groteposweg (jalan raya pos). Sebagai catatan tambahan, yang menarik dari serambi timur masjid ini adalah bentuknya yang segi empat bujur sangkar sehingga atapnya tidak memanjang dari utara ke selatan sebagaimana umumnya masjid-masjid tradisional di Jawa, tetapi diberinya atap `bale nyungcung`.

Sedangkan menaranya, dari bentuk bangunan segi delapan, terdapatnya pilar-pilar semu `pilaster` di sekeliling bangunan, dan hiasan segitiga semacam `bracket` pada ambang jendela jelas menguatkan pengaruh langgam ini. Bahkan jika diamati lebih jauh, hampir seluruh detail-detail arsitektur dan bukaan-bukaan/jendela pada menara kembar tersebut memberikan ciri-ciri langgam Eropa.

Menara kembar di ujung sebelah utara dan selatan selasar/koridor penghubung ke serambi/pendopo masjid tersebut mulai dibangun pada tahun 1889 bersamaan dengan pembangunan serambi masjid. Menara kembar seperti itu sering digunakan dan juga pernah menjadi populer pada bangunan-bangunan masjid di wilayah Priangan sekitar tahun 1930-an. Tidak terkecuali Masjid Agung Bandung, bangunan ini juga menggunakan menara kembar di ujung sebelah utara dan selatan serambi seperti itu pada penampilannya di tahun 1930-an.

Elemen lainnya yang tak kalah menarik adalah keaneka-ragaman pada hiasan masjid seperti motif ceplok bunga yang terdapat pada dinding ruang lantai ke-2 dan ke-3 serta lantai ke-2 serambi timur, hiasan sulur-sulur daun pada mimbar masjid, hiasan tumpal pada pagar tembok koridor, dan motif meander pada lisplang masjid. Perlu diketahui bahwa masjid ini memiliki tiga lantai sesuai dengan jumlah tumpukan atapnya, dan untuk menaiki lantai di atasnya digunakan tangga-tangga kayu.









Menara - Menara-menaranya merupakan salah satu keistimewaan dari bangunan masjid ini, karena langgam Eropa terlihat sangat menonjol baik pada keseluruhan maupun pada detail-detail arsitekturnya. (www.masjid2000.org, fotografer: M. Ichsan H).



Menjadi Cagar Budaya, Mari Dipelihara

Tak diragukan lagi bahwa Masjid Manonjaya telah ditetapkan sebagai `Cagar Budaya` dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan karena berbagai alasan yang telah dipaparkan di atas. Masjid dari dulu hingga kini masih terus dimanfaatkan untuk kepentingan umat, ia juga memiliki arsitektur yang mewakili gaya/langgam pada masanya yakni campuran unik bentuk tradisional dengan langgam `neo classic` Eropa.

Masjid juga memiliki beberapa kekhasan atau keistimewaan terutama keberadaan menara yang sangat kuat mencirikan langgam Eropa. Dengan demikian jumlahnya termasuk terbatas dan langka sehingga memberi keanekaragaman arsitektur masjid di wilayah Priangan khususnya dan Jawa pada umumnya.

Ia memiliki tingkat keutuhan yang cukup tinggi dalam berbagai sisi meski jika diamati lebih jauh saat ini terdapat bangunan tambahan lain di halaman sebelah utara dan selatan yang bukan dari unsur bangunan kuno. Keberadaan ini tentu tidak sesuai dengan upaya pelestaran benda cagar budaya, situs dan lingkungannya.

Memang disadari bahwa satu hal yang membedakan masjid dengan bangunan cagar budaya lainnya seperti Candi atau Keraton adalah karakternya yang menjadi `living monument`, yakni `monumen yang hidup` artinya terus dipakai oleh masyarakat/umat sehingga terkadang perlu menyesuaikan dengan dinamika dan perkembangannya. Persoalan yang terjadi adalah kadang kala pergantian generasi yang memanfaatkan masjid memiliki perbedaaan wawasan, sikap dan cara pandang dalam memberlakukan bangunan cagar budaya. Maka hal ini merupakan kesulitan tersendiri dalam upaya pelestariannya, yang menuntut perlunya program sosialisasi dan penyadaran kepada masyarakat tentang hal tersebut.

Upaya pelestarian bangunan masjid kuno melalui cara sosialisasi dan penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya benda/bangunan cagar budaya dianggap lebih efektif dan lebih tepat katimbang hanya pemberlakukan pelarangan, karena dalam beberapa kasus yang sering ditemui Tim Masjid2000 di lapangan adalah mereka (masyarakat) beranggapan bahwa mengapa membangun masjid harus dilarang meski sekadar memberi tambahan terhadap ini.

Dari semua kepentingan di atas, jelas bahwa keberadaan Masjid Manonjaya perlu dilindungi dan dilestarikan baik aspek bangunan maupun lingkungan sekitarnya. Kepada seluruh lapisan masyarakat, sudah semestinya masjid dipelihara dan dijaga kelestariannya baik menyangkut lokasi/tata letak, keaslian bentuk, arsitektur, ragam hiasan, dan lingkungannya. Karena masjid merupakan aset berharga yang bukan hanya untuk kepentingan aktifitas ibadah umat, namun juga sejarah khususnya perkembangan Kota Tasikmalaya, serta bermanfaat untuk ilmu pengetahuan dan kebudayaan di masa kini maupun masa yang akan datang.

****

Published @Pikiran Rakyat, 13 Januari 2002

6 comments:

Anonymous said...

Hebat euyy...ada yang ngbahas kota kelahiran dan benda kebangganku *mesjid agung manonjaya*. Sayang tempat mainku (alun-alun) sedikit sekali dibahasnya :)

Anonymous said...

Thanks informasinya. Q jadi bisa mengenal lebih jauh tentang sejarah tempat tinggalku.
Tau dari mana sejarahnya?

Berau2000 said...

Jadi terang sejarahna mesjid agung dan kota Manonjaya. Manonjaya kota tercinta, walaupun sekarang saya ada jauh di Kalimantan Timur tapi tetap hati ini ada di Maninjaya. Bapa, mama, adi-adi nu aya di manonjaya kumaha daramang?

Reddy said...

Mohon dapat diinformasikan lokasinya, karena Insya Allah tema mudik tahun 2011 ini adalah mengunjungi masjid-masjid bersejarah.

info fashion said...

leres pisant eta mesjid bersejarah

Anonymous said...

wah hebat sampai mesjid agung manonjaya aja ada di blog ini. thank infonya